BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ajaran agama Hindu
memiliki kerangka yang kuat, karena menampilkan ajaran Tatwa, susila
dan yadnya. Tatwa mengisi kecerdasan otak, melatih memandang
rahasia-rahasia yang dimiliki Tuhan, dan rahasia dalam diri, serta
rahasia-rahasia dalam alam lingkungannya. Dengan demikian manusia
atau umat Hindu wajar berpikir sedalam-dalamnya tentang hal tersebut.
Susila adalah menyuguhkan ajaran untuk melatih tingkah laku yang
berperan menumbuhkan peningkatan rasa pada setiap pemeluk. Disinilah
kemantapan dari humanisme yang kekal. Masyarakat Bali yang mayoritas
adalah penganut agama Hindu, mempunyai suatu kepercayaan yang tidak
lepas dari kebudayaan Bali. Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa
mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan
adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama
Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan
istilah PancaYadnya
yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Yadnya adalah
menyuguhkan ajaran rela berkorban yang pada hakikatnya adalah
memelihara hidup, sebab semua yang hidup di dunia ini bermula dari
Yadnya dan tidak terlepas dengan Yadnya itu sendiri. Diketahui
makhluk dengan isinya diciptakan Tuhan berdasarkan Yadnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana kualitas yadnya dalam agama hindu?
1.2.2
Bagaimana Rumusan serta pemaparan Panca Yadnya dalam Agama Hindu?
1.3
Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami makna yang
terkandung dalam yadnya itu sendiri serta dapat mengimplementasikan
dalam kehidupan beragama terutama dalam umat hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kualitas Yadnya dalam Agama Hindu
Kata Yadnya berasal
dari bahasa Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja,
mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang
harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian
tanpa pamrih.
Aphalakaanksibhir
yadnyo
Vidhi
drsto ya ijyate
Yastavyam
eveti manah
Samaadaya
sa saatvikah
(Bhagavad Gita, XVII.11)
Maksudnya: Yadnya
yang dilakukan menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah), dilakukan
dengan ikhlas, yang sepenuhnya dipercaya bahwa yadnya itu sebagai
suatu kewajiban suci. Yadnya yang demikian itu tergolong Satvika
Yadnya.
Kata “upacara”
berasal dari bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan
yadnya artinya ikhlas berkorban untuk tujuan yang benar dan suci.
Jadi, upacara yadnya adalah upaya spiritual dengan bentuk ritual
dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan dengan landasan bhakti.
Bhakti pada Tuhan
itu lebih lanjut didayagunakan untuk meningkatkan keluhuran moral dan
daya tahan mental untuk memelihara kesejahteraan alam serta mengabdi
pada sesama manusia dengan landasan punia. Asih dan punia itulah
sebagai wujud bhakti kita kepada Tuhan. Jika bhakti itu tanpa
rnenyayangi alam Iingkungan dan mengabdi pada sesama dengan tulus
maka bhakti akan sia-sia saja. Selanjutnya upacara yadnya itu ada
upakaranya. Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani.
Karena itu dalam Lontar Yadnya Prakerti bentuk-bentuk upakara itu
sebagai lambang pelayanan kepada Tuhan, kepada sesama manusia dan
juga pelayanan kepada alam atau bhuwana.
Dari pemahaman
tersebut dapat dinyatakan bahwa suksesnya suatu upacara yadnya
apabila ada secara nyata upaya melestrikan alam lingkugan, adanya
perhatian yang nyata pada nasib sesama sehingga hubungan manusia
dengan manusia semakin harmonis, dinamis dan produktif secara
spiritual dan meterial.
Hal itu terjadi
sebagai wujud pelaksanaan upacara yadnya. Kalau terjadi sebaliknya
maka dapat dinyatakan upacara yadnya itu belum sukses. Kalau bhakti
itu kenyataanya membuat alam semakin merosot kuantitas dan
kualitasnya dan hubungan dalam masyarakat semakin tidak harmonis,
apalagi sampai terjadi permusuhan, itu pertanda upacara yadnya
tersebut gagal mewujudkan misi sucinya. Apalagi upacara yadnya
penyelenggaraanya boros, karena dalam pustaka Ariandadayi menyatakan
ada empat hal yang tidak boleh diboroskan yaitu: tidak boleh sampai
membuang-buang makanan, pemakaian uang tidak tepat guna, tenaga tidak
boleh dibuang sia-sia dan tidak mengulur-ulur waktu. Agar upacara itu
sukses, lakukanlah upacara yadnya yang satvika sebagaimana dinyatakan
dalam kutipan Sloka Bhagawad Gita XVII, 11, 12 dan 13.
2.1.1 Kualitas
Yadnya
Ada tiga kualitas
upacara yadnya utama itu pengertiannya dipadukan dengan satvika
yadnya menurut kitab suci Bhagawad Gita. Apalagi menurut Manawa
Dharmasastra 1.86 prioritas beragama zaman Kali adalah dhana punia
bukan upacara. Karena itu upacara yadnya yang diselenggarakan agar
lebih diutamakan kegiatan berdana puma terutama untuk memajukan
pendidikan. Upacara yadnya diselenggarakan disamping tujuan utamanya
untuk berbhakti pada Tuhan juga sebagai media berdaana punia.
Upacara yadnya
rajasika dan tamasika, yang ditampilkan dengan serba glamour dan
gebyar serba mewah dan yang boros uang, waktu, tenaga dan
membuang-buang makanan. Upacara Yadnya demikian itu menjadi beban
yang memberatkan hidup dan banyak menimbulkan permasalahan hidup.
Satvika yadnya menurut Bhagawad Gita ada beberapa syaratnya, yaitu
sradha, artinya upacara yadnya dilakukan berdasarkan keyakinan yang
mendalam bahwa upacara yadnya itu sebagai suatu yang seyogianya
dilakukan sebagai penganut Hindu yang baik. Upacara Yadnya tidak
boleh dilakukan dengan ragu-ragu sekadar untuk memenuhi syarat formal
beragama Hindu saja. Lascarya, upacara yadnya harus dilakukan dengan
tulus ikhlas tidak ada sama sekali adanya rasa terpaksa atau ada
sesuatu yang dirasakan menekan. Upacara yadnya itu dilakukan sesuai
dengan Vidhi Drstah atau petunjuk sastranya.
Upacara yadnya harus
juga ada Daksina, artinya honorarium sebagai simbol penghormatan
dalam wujud hanta dan penghormatan secara moral untuk rohaniawan
seperti pinandita (pemangku) atau pandita. Tanpa daksina, upacara
yadnya itu akan gagal. Upacara yadnya seyogianya diantarkan dengan
melantunkan gita atau kidung suci. Kidung suci yang dilantunkan
dengan benar, baik dan tepat akan dapat menumbuhkan vibrasi spiritual
pada lingkungan. UpacaraYadnya seyogianya juga ada Arma Seva artinya
ada jamuan makan terutama untuk Atiti Yadnya yaitu tamunya upacara.
Sebab, ada sastra menyatakan betapa pun meriahnya suatu upacara
yadnya kalau di sekitarnya ada orang kelaparan dan wanita terhinakan
maka upacara yadnya itu tidak mencapai tujuan muliannya. Syarat
terakhir satvika yadnya itu adalah nasmita artinya yadnya yang
dilakukan itu tidak ada niat untuk pamer atau menonjolkan egoisme.
Apalagi ada niat untuk menonjolkan diri untuk meremehkan orang lain
di lingkungan sendiri. Hakikat upacara yadnya itu justru untuk
mereduksi egoisme. Karena egoisme itu akan menutup pancaran suci
atman menyinari dinamika indriya. Upacara yadnya yang menonjolkan
egoisme itu ciri upacara yadnya yang gagal memberikan vibrasi suci.
2.2
Rumusan serta pemaparan Panca Yadnya dalam Agama Hindu
Dalam Atharwa
Weda XVII.3
dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir
batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam
Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang
ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air,
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jadi
berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai amalan agama mengandung
pengertian. 1.Merupakan sistem
persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa.
2.Merupakan prinsip
berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu
sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup
bahagia.
Akibat Tuhan berbuat
Yadnya itu menimbulkan rnam.
Rnam
berarti hutang. Kemudian agar tercipta hukum keseimbangan, maka rnam
itu harus dibayarkan dengan Yadnya. Demikian adanya atas dasar Tri
Rna
Dibayar dengan Panca
Yadnya yakni:
a. Dewa
Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya.
b. Rsi
Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
c. Pitra
Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep agama
hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya
keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang
didambakan oleh setiap orang di dunia.Untuk umat Hindu yang
diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan
Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada
dua macam Panca Yadnya, yaitu:
1.
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya.
2.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini
disebut Panca Maha Yadnya.
Pertama:
Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa
dijelaskan:
a.
Drewaya
Yadnya,
adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana korban.
b.
Tapa
Ydnya,
adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita
sebagai sarana berkorban.
c. Jnana
Yadnya,
adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan,
member pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai
sarana korban.
d. Yoga
Yadnya,
adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada
Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai
dengan tingkat tertingi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
e. Swadyaya
Yadnya,
adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorbankan diri
demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Kedua:
Panca
Yadnya berdasarkan kitab Manawa
Dharmasastra III. 70
tersurat:
“Adhyapanam
brahma Yajnah,
pitryapastu
tarpanam,
homo
daiwo balikbaurto,
nryajna
‘tihti pujanam.”
|
Artinya
:
Mengajar
dan belajar adalah Yadnya bagi Brahmana, menghaturkan minyak, susu
adalah Yadnya untuk para Dewa, menghaturkan bali adalah Yadnya untuk
para bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah Yadnya bagi
manusia. jadi,
berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan Panca Yadnya itu sebagai
berikut:
1. Dewa
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa.Asal kata Dewabersal
dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi
pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari
Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi
Wasa.
2. Rsi
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan kepada brahmana atau para Rsi.
Rsi
artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di
Bali.
3. Pitra
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan pada leluhur.
Pitra
artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
4. Bhuta
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala.
Bhuta
artinya unsur-unsur alam.
5. Manusa
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan pada manusia. Manusia yang hidup di
dunia terutama yang beragama hindu selalu melaksanakan yang namanya
manusa yadnya,
2.2.1
Pemaparan Panca Yadnya
1. Dewa Yadnya
Dewa Yadnya berarti
persembahan suci ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para
Dewa serta segala manifestasinya.
Adapun
tujuan utama melaksanakan Dewa Yadnya adalah:
1.
Menyampaikan rasa hormat, bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan nikmat yang dianugerahkan kepada umatNya.
2.
Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, panjang umur, kesaksian,
kemuliaan, bimbingan untuk menuju keselamatan umat, bangsa dan
negara.
3.
Mengucapkan syukur atas peningkatan sesucian lahir batin dengan
didasari oleh pembersihan akan bayu, sabda dan idep, yaitu paridhanya
laksana kata-kata dan pikiran.
Kalau demikian
halnya berarti perbuatan-perbuatan di bawah ini yang termasuk ke
dalam Dewa Yadnya Misalnya:
a.
Melaksanakan persembahyangan kepada sang hyang Widhi.
b.
Mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajaran tentang
ketuhanan.
c.
Berziarah ke tempat-tempat suci dan mengembangkan ajaran Dharma.
d.
Membangun tempat-tempat ibadah.
e.
Berdana punia bila ada upacara di Pura.
f.
Menghaturkan canang dengan sarinya tatkala melakukan persembahyangan.
g.
Bakti sosial (ngayah) pada suatu tempat-tempat suci dengan penih
keikhlasan.
Perbuatan semacam
inilah termasuk perbuatan Dewa Yadnya yang mulia bila dilaksanakan
dengan kesadaran batin dan tanpa pamrih. Bukannya besar harta benda
yang menjadi ukuran, tetapi dasar ketulus-ikhlasan itulah yang
utama.
Disisi lain bila
ditelusuri tentang hari-hari pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dibedakan
dua macam, yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Kedua macam
pelaksanaan Dewa Yadnya ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Nitya Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya seperti:
1.
Menghaturkan banten canang sari setiap hari
2.
Menghaturkan Yadnya sesa setiap hari sehabis masak
3.
Melaksanakan Puja Tri Sandhya setiap hari
b.
Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam
sasih dan pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1.
Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara,
Sapta Wara dan wuku, yaitu:
a)
Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b)
Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c)
Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur
keburukan di dunia
d)
Hari Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian
batin
e) Hari
Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk mencapai
ketentraman batin dan mengendalikan diri
f) Hari
Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk
mengukuhkan keyakinan
g)
Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h)
Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru,
para Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i) Budha
Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa, Dewa,
dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan
Kuningan.
j)
Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai
Dewa Kesenian
k)
Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja
Dewi Ilmu Pengetahuan.
2.
Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang
beryoganya Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti
pada hari:
a)
Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara
atau Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari,
dan para Rsi Gana
b)
Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c) Tilem
Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang
telah memberkati umatNya
d)
Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e)
Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang
diawali dengan melis ke laut atau sungai. Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara Tawur Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan
Nyepi, yakni melaksanakan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan,
Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan Ngembak Geni.
f)
Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih
dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama
Bhatara Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan
Panca Wali Krama, kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan
Eka Dasa Rudra
3.
Upacara Dewa Yadnya yang sifatnya insiden
Dapat kita lihat
dalam lontar Catur Weda, misalnya upacara: Melaspas, Memungkah, Catur
Rebah, dan Nyatur Niri. Semua Yadnya mempunyai atura sendiri. Juga
dalam lontar Bhama Kerti, dijelaskan ada upacara Matani Aluh,
seperti: Matarin, Nemakuh dan Ngulapin.
Dalam lontar
Sripurana, berarti dengan pertanian dilaksanakan upacara: mulai
mengerjakan sawah, Byakukung dan Mantenin Padi
Bahwa phala
melaksanakan Dewa Yadnya dijelaskan dalam lontar Tatwa
Kusuma Dewa,
sebagai berikut:
“Rahayu
pahalaya yan mangkana, sadadyani kaya olih sadya kaduluran Whidi,
haywa enam ngutpati Dewa astiti ring Sang Hyang Widhi.”
Artinya:
“selamat
phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh
penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa
dan berbakti Pada Tuhan.”
2. Rsi Yadnya
Rsi Yadnya berarti
persembahan suci kepada Brahmana atau para Rsi atas jasa beliau dalam
membina umat dan mengembangkan ajaran agama.Kalau kita terima agama
itu adalah sebagai obat maka para kaum Brahmana telah berjasa dapat
memberikan obat kapada umat, sehingga umat memiliki kesehatan mental
dan spiritual.
Kalau kita terima
juga agama itu laksana obor, berarti para Brahmana memberikan suluh
menghilangkan kegelapan bagi pemeluknya, berarti para Brahmana atau
para Rsi telah berjasa menjadikan dunia cemerlang karena ilmu agama
disebarkan dan dikembangkan oleh beliau kepada pemeluknya.
Demikian juga kalau
diterima bahwa agama itu adalah memuliakan hidup berarti para Maha
Rsi atau kaum Brahmana telah berjasa pula karena mereka dapat
menuntun umat manusia untuk hidup lebih berkembang, menjadi manusia
yang utuh. Manusia yang memiliki keseimbangan jasmani dan rohani.
Dimana dalam agama Hindu dikenal dengan Molsartham Jagadhita.
Kalau kita menyadari
diri kita ketika baru lahir mempunyai keadaan putih bersih belum tahu
apa-apa, tapi sekarang kita melihat diri dan menyadari kita tahu
membaca, menulis, berhitung, tahu pengetahuan agama, dan tahu
ilmu-ilmu lain. Sesungguhnya itu terjadi atas jasa-jasa dari para
arif bijaksana yang dengan tulus ikhlas menyebarkan pengetahuan itu.
Di mana ada kaum
arif bijaksana pengemban Dharma, di sana ada kemuliaan. Seperti apa
yang telah dijelaskan dalam kitab
Ramayana syair bait II
yang berbunyi:
“Hana rajya tulya
kendran,
Kawehan sang
Mahardidhika susila,
Ringayoodya
subhageng rat,
Yeka kadarwanirang
nrepi.”
Artinya:
“Ada kerajaan
bagaikan sorga, banyak disana orang arif budi luhur di sana pada
keratin Ayodya yang sangat terkenal, itulah keratin beliau raja
(Dasarata).
Berkenaan dengan hal
di atas kita harus menyadari bahwa untuk dapat mengambil bagian dalam
hidup ini melaksanakan Rsi Yadnya maka kita harus mengemukakan
cara-cara untuk melaksanakannya. Langkah yang dapat dilaksanakan
sebagai amalan Rsi Yadnya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a)
Hormat bakti kepada para Brahmana termasuk sikap pelaksanaan Rsi
Yadnya
b)
Memberikan tuntunan kepada calon sulinggih
c)
Menobatkan seorang sulinggih
d)
Memberikan punia kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
e)
Menghaturkan daksina kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
f)
Tekun mempelajari kitab-kitab suci
g)
Memperingati hari Saraswati
h)
Mengembangkan dan menyebarkan ajaran Weda
3.
Pitra Yadnya
Pitra Yadnya
merupakan persembahan suci kepada Pitra atau roh leluhur dan termasuk
kepada orang tua yang masih hidup. Disadari atau tidak beban utang
dari hutang orang tua atau leluhur cukup banyak dalam kitab Manu
Smrti 11.227 menjelaskan:
“Yam
matapitaram klecam seheta sambhawe.
Nrnam
na tasya niskrtih
Cakya
kartum warsa catairapi”.
Artinya:
Penderitaan
yang diabaikan oleh Bapak dan Ibu pada waktu lahir anak (bayi) tidak
dapat dibayar walaupun dalam waktu seratus tahun.
Selain
itu dalam lontar Kunti
Yadnya
dijelaskan:
“Kengetakna
grtrani kawitanta,Tkeng anak putunta sukulaBretya nucara, me
pwakitaPanahura hutanganta ring yayah bibi, panebusaning
sarirakret ngaranya kasampurna dening yasa sembanta”.
|
Artinya:
Ingatlah jasa-jasa
leluhurmu pada anak cucu serta pada seluruh sanak keluarga, patutlah
membayar segala hutangmu pada Ayah Ibu.
Berdasarkan
penjelasan di atas kita gambarkan bahwa kita wajib membayar hutang
itu pada orang tua.Pembayaran hutang itu diwujudkan dalam bentuk
Pitra Yadnya. Wujud-wujud tersebut dapat berbentuk seperti di bawah
ini:
a)
Menghormati orang tua atau leluhur
b)
Sedapat mungkin dapat menuruti nasehat orang tua
c)
Menjamin orang tua setelah usia lanjut, termasuk di dalamnya menjamin
makanan, kesehatan, atau hal yang menyangkut sandang pangan dan papan
d)
Mengajak orang tua bercakap-cakap sebagai cerminan cinta kasih
keluarga
e)
Membuang, memelihara, menjaga tempat suci keluarga, termasuk Padharma
Tujuan dilaksanakan
upacara Ngaben adalah untuk mengembalikan Stula Sariraatau badan
wadag yang terdiri dari Panca Maha Bhuta dalam Buana Alit kepada
Panca Maha Bhuta yang bersumber pada Bhuana Agung.Selain itu
bertujuan untuk meningkatkan kesucian roh yang telah meninggal, yakni
dari roh orang yang berstatus Preta menjadi Pitara bahkan menjadi
Dewa Hyang Pitara. Untuk proses pengembalian Panca Maha Bhuta ke
Bhuana Agung, dikenal dengan sistem pembayaran mayat, yang disebut:
Sawa
Wedana, Asti Wedana dan Swasta Wedana.
1)
Sawa Wedana
Sawa Wedana disebut
juga Sawa Preteka.Artinya mengupacarai jenazah orang yang baru
meninggal.Sering juga dalam masyarakat disebut ngaben
dadakan,
sifatnya segera. Menurut lontar Yama
PurwanaTatwa dan
Pubha
Sasana,
tata cara seperti ini dibenarkan dan disebut dengan istilah Mependem
Ring Giri, megenah di petulangan.
2) Asti
Wedana
Asti
Wedana adalah mengupacarai jenazah setelah menjadi tulang. Tata
caranya seperti di bawah ini:
a.
Mempermaklumkan ke Pura Dalem. Yang akan di aben, tegteg
dipermaklumkan ke Pura Dalem. Dilengkapi dengan peras, penyeneng,
daksina pejati, suci, ketipat dan segehan.
b.
Ngulapin ke Mraja Pati, tegteg dituntun ke Mraja Pati disertai
upacara peras, daksina, pengulapanan, pengabenan, segehan dan sayut.
c.
Ngangkid: tegteg diusung ke setra ke tempat terkubur orang yang akan
diaben. Di atas kuburan diselenggarakan upacara ngangkid dengan
sarana: suci, peras, penyeneng, daksina, pujung, segehan berisi
jeroan mentah, tabuh tuak arak. Setelah upacara ini berakhir,kuburan
dibongkar, tulang-tulang diambil, dibersihkan, lalu disusun kembali
seperti semula.
d. Pada
bangbang yang telah dibongkar, menghaturkan banten: suci, peras,
daksina, dan sembelihan ayambulu hitam. Setelah itu bangbang ditumbun
secara simbolis.
e.
Ngeringkes: upacaranya serupa dengan banten pengeringkesan Sawa
Wedana.
f.
Ngeseng: upacaranya sama dengan upacara Sawa Wedana.
g.
Ngayut: sama dengan upacara Ngayut Sawa Wedana.
3)
Swasta Wedana
Swasta adalah
upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan dengan tidak mengupacarai
mayat dalam bentuk tulang-belulang atau jasad.Melainkan bentuk itu
dapat diganti dengan bentuk kusa atau alang-alang.Selain itu, dapat
juga diwujudkan dengan air sebagai Toya Sarira. Tata
pelaksanannya
sama dengan tahap-tahap pelaksanaan Asti Wedana. Mulai dari
mempermaklumkan ke Pura Dalem sampai dengan Ngayut.Hanya ada
perbedaan sedikit, kalau dalam ngaben Swasta tidak ada langkah
ngangkid tulang seperti dalam Asti Wedana.
4)
Ngelungah
Dikenal lagi upacara
ngaben yang disebut Ngelungah.Upacara ini dilakukan bagi jenazah yang
masih anak-anak.Ketentuannya ini adalah bagi anak-anak yang berumur
di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal maka
diaben Ngelungah.Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila
meninggal almarhumhanya dikubur saja.Namun, anak yang berumur diatas
tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang
dewasa.
Adapun
tata caranya adalah:
a.
Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka,
daksina, ketipat, kelanan, telor bekasem dan segehanputih kuning.
b.
Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina
dan peras.
c.
Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan
ketipat kelanan.
d.
Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara: sorohan, pengambian,
pengulapan, peras daksiana, klungah nyuh yang disurat Omkara.
e.
Banten pada roh bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb
sari, punjang dan banten bajang.
f.
Tirta pangrampuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua
banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara memohon
pada bhatar/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci.Bila
selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan
kembali.
5)
Upacara Atma Wedana
Upacara Atma Wedana
disebut juga nyekah.Upacara ini dilaksanakan setelah selesai upacara
Sawa Wedana.Tujuan upacara ini adalah untuk meningkatkan kesucian roh
orang yang meninggal.Semula preta menjadi pitara bahkan menjadi Dewa
Hyang Pitara.Sejalan dengan ini juga berarti mengembalikan atma ke
paramaatma.Nama-nama untuk upacara ini ada yang menyebut nyekah,
ngerorasin, mukur, melinggih dan juga ngeluwer. Pelaksanaan upacara
ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Ngajum
Makna upacara ini
adalah memanggil Sang Hyang Atma(roh), karena dibuatkan upacara
sekah. Upacara Ngajum ini disertai seperangkat sesajen dan
pelaksanaan upacaranyapagi hari dib alai Pawedan yang dituntun oleh
pemimpin upacara beserta dikerjakan oleh senta dan prati Santana.
Upacara ngajum ini termasuk upacara utpati.
b.
Upacara Ngayab
Pelaksanaan upacara
ini termasuk upacara Shtiti Sang Hyang Atma.Upacara ini dilakukan
setelah kembali dari beji.Dipimpin oleh sulinggih dilengkapi dengan
saji, ayaban dan seperangkat banten.Kemudian dilanjutkan
persembahyangan oleh anak cucu dan prati sentananya
c.
Upacara Mapralina
pacara ini dilakukan
pagi hari di depansanggah
pesaksi.
Sekah diturunkan dari balai upacara, segala menjadi satu kesatuan
sekah segera dibakar di atas senden.Bila semua telah terbakar lalu
disiram dengan air kumkuman.Kemudian dilumatkan dengan tebu dan
cabang dapdap.Hasil lumatan itu dimasukkan ke dalam kelapa gading dan
dihanyutkan ke laut atau sungai.
Tiga hari setelah
upacara mepralina, dilanjutkan dengan upacara ngeremekin.Maksud
upacara ini adalah mempermaklumkan bahwa penyucian roh terhadap orang
yang meninggal telah selesai.Bila tahapan ini sudah selesai, maka
dapat dilanjutkan dengan ngelinggihang
Dewa Hyang Pitara di Pura Kawitan sebagai pura penyungsungan
leluhur.Bila dikaitkan dengan Panca Yadnya, upacara ngelinggihang ini
sudah termasuk Dewa Yadnya.Sebagai renungan,orang yang belum mengerti
tentang Pitra Yadnya ini, mereka dengan cepat mengatakan upacara
ngaben ini adalah pemborosan.Boleh saja, sebab bila direnungkan lebih
jauh lagi bukanlah
pemborosan.Tetapi
upacara agama Hindu ini adalah membantu untuk memutar ekonomi
masyarakat. Sebab dalam kesempatan seperti ini orang yang kaya akan
mempergunakan harta
bendanya
untuk mewujudkan semangat rela berkorban. Maka dari itu ia membuat
upacara yang utama tingkatannya. Namun bagi umat yang tidak mampu,
dapat membuat utamaning nista.Nista
bukan
berarti hina dan rendah, melainkan semua tingkatan mengandung arti
mulia bila didasarkan atas ketulusan ber-Yadnya.
Berdasarkan pikiran
sepintas, kiranya uang yang banyak itu dialihkan dan disumbangkan
pada fakir miskin.Diketahui agama Hindu tidak mengajarkan bagaimana
melalui Yadnya ekonomi masyarakat berputar. Akibatnya orang yang bisa
rajin bekerja dan menyadari etos kerja, sebab kerja apapun yang
didasari pada cinta kasih dan dikerjakan secara sungguh-sungguh akan
menunjang kehidupan kita. Bukan umat diarahkan kerja
meminta-minta.Jadi, berkaitan dengan ini dapat ditegaskan pelaksanaan
ngaben ini bukanlah semata-mata pemborosan, melainkan mengandung
unsur gotong-gotong royong, pendidikan kerja dan rela berkorban
tentunya.Sesuai dengan semangat ber-Yadnya untuk melangsungkan
pemeliharaan hidup.
4. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah
persembahan suci kehadapan sesama.Tujuan melaksanakan korban suci ini
adalah untuk pembersihan lahir batin.Pembersih lahir batin ini
dilakukan setiap hari, setiap saat dan berkelanjutan.Dengan demikian
diharapkan pada akhirnya agar atma dapat manunggal dengan parama
atma.
Berdasarkan tujuan
dan pengertian Manusa Yadnya yang telah diuraikan di atas, maka satu
putaran hidup manusia dapat dilihat berkali-kali dilaksanakan upacara
Manusa Yadnya terhadap seseorang itu.Boleh jadi pembersihan bayi
sejak dalam kandungan, sampai bayi lahir, dan menjadi dewasa, serta
sampai mengakhiri hidupnya. Weda Parikrama menjelaskan, tubuh
dibersihkan dengan air, pkiran dibersihkan dengan kejujuran, roh
dibersihkan dengan ilmu dan tapa dan akal dibersihkan dengan
kebijaksanaan.Berkaitan dengan hal ini berarti kita membersihkan diri
terhadap semua hal di atas. Agama Hindu dalam prakteknya
yang berkaitan dengan pembersihan roh jasmani dan roh rohani tidak
bias terlepas dari menggunakan banten sebagai wujud
korban dan berkaitan dengan
Manusa
Yadnya. Hal ini sangant bersifat spiritual.Pelaksanaan Manusa Yadnya
dalam kehidupan sehari-hari dapat berwujud material dan juga
spiritual.Misalkan uang, nasi, air atau hal-hal yang temasuk dalam
sandang, pangan dan papan.Kemudian pemberian ilmu pengetahuan,
nasihat, petunjuk, jasa dan sejenisnya adalah yang bersifat
spiritual.Sifat pemberian seperti di atas, bila didasarkan atas
ketulusan hati menurut lontar slokantara disebut Stvikdana.Bila
pemberian itu dikaitkan dengan unsure pamrih, walaupun sedikit adanya
dalam batas wajar disebut Rajasikdana.Bila
suatu pemberian mempunya ikatan pamrih keuntungan yang banyak hal ini
disebut Tamasikdana.
Kembali pada
pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan sarana banten, dilaksanakan dalam masa-masa transisi.Masa
sekarang ini dipandang mempunyai nilai baik untuk dibuatkan
pembersihan spiritual.
Adapun
waktu-waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan upacara itu adalah
ketika:
a.
bayi dalam kandungan dibuatkan upacara pagedong-gedongan.
b.
bayi baru lahir dibuatkan upacara mapag rare.
c.
bayi tatkala kepus puser dibuatkan upacara
kepua puser.
d.
bayi sua belas hari dibuatkan uapacara lepas
hawon
e.
bayi berumur 42 hari dibuatkan upacara kambuhan
f.
bayi berumur tiga bulan dibuatkan upacara nyambutin
g.
bayi berumur enam bulan dibuatkan upacara oton.
h.
bayi baru tumbuh gigi dibuatkan uapacara ngampugin.
i.
anak giginya tanggal untuk pertama kalinya dibuatkan upacara makupak.
j.
anak sudah meningkat remaja dibuatkan upacara ngraja.
k.
anak menjadi dewasa dibuatkan upacara matatah.
l.
bila ia ingin mendalami ilmu kerohanian maka dibuatkan upacara
mawinten.
m.
bila ia ingin membentuk rumah tangga maka dibuatkan upacara
pawiwahan.
Dengan
demikian sudah jelas bahwa satu putaran hidup menjadi manusia banyak
sekali dibuatkan upacara Manusa Yadnya. Di zaman perkembangan umat
Hindu sekarang ini, Manusa Yadnya yang diberikan pada anak akan lebih
berguna bila peningkatan sumber daya manusia itu diantisipasi dengan
lebih awal. Oleh karena itulah agar anak-anak merasa lebih mandiri
dan
berdaya guna
nanti ia patut diberikan jaminan hidup yang cukup, fasilitas
pendidikan dan terdidik.
Untuk mengetahui
makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnyaakan
diuraikan satu persatu secara singkat, yaitu:
a.
Upacara Pagedong-gedongan
Upacara
pagedong-gedongan disebut juga upacara garbhadana.Tujuan
upacara ini adalah memohon keselamatan jiwa araga si bayi yang ada
dalam kandungan.Diharapkan melalui upacara ini bayi yang lahir dalam
keadaan selamat, kemudian dapat hidup, tumbuh menjadi yang berguna
bagi masyarakat.
Menurut lontar kuno
Drestiupacara
Garbhadanaini baik dilaksanakan setelah kandungan berumur lima atau
enam bulan kalender, karena pada saat itulah pertumbuhan janin sudah
sempurna berbentuk sosok bayi utuh berbadan laki atau perempuan.
Selain melaksanakan
upacara seperti di atas, orang tua menjadi wajib melaksanakan brata
dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya orang tua jangan berucap
“Wakcapala”
artinya berkata-kata kotor. Selain itu orng tua wajib melaksanakan
“Wakpurusia”
artinya tidak berkata yang dapat menyakitkan hati orng lain. Termasuk
juga selalu memelihara ikatan cinta kasih dalam membina rumah
tangga.Bila brata seperti di atas tidak dilaksanakan maka
dikhawatirkan sifat buruk di atas dapat berkibat buruk bagi bayi
dalam kandungan.Agar batyi mendapat pengaruh yang baik, sebaiknya
orang tua berperilaku positif, misalnya membaca buku-buku kerohanian,
wiracerita, atau cerita-cerita yang bersifat tuntunan budi luhur.
b.
Upacara mapag rare
Ketika bayi baru
lahir, dibuatkan uapacara mapat rare. Tutuannya mengucapakan syukur
kepada sang Hyang Dumadi, bahwa bayi dapat lahir dengan selamat.
Melalui upacara ini, diharapkan Sang Hyang Dumadi menjiwai bayi
tersebut, dapat hidup dhurgayusa
dhirgayu.
Berkaitan dengan bayi baru lahir perlu diketahui cara memelihara
tembumi.
Tembumi
dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah dua,
juga dimasukkan duri-duri.Seperti duri terong, nawar dan
sebagainya.Dan dilengkapi juga dengan
sirih
lekesan, kelapa yang dibungkus ijuk, kain putih baru.Ditanam sebelah
kanan pintu masuk, kalau bayi laki-laki dan sebelah kiri kalau bayi
perempuan.
Saat memendam ke
bumi mengucapakan mantra:
“ong
sang ibu pertiwi rumsga bayu,
ruange
amerta sanjiwani,
angemertaning
sarwa tumarah…[wong bayi]
mangda
dirgayusa nugtugan tuwuh”
artinya:
ya Tuhan Yang Maha
Esa dalam manifestasi ibu pertiwi laksana sumber kehidupan,
memberikan hidup kepada semua makhluk, semoga panjang umur dan
selamat.
Setelah
itu tembumi serta ditindih dengan pohon pandan, lalu dihaturkan
banten segehan kepada catur warna.Lengkap dengan bawang, jahe, garam
serta canang satu pasang.
c.
Upacara Kepus Puser
Tujuannya
pembersihan tempat suci bangunan pekarangan.Puser dikeringkan dengan
rempah-rempah dan disimpan di tempat tidur si bayi, saat si bayi
diasuh oleh Sang Hyang Kumara.
d.
Upacara ngelepas hawon
Setelah bayi berumur
dua belas hari dibuatkan suatu upacara ngelepas hawon dengan tujuan
bayi tetap sehat selamat dan panjang umur.
e.
Upacara kambuhan
Upacar
ini sering pula disebut upacara mecolongani.
Tujuannya adalah:
- melakukan pembersihan jiwa raga si bayi, denagn cara mengupacarai nyama bajang. Banyak nyama bajang ada 108, antara lain: bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang lengis, bajang bejulit, bajang kebo, bajang ambengan, bajang papah, bajang tukal, bajang dodot, bajang
sapi dan lain-lain.
Semua jenis bajang di atas berfungsi membantu ketika bayi dalam
kandungan, sehingga menjadikan wujud yang sempurna.Maka dari itu
kekuatan bajang perlu disucikan agar si bayi mendapat kerahayuan.
membersihkan ibu bapa si bayi dengan suatu banten pahyakala,
prayascita dan banten tataban. Maksudnya setelah bayi berumur 42
hari, diharapkan orang tua bayi dapat memasuki tempat-tempat suci.
Ketika dilaksanakan upacara inilah, baru peetama kali si bayi dimohon
penglukatan terhadap Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa
serta Sang Hyang Guru di sanggah kemulan.
f.
Upacara
Nyambutin
upacara nyambutin
terlaksana setelah bayi berumur tiga bulan atau 105 hari. Tujuan
upacara ini dalah:
1)
memepertegas nama si bayi
2)
membersihkan jiwa raga si bayi
Serangkaian
upacara nyambutin bias disertai dengan upacara turun tanah. Tujuannya
adalah memohon keselamatan terhadap ibu pertiwi atas kehidupan anak
berkaitan dengan tanah.
g. Upacara
satu oton
Setelah anak berumur
210 hari atau enam bulan, dibuatkan upacara satu oton.Sering juga
disebut weton.Kata ini berasal dari kata ‘wetuan’, yang mana wetu
berarti lahir. Kata wetu ditambah ‘an’ menjadi wetuan(weton)
artinya kelahiran. Sering juga disebut wedalan.Kata
wedalan, berasal dari kata wedal yang berarti lahir. Kata ini sama
artinyadengan medal. Tujuan upacara oton ini adalah untuk
memperingati hari kelahiran seseorang atau sesuatu. Dasar untuk
menentukan hari lahir ini adalah pertemuan sapta wara dengan paca
wara, dan wuku, misalnya:
hari
buda kliwon sinta, kemudian lagi enam bulannya (210 hari) jumpa lagi
dengan hari yang sama, maka disebut satu oton sebagai hari lahir
seseorang. Jadi, itulah yang dipakai pedoman dalam memperingati
otonan seseorang. Bagi umat Hindu, akan sangat baik bila oton ini
dirayakan berkelanjutan bahkan sampai akhir hayat.
h.
Upacara ngempugin
artinya adalah
melaksanakan upacara setelah anak tumbuh gigi untuk pertama kalinya.
Tujuannya memohon keselamatan kepada Bhatara Surya, Bhatara Dewi Sri
agar gigi anak tumbuh dengan baik.
i
Upacara Mekupak
upacara
mekupak dilaksanakan ketika gigi anak tanggal untuk pertama kalinya
atau pada oton pertama. Pergantian gigi susu dengan gigi dewaa adalah
menandakan anak sudah berubah status dari anak menjadi remaja. Pada
masa ini Sang Hyang Kumara tidak lagi mengasuh anak itu.Saat ini anak
dioasuh oleh Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Dewi Ratih.Setelah
mekatus inilah anak sudah mempersiapkan diri untuk menuntut ilmu.
Apakah pra sekolah atau taman kanak-kanak, ataukah langsung pada
sekolah dasar.
j.
Upacara Menek Deha
Upacara menek daha
ini sering disebut dengan ngraja.Yang artinya meningkat dewasa.
Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kepada Sang Hyang
Semara dan Dewi Ratih agar seseorang yang diupacarai dapat kekuatan
dan mengatasi godaan-godaan yang mungkin terjadi ketika menghadapi
panca roba, dapat diketahui masa peralihan dari anak menjadi dewasa
merupakan masa-masa yang rawan bagi anak. Ia berada dalam masa
pubertas pertama.
Mereka sudah mulai
bisa menerima godaan asmara, insane yang berlainan jenis. Bila kurang
waspada anak sering salah langkah.Maka Dari itu umat Hindu, selain
memberikan pendidikan sikap yang berkaitan dengan etika juga mohon
tuntunan pada Dewa, agar umatnya menjadi selamat melewati masa panca
roba tersebut, melalui upacara menek daha ini.
k. Upacara
Metatah
Bila anak sudah
dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan energik.
Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih memberikan
kesempatan Sad Ripu menggoda diri manusia.bila terjadi kemungkinan di
atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku seseorang yang mana dapat
menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena itu
dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan pengaruh
Sad Ripu dalam diri anak.
Pelaksanaan upacara
metatah ini dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran
simbolis gigi pada rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri
dari empat gigi seri, dan dua buah taring. Pada enam buah gigi itu,
ujung geriginya sebagi lambang pengaruh adharma ditatah, agar
terbentuk ujung gigi yang rata lambang dharma.Jadi diharapkan dharma
tetap mengendalikan hiodup seseorang anak yang telah ditatah
itu.Inilah dalam masyarakat dilkatakan “ngedasang
daki”.Artinya
membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain kekuatan Sad Ripu
agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak
mencerminkan budi luhur.
l.
Upacara Mawinten
Seseorang yang baik,
dibuatkan upacara Mawinten.Lebih-lebih bagi orang yang mempelajari
ilmu kerohanian. Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kehadapan
Bhatara Guru, Dewi Saraswati agar beliau menuntun kecerdasan pada
umatnya dalam mempelajari ajaran suci, yakni ilmu pengetahuan yang
bersangkut paut dengan ilmu agama Tattwa, Yadnya dan Susila.
m. Upacara
Pawiwahan
Bila anak sudah
cukup dewasa lahir dan batin, serta tahu ketrampilan sebagai pegangan
kerja, maka sudah pantas membentuk suatu rumah tangga.Pembentukan
rumah tangga baru ini diawali dengan upacara pawiwahan. Tujuannya
adalah:
1.
Mohon pesaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, Bhuta Kala dan manusia
sebagai Tri saksi.
2.
Mohon dibersihkan secara spiritual terhadap bibit yang terdapat pada
suami dan istri.
Diharapkan atas
pertemuan kedua bibit itu membuahkan hasil, yaitu anak saputra.
Tidak cukup hanya pembersihan bibit itu saja, tentu dengan disertai
sikap perilaku luhur oleh orang tua untuk mendidik, menyediakan
jaminan hidup yang berkelanjutan.Jadi, modal cukup banyak diperlukan
untuk mewujudkan anak yang saputra.Menurut lontar kuno Dresti,
bila ada anak yang lahir di luar nikah (tanpa upacara pawiwahan),
anaka itu disebut “Rare Dya Dyu”.Agama Hindu tak mengharapkan hal
tersebut terjadi, yang mana hal itu jauh dari harapan anaka saputra.
5.
Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah
persembahan suci yang ditujukan pada bhuta kala.Tujuannya adalah
untuk memelihara, menyucikan, dan nyupat bhuta kala agar tidak
mengganggu kehidupan manusia.Dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan
adanya ajaran tentang unsur Panca Maha Bhuta, yang dikenal sebagai
pembentuk Buana Agung dan Buana Alit.
Tingkatan kehidupan
di alam ini bertingkat-tingkat, mulai yang terendah sampai yang
tertinggi.Tingkat yang terendah dimulai dari Panca Maha Bhuta,
kemudian tumbuh-tumbuhan, lalu binatang dan manusia.Demikianlah
tingkatan hidup secara sekala. Kalau secara niskala, dikenal tingkat
kehidupan mulai dari peri, jin, setan, gamang, tonya, banaspati,
danawa dan sebagainya. Kehidupan ini lebih rendah daripada Dewa,
sifatnya bertentangan antara raksasa, kala, bhuta dengan Dewa itu.
Bila dikaitkan dengan tujuan Bhuta Yadnya yang berarti memelihara,
menyucikan dan nyupatdapat dilihat sebagai berikut:
a.
Tujuan memelihara:
Mengandung
pengertian mengatur serta menjaga keharmonisan alam.Alam dengan
makhluknya mempunyai hubungan kehidupan yang erat.Bila hubungan itu
terganggu, hidup takkan lagi harmonis.
Misalnya:
Keadaan
Panca Maha Bhuta sebagai pembentuk alam yang terdiri dari
unsur-unsur: pertiwi,apah teja, bayu dan akasa. Masing-masing unsur
itu artinya zat padat, zat cair, zat panas, zat udara dan zat
ether.Ia adalah sebagai pembentuk alam, bila tak dijaga
keseimbangannya, kehidupan di dunia ini takkan harmonis lagi.
Katakana saja pertiwi atau tanah, bila tanah dibiarkan gundul maka
kehidupan akan terganggu, akibatnya bisa mendatangkan banjir, selain
itu tanah yang gundul akan menyebabkan kekeringan yang melanda.
Terlebih bila hutan ikut dibabat, sudah bisa dibayangkan apa yang
terjadi bukan?.Oleh karena itu secara nyata manusia melaksanakan
Bhuta Yadnya misalnya dengan melaksanakan reboisasi, atau menanam
pohon pada lahan yang kering.Contoh seperti ini masih banyak kita
jumpai dalam kehidupan ini.
b.
Tujuan menyucikan alam:
Mengandung makna
membersihakan alam dari polusi, karena tingkah laku manusia yang
tidak mamiliki pengetahuan Bhuta Yadnya, maka dari itu manusia
berbuat serakah.Selain membuat hutan seprti yang telah dicontohkan di
atas, juga membuang limbah industry sembarangan, lebih-lebih pada
sumber-sumber air.Juga pemakaian zat-zat kimia secara tidak tepat dan
berlabihan, pada sector industry, pertanian maupun yang
lainnya.Membuang sampah secara sembarangan juga menyebabkan polusi
pada tanah, di samping berkembambangnya sarang penyakit, dan masih
banyak tindakan manusia yang dapat merusak keseimbangan alam, maka
harus disucikan dengan Bhuta Yadnya. Kemudian untuk mengulangi Panca
Maha Bhuta agar tak menjadi manah, maka agama hindu mengajarkan
konsep Tri Mandala. Alam lingkungan diatur sebagi berikut:
- Utama Mandala adalah untuk tertatanya lingkungan. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka dari itu disediakan siatu tempat suci.
b. Madya Mandala
adalah areal untuk tartatanya sebagai tempat tidur.
c. Nista
mandala adalah areal untuk tempat jemuran, kamar kecil, dan tempat
pembuangan sampah. Telah disediakan rupa, bila keseimbangan Tri
Mandala itu sudah diatur dengan bagus menjadilah suatu tempat layak
huni. Disana akan tampak keharmonisan antara keutuhan bangunan dengan
tata letak dan tata ruang.
c.
Tujuan Nyupat bhuta Kala:
Nyupat mengandung
makna meningkatkan status hidup atau keadaan dari Buta Kala menjadi
tingkatan yang bagus dan bermakna. Seperti keadaan batu, tanah,
tumbuh-tumbuhan, binatang, yang keadaannya semrawut statusnya
ditingkatkan dengan cara misalnya: diatur agar terlihat lebih
menarik, seperti pada penataan taman misalnya. Contoh lain, anjing
yang status hidupnya rendah karena masih liar dan galak, dilatih
supaya lebih berguna. Kembali pada tujuan nyupat, maka yang bersifat
niskala mempergunakan sarana-sarana seperti banten segehan atau
banten caru.Dengan banten itu diharapkan status Bhuta kala dapat
dipelihara, disucikan dan disupat tentunya agar menjadi Dewa kemudian
dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia.Selain itu dapat
dilihat banten Bhuta Yadnya mempunyai tingkatan dari yang terkecil
sampai yang paling besar.Disebut dengan nista, madya dan utama. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Upakara
Nista
Upakara Bhuta Yadnya
yang kecil disebut segehan, bentuk segehan sangat sederhana, bahannya
dari nasi dengan dilengkapi bawang, jahe, garam, arang dan disertai
canang.Semua ini mengandung makna simbolis tersendiri. Segehan ada
beberapa jenis antara lain: segehan kapal, segehan cacahan, dan ada
juga segehan agungm, segehan agung sudah dalam jenis yang lebih
besar. Bantyen segehan tatkala dihaturkan pada Bhuta kala menggunakan
api tangkep yang dibuat dari sabut kelapa, disertai pemercikan
tetabuhan yang terdiri dari arak berem secara lengkap.
b.Tingkatan
Upakara Madya
Banten atau upakara
Bhuta Yadnya dalam tingkat madya sudah mempergunakan dasr ayam dan
banten tersebut dinamakan Caru. Jenis-jenis caru yakni:
1)
Caru ayam brumbun
Ayam brumbun terdiri
dari lima macam warna dalam satu ekor ayam. Ayam itu diolah
sedemikian rupa menjai satu dasar banten caru ayam brumbun, yang
disebut juga caru pengruwak.
Penggunaannya pada piodalan di Mrajan atau Pura sebagai perombakan
suatu tmpat, pembukaan hutan, peletakan batu pertama suatu bangunan
suci, permulaan penggunaan bangunan seperti: bale banjar, rumah, pura
dan lain-lain.
2)
Caru Panca Sata
Dasar banten Bhuta
Yadnya menggunakan lima ekor ayam yang masing-masing mempunyai bulu
yang berbeda. Seperti ayam putih, ayam biying, ayam putih siungan,
ayam hitam dan ayam brumbun. Masing-masing olahan ayam itu ditaruh
sesuai dengan warna kiblat mata angin seperti:
a.
Ayam putih di timur
b.
Ayam biying di selatan
c.
Ayam putih siungan di barat
d.
Ayam hitam di utara
e.
Ayam brumbun ditengah
Penggunaan Caru
Panca Sata ini dapat dilakukan pada upacara melaspas, mapedaging dan
lain-lain menurut petunjuk pemimpin upacara. Cara Panca Sata ini
menjadi dasar bagi pelaksanaan caru besar, yaitu caru: caru panca
sanak, panca kelud, balik sumpah, tawur, pesapuh-sapuh, panca wali
karma, eka dasa ludra, lingia merebu dan nyegjeg gumi.
3)
Caru Panca Sanak
Menggunakan dasar
caru panca sata ditambah dengan asu bang
Bungkem dan bebek
bulu sikep.
4)
Caru Panca Kelud
Menggunakan dasar
Caru Panca Sanak hanya saja ditambah lagi binatang kambing, dan
angsa.
5)
Caru Balik Sumpah
Caru ini tidak
digunakan secara umum, tetapi hanya pada tempat-tempat tertentu
saja.Seperti misalnya bila ada karang angker, tempat itu sering
terjadi bencana, pertengkaran, perkelahian, pembunuhan, kejahatan dan
lain-lain.Tentu saja dari petunjuk para sulinggih.
c.Tingkatan
Upakara Utama
upakara Bhuta Yadnya
dalam tingkatan ini sudah menggunakan binatang sebagai dasar cara
dalam jumlah yang lebih besar dan juga menggunakan binatang kerbau.
Adapun yang termasuk jenis caru ini adalah:
1)
Tawur
Caru tingkat tawur
dipergunakan setiap tahun sekali yakni setiap datangnya tahun baru
saka.Disambut dengan diawali melaksanakan tawur kesanga. Binatang
yang dipakai dalam upacara tawur adalah sebagai dasar lima ekor ayam
dan binatang lain, seperti di atas ditambah satu ekor binatang
kerbau.
2)
Caru Pesauh-sapuh
Dasar
caru seperti di atas, tetapi ditambah tiga ekor kerbau.
3)
Panca Wali Krama
Dasar
caru ditambah lima ekor kerbau.
4)
Eka Dasa Rudra
Dasar
caru mempergunakan bebagai jenis binatang, dari binatang peliharaan
sampai dengan binatang hutan, burung dan jaga ditambah dengan
binatang laut, serta binatang korban 26 ekor.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dari
pemaparan materi di atas dapat di ambil simpulan bahwa kita sebagai
generasi muda serta masyarakat yang mengemban sebagai umat hindu
dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu di Indonesia umumnya dan di
Bali khususnya harus benar-benar memahami dalam pengimplementasian
suatu yadnya, agar tidak suatu yadnya itu dapat di katakana hanya
sebuah ritual semata. Kita sebagai umat harus bangkit dari suatu
kebodohan ke beragamaan. Yadnya harus di landasi dengan
ketulusiklasan tanpa ketulusiklasan tersebut yadnya tidak bisa di
katakan sempurna ketika manusia atau oknum-oknumnya itu pamrih, dan
umat Hindu di harapkan selalu menjalankan ritual keagamaan guna untuk
meningkatkan moral dan spiritual, dan menjadikan upacara atau yadnya
itu sebagai kebutuhan kita
3.2
Saran
Diharapakan
bagi para Umat Hindu agar selalu menjalankan perintah Agama dan
jangan pernah timbul dari dalam diri sendiri sikap tidak percaya
dengan Agama.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ajaran agama Hindu
memiliki kerangka yang kuat, karena menampilkan ajaran Tatwa, susila
dan yadnya. Tatwa mengisi kecerdasan otak, melatih memandang
rahasia-rahasia yang dimiliki Tuhan, dan rahasia dalam diri, serta
rahasia-rahasia dalam alam lingkungannya. Dengan demikian manusia
atau umat Hindu wajar berpikir sedalam-dalamnya tentang hal tersebut.
Susila adalah menyuguhkan ajaran untuk melatih tingkah laku yang
berperan menumbuhkan peningkatan rasa pada setiap pemeluk. Disinilah
kemantapan dari humanisme yang kekal. Masyarakat Bali yang mayoritas
adalah penganut agama Hindu, mempunyai suatu kepercayaan yang tidak
lepas dari kebudayaan Bali. Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa
mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan
adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama
Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan
istilah PancaYadnya
yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Yadnya adalah
menyuguhkan ajaran rela berkorban yang pada hakikatnya adalah
memelihara hidup, sebab semua yang hidup di dunia ini bermula dari
Yadnya dan tidak terlepas dengan Yadnya itu sendiri. Diketahui
makhluk dengan isinya diciptakan Tuhan berdasarkan Yadnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana kualitas yadnya dalam agama hindu?
1.2.2
Bagaimana Rumusan serta pemaparan Panca Yadnya dalam Agama Hindu?
1.3
Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami makna yang
terkandung dalam yadnya itu sendiri serta dapat mengimplementasikan
dalam kehidupan beragama terutama dalam umat hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kualitas Yadnya dalam Agama Hindu
Kata Yadnya berasal
dari bahasa Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja,
mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang
harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian
tanpa pamrih.
Aphalakaanksibhir
yadnyo
Vidhi
drsto ya ijyate
Yastavyam
eveti manah
Samaadaya
sa saatvikah
(Bhagavad Gita, XVII.11)
Maksudnya: Yadnya
yang dilakukan menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah), dilakukan
dengan ikhlas, yang sepenuhnya dipercaya bahwa yadnya itu sebagai
suatu kewajiban suci. Yadnya yang demikian itu tergolong Satvika
Yadnya.
Kata “upacara”
berasal dari bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan
yadnya artinya ikhlas berkorban untuk tujuan yang benar dan suci.
Jadi, upacara yadnya adalah upaya spiritual dengan bentuk ritual
dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan dengan landasan bhakti.
Bhakti pada Tuhan
itu lebih lanjut didayagunakan untuk meningkatkan keluhuran moral dan
daya tahan mental untuk memelihara kesejahteraan alam serta mengabdi
pada sesama manusia dengan landasan punia. Asih dan punia itulah
sebagai wujud bhakti kita kepada Tuhan. Jika bhakti itu tanpa
rnenyayangi alam Iingkungan dan mengabdi pada sesama dengan tulus
maka bhakti akan sia-sia saja. Selanjutnya upacara yadnya itu ada
upakaranya. Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani.
Karena itu dalam Lontar Yadnya Prakerti bentuk-bentuk upakara itu
sebagai lambang pelayanan kepada Tuhan, kepada sesama manusia dan
juga pelayanan kepada alam atau bhuwana.
Dari pemahaman
tersebut dapat dinyatakan bahwa suksesnya suatu upacara yadnya
apabila ada secara nyata upaya melestrikan alam lingkugan, adanya
perhatian yang nyata pada nasib sesama sehingga hubungan manusia
dengan manusia semakin harmonis, dinamis dan produktif secara
spiritual dan meterial.
Hal itu terjadi
sebagai wujud pelaksanaan upacara yadnya. Kalau terjadi sebaliknya
maka dapat dinyatakan upacara yadnya itu belum sukses. Kalau bhakti
itu kenyataanya membuat alam semakin merosot kuantitas dan
kualitasnya dan hubungan dalam masyarakat semakin tidak harmonis,
apalagi sampai terjadi permusuhan, itu pertanda upacara yadnya
tersebut gagal mewujudkan misi sucinya. Apalagi upacara yadnya
penyelenggaraanya boros, karena dalam pustaka Ariandadayi menyatakan
ada empat hal yang tidak boleh diboroskan yaitu: tidak boleh sampai
membuang-buang makanan, pemakaian uang tidak tepat guna, tenaga tidak
boleh dibuang sia-sia dan tidak mengulur-ulur waktu. Agar upacara itu
sukses, lakukanlah upacara yadnya yang satvika sebagaimana dinyatakan
dalam kutipan Sloka Bhagawad Gita XVII, 11, 12 dan 13.
2.1.1 Kualitas
Yadnya
Ada tiga kualitas
upacara yadnya utama itu pengertiannya dipadukan dengan satvika
yadnya menurut kitab suci Bhagawad Gita. Apalagi menurut Manawa
Dharmasastra 1.86 prioritas beragama zaman Kali adalah dhana punia
bukan upacara. Karena itu upacara yadnya yang diselenggarakan agar
lebih diutamakan kegiatan berdana puma terutama untuk memajukan
pendidikan. Upacara yadnya diselenggarakan disamping tujuan utamanya
untuk berbhakti pada Tuhan juga sebagai media berdaana punia.
Upacara yadnya
rajasika dan tamasika, yang ditampilkan dengan serba glamour dan
gebyar serba mewah dan yang boros uang, waktu, tenaga dan
membuang-buang makanan. Upacara Yadnya demikian itu menjadi beban
yang memberatkan hidup dan banyak menimbulkan permasalahan hidup.
Satvika yadnya menurut Bhagawad Gita ada beberapa syaratnya, yaitu
sradha, artinya upacara yadnya dilakukan berdasarkan keyakinan yang
mendalam bahwa upacara yadnya itu sebagai suatu yang seyogianya
dilakukan sebagai penganut Hindu yang baik. Upacara Yadnya tidak
boleh dilakukan dengan ragu-ragu sekadar untuk memenuhi syarat formal
beragama Hindu saja. Lascarya, upacara yadnya harus dilakukan dengan
tulus ikhlas tidak ada sama sekali adanya rasa terpaksa atau ada
sesuatu yang dirasakan menekan. Upacara yadnya itu dilakukan sesuai
dengan Vidhi Drstah atau petunjuk sastranya.
Upacara yadnya harus
juga ada Daksina, artinya honorarium sebagai simbol penghormatan
dalam wujud hanta dan penghormatan secara moral untuk rohaniawan
seperti pinandita (pemangku) atau pandita. Tanpa daksina, upacara
yadnya itu akan gagal. Upacara yadnya seyogianya diantarkan dengan
melantunkan gita atau kidung suci. Kidung suci yang dilantunkan
dengan benar, baik dan tepat akan dapat menumbuhkan vibrasi spiritual
pada lingkungan. UpacaraYadnya seyogianya juga ada Arma Seva artinya
ada jamuan makan terutama untuk Atiti Yadnya yaitu tamunya upacara.
Sebab, ada sastra menyatakan betapa pun meriahnya suatu upacara
yadnya kalau di sekitarnya ada orang kelaparan dan wanita terhinakan
maka upacara yadnya itu tidak mencapai tujuan muliannya. Syarat
terakhir satvika yadnya itu adalah nasmita artinya yadnya yang
dilakukan itu tidak ada niat untuk pamer atau menonjolkan egoisme.
Apalagi ada niat untuk menonjolkan diri untuk meremehkan orang lain
di lingkungan sendiri. Hakikat upacara yadnya itu justru untuk
mereduksi egoisme. Karena egoisme itu akan menutup pancaran suci
atman menyinari dinamika indriya. Upacara yadnya yang menonjolkan
egoisme itu ciri upacara yadnya yang gagal memberikan vibrasi suci.
2.2
Rumusan serta pemaparan Panca Yadnya dalam Agama Hindu
Dalam Atharwa
Weda XVII.3
dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir
batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam
Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang
ber-Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air,
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jadi
berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai amalan agama mengandung
pengertian. 1.Merupakan sistem
persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa.
2.Merupakan prinsip
berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu
sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup
bahagia.
Akibat Tuhan berbuat
Yadnya itu menimbulkan rnam.
Rnam
berarti hutang. Kemudian agar tercipta hukum keseimbangan, maka rnam
itu harus dibayarkan dengan Yadnya. Demikian adanya atas dasar Tri
Rna
Dibayar dengan Panca
Yadnya yakni:
a. Dewa
Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya.
b. Rsi
Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
c. Pitra
Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep agama
hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya
keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang
didambakan oleh setiap orang di dunia.Untuk umat Hindu yang
diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan
Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan
lingkungannya. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada
dua macam Panca Yadnya, yaitu:
1.
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya.
2.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini
disebut Panca Maha Yadnya.
Pertama:
Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa
dijelaskan:
a.
Drewaya
Yadnya,
adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana korban.
b.
Tapa
Ydnya,
adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita
sebagai sarana berkorban.
c. Jnana
Yadnya,
adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan,
member pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai
sarana korban.
d. Yoga
Yadnya,
adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada
Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai
dengan tingkat tertingi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
e. Swadyaya
Yadnya,
adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorbankan diri
demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.
Kedua:
Panca
Yadnya berdasarkan kitab Manawa
Dharmasastra III. 70
tersurat:
“Adhyapanam
brahma Yajnah,
pitryapastu
tarpanam,
homo
daiwo balikbaurto,
nryajna
‘tihti pujanam.”
|
Artinya
:
Mengajar
dan belajar adalah Yadnya bagi Brahmana, menghaturkan minyak, susu
adalah Yadnya untuk para Dewa, menghaturkan bali adalah Yadnya untuk
para bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah Yadnya bagi
manusia. jadi,
berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan Panca Yadnya itu sebagai
berikut:
1. Dewa
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa.Asal kata Dewabersal
dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi
pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari
Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi
Wasa.
2. Rsi
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan kepada brahmana atau para Rsi.
Rsi
artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di
Bali.
3. Pitra
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan pada leluhur.
Pitra
artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
4. Bhuta
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala.
Bhuta
artinya unsur-unsur alam.
5. Manusa
Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan pada manusia. Manusia yang hidup di
dunia terutama yang beragama hindu selalu melaksanakan yang namanya
manusa yadnya,
2.2.1
Pemaparan Panca Yadnya
1. Dewa Yadnya
Dewa Yadnya berarti
persembahan suci ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para
Dewa serta segala manifestasinya.
Adapun
tujuan utama melaksanakan Dewa Yadnya adalah:
1.
Menyampaikan rasa hormat, bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan nikmat yang dianugerahkan kepada umatNya.
2.
Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, panjang umur, kesaksian,
kemuliaan, bimbingan untuk menuju keselamatan umat, bangsa dan
negara.
3.
Mengucapkan syukur atas peningkatan sesucian lahir batin dengan
didasari oleh pembersihan akan bayu, sabda dan idep, yaitu paridhanya
laksana kata-kata dan pikiran.
Kalau demikian
halnya berarti perbuatan-perbuatan di bawah ini yang termasuk ke
dalam Dewa Yadnya Misalnya:
a.
Melaksanakan persembahyangan kepada sang hyang Widhi.
b.
Mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajaran tentang
ketuhanan.
c.
Berziarah ke tempat-tempat suci dan mengembangkan ajaran Dharma.
d.
Membangun tempat-tempat ibadah.
e.
Berdana punia bila ada upacara di Pura.
f.
Menghaturkan canang dengan sarinya tatkala melakukan persembahyangan.
g.
Bakti sosial (ngayah) pada suatu tempat-tempat suci dengan penih
keikhlasan.
Perbuatan semacam
inilah termasuk perbuatan Dewa Yadnya yang mulia bila dilaksanakan
dengan kesadaran batin dan tanpa pamrih. Bukannya besar harta benda
yang menjadi ukuran, tetapi dasar ketulus-ikhlasan itulah yang
utama.
Disisi lain bila
ditelusuri tentang hari-hari pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dibedakan
dua macam, yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Kedua macam
pelaksanaan Dewa Yadnya ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Nitya Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya seperti:
1.
Menghaturkan banten canang sari setiap hari
2.
Menghaturkan Yadnya sesa setiap hari sehabis masak
3.
Melaksanakan Puja Tri Sandhya setiap hari
b.
Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam
sasih dan pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1.
Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara,
Sapta Wara dan wuku, yaitu:
a)
Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b)
Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c)
Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur
keburukan di dunia
d)
Hari Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian
batin
e) Hari
Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk mencapai
ketentraman batin dan mengendalikan diri
f) Hari
Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk
mengukuhkan keyakinan
g)
Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h)
Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru,
para Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i) Budha
Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa, Dewa,
dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan
Kuningan.
j)
Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai
Dewa Kesenian
k)
Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja
Dewi Ilmu Pengetahuan.
2.
Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang
beryoganya Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti
pada hari:
a)
Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara
atau Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari,
dan para Rsi Gana
b)
Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c) Tilem
Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang
telah memberkati umatNya
d)
Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e)
Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang
diawali dengan melis ke laut atau sungai. Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara Tawur Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan
Nyepi, yakni melaksanakan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan,
Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan Ngembak Geni.
f)
Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih
dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama
Bhatara Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan
Panca Wali Krama, kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan
Eka Dasa Rudra
3.
Upacara Dewa Yadnya yang sifatnya insiden
Dapat kita lihat
dalam lontar Catur Weda, misalnya upacara: Melaspas, Memungkah, Catur
Rebah, dan Nyatur Niri. Semua Yadnya mempunyai atura sendiri. Juga
dalam lontar Bhama Kerti, dijelaskan ada upacara Matani Aluh,
seperti: Matarin, Nemakuh dan Ngulapin.
Dalam lontar
Sripurana, berarti dengan pertanian dilaksanakan upacara: mulai
mengerjakan sawah, Byakukung dan Mantenin Padi
Bahwa phala
melaksanakan Dewa Yadnya dijelaskan dalam lontar Tatwa
Kusuma Dewa,
sebagai berikut:
“Rahayu
pahalaya yan mangkana, sadadyani kaya olih sadya kaduluran Whidi,
haywa enam ngutpati Dewa astiti ring Sang Hyang Widhi.”
Artinya:
“selamat
phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh
penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa
dan berbakti Pada Tuhan.”
2. Rsi Yadnya
Rsi Yadnya berarti
persembahan suci kepada Brahmana atau para Rsi atas jasa beliau dalam
membina umat dan mengembangkan ajaran agama.Kalau kita terima agama
itu adalah sebagai obat maka para kaum Brahmana telah berjasa dapat
memberikan obat kapada umat, sehingga umat memiliki kesehatan mental
dan spiritual.
Kalau kita terima
juga agama itu laksana obor, berarti para Brahmana memberikan suluh
menghilangkan kegelapan bagi pemeluknya, berarti para Brahmana atau
para Rsi telah berjasa menjadikan dunia cemerlang karena ilmu agama
disebarkan dan dikembangkan oleh beliau kepada pemeluknya.
Demikian juga kalau
diterima bahwa agama itu adalah memuliakan hidup berarti para Maha
Rsi atau kaum Brahmana telah berjasa pula karena mereka dapat
menuntun umat manusia untuk hidup lebih berkembang, menjadi manusia
yang utuh. Manusia yang memiliki keseimbangan jasmani dan rohani.
Dimana dalam agama Hindu dikenal dengan Molsartham Jagadhita.
Kalau kita menyadari
diri kita ketika baru lahir mempunyai keadaan putih bersih belum tahu
apa-apa, tapi sekarang kita melihat diri dan menyadari kita tahu
membaca, menulis, berhitung, tahu pengetahuan agama, dan tahu
ilmu-ilmu lain. Sesungguhnya itu terjadi atas jasa-jasa dari para
arif bijaksana yang dengan tulus ikhlas menyebarkan pengetahuan itu.
Di mana ada kaum
arif bijaksana pengemban Dharma, di sana ada kemuliaan. Seperti apa
yang telah dijelaskan dalam kitab
Ramayana syair bait II
yang berbunyi:
“Hana rajya tulya
kendran,
Kawehan sang
Mahardidhika susila,
Ringayoodya
subhageng rat,
Yeka kadarwanirang
nrepi.”
Artinya:
“Ada kerajaan
bagaikan sorga, banyak disana orang arif budi luhur di sana pada
keratin Ayodya yang sangat terkenal, itulah keratin beliau raja
(Dasarata).
Berkenaan dengan hal
di atas kita harus menyadari bahwa untuk dapat mengambil bagian dalam
hidup ini melaksanakan Rsi Yadnya maka kita harus mengemukakan
cara-cara untuk melaksanakannya. Langkah yang dapat dilaksanakan
sebagai amalan Rsi Yadnya. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a)
Hormat bakti kepada para Brahmana termasuk sikap pelaksanaan Rsi
Yadnya
b)
Memberikan tuntunan kepada calon sulinggih
c)
Menobatkan seorang sulinggih
d)
Memberikan punia kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
e)
Menghaturkan daksina kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
f)
Tekun mempelajari kitab-kitab suci
g)
Memperingati hari Saraswati
h)
Mengembangkan dan menyebarkan ajaran Weda
3.
Pitra Yadnya
Pitra Yadnya
merupakan persembahan suci kepada Pitra atau roh leluhur dan termasuk
kepada orang tua yang masih hidup. Disadari atau tidak beban utang
dari hutang orang tua atau leluhur cukup banyak dalam kitab Manu
Smrti 11.227 menjelaskan:
“Yam
matapitaram klecam seheta sambhawe.
Nrnam
na tasya niskrtih
Cakya
kartum warsa catairapi”.
Artinya:
Penderitaan
yang diabaikan oleh Bapak dan Ibu pada waktu lahir anak (bayi) tidak
dapat dibayar walaupun dalam waktu seratus tahun.
Selain
itu dalam lontar Kunti
Yadnya
dijelaskan:
“Kengetakna
grtrani kawitanta,Tkeng anak putunta sukulaBretya nucara, me
pwakitaPanahura hutanganta ring yayah bibi, panebusaning
sarirakret ngaranya kasampurna dening yasa sembanta”.
|
Artinya:
Ingatlah jasa-jasa
leluhurmu pada anak cucu serta pada seluruh sanak keluarga, patutlah
membayar segala hutangmu pada Ayah Ibu.
Berdasarkan
penjelasan di atas kita gambarkan bahwa kita wajib membayar hutang
itu pada orang tua.Pembayaran hutang itu diwujudkan dalam bentuk
Pitra Yadnya. Wujud-wujud tersebut dapat berbentuk seperti di bawah
ini:
a)
Menghormati orang tua atau leluhur
b)
Sedapat mungkin dapat menuruti nasehat orang tua
c)
Menjamin orang tua setelah usia lanjut, termasuk di dalamnya menjamin
makanan, kesehatan, atau hal yang menyangkut sandang pangan dan papan
d)
Mengajak orang tua bercakap-cakap sebagai cerminan cinta kasih
keluarga
e)
Membuang, memelihara, menjaga tempat suci keluarga, termasuk Padharma
Tujuan dilaksanakan
upacara Ngaben adalah untuk mengembalikan Stula Sariraatau badan
wadag yang terdiri dari Panca Maha Bhuta dalam Buana Alit kepada
Panca Maha Bhuta yang bersumber pada Bhuana Agung.Selain itu
bertujuan untuk meningkatkan kesucian roh yang telah meninggal, yakni
dari roh orang yang berstatus Preta menjadi Pitara bahkan menjadi
Dewa Hyang Pitara. Untuk proses pengembalian Panca Maha Bhuta ke
Bhuana Agung, dikenal dengan sistem pembayaran mayat, yang disebut:
Sawa
Wedana, Asti Wedana dan Swasta Wedana.
1)
Sawa Wedana
Sawa Wedana disebut
juga Sawa Preteka.Artinya mengupacarai jenazah orang yang baru
meninggal.Sering juga dalam masyarakat disebut ngaben
dadakan,
sifatnya segera. Menurut lontar Yama
PurwanaTatwa dan
Pubha
Sasana,
tata cara seperti ini dibenarkan dan disebut dengan istilah Mependem
Ring Giri, megenah di petulangan.
2) Asti
Wedana
Asti
Wedana adalah mengupacarai jenazah setelah menjadi tulang. Tata
caranya seperti di bawah ini:
a.
Mempermaklumkan ke Pura Dalem. Yang akan di aben, tegteg
dipermaklumkan ke Pura Dalem. Dilengkapi dengan peras, penyeneng,
daksina pejati, suci, ketipat dan segehan.
b.
Ngulapin ke Mraja Pati, tegteg dituntun ke Mraja Pati disertai
upacara peras, daksina, pengulapanan, pengabenan, segehan dan sayut.
c.
Ngangkid: tegteg diusung ke setra ke tempat terkubur orang yang akan
diaben. Di atas kuburan diselenggarakan upacara ngangkid dengan
sarana: suci, peras, penyeneng, daksina, pujung, segehan berisi
jeroan mentah, tabuh tuak arak. Setelah upacara ini berakhir,kuburan
dibongkar, tulang-tulang diambil, dibersihkan, lalu disusun kembali
seperti semula.
d. Pada
bangbang yang telah dibongkar, menghaturkan banten: suci, peras,
daksina, dan sembelihan ayambulu hitam. Setelah itu bangbang ditumbun
secara simbolis.
e.
Ngeringkes: upacaranya serupa dengan banten pengeringkesan Sawa
Wedana.
f.
Ngeseng: upacaranya sama dengan upacara Sawa Wedana.
g.
Ngayut: sama dengan upacara Ngayut Sawa Wedana.
3)
Swasta Wedana
Swasta adalah
upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan dengan tidak mengupacarai
mayat dalam bentuk tulang-belulang atau jasad.Melainkan bentuk itu
dapat diganti dengan bentuk kusa atau alang-alang.Selain itu, dapat
juga diwujudkan dengan air sebagai Toya Sarira. Tata
pelaksanannya
sama dengan tahap-tahap pelaksanaan Asti Wedana. Mulai dari
mempermaklumkan ke Pura Dalem sampai dengan Ngayut.Hanya ada
perbedaan sedikit, kalau dalam ngaben Swasta tidak ada langkah
ngangkid tulang seperti dalam Asti Wedana.
4)
Ngelungah
Dikenal lagi upacara
ngaben yang disebut Ngelungah.Upacara ini dilakukan bagi jenazah yang
masih anak-anak.Ketentuannya ini adalah bagi anak-anak yang berumur
di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal maka
diaben Ngelungah.Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila
meninggal almarhumhanya dikubur saja.Namun, anak yang berumur diatas
tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang
dewasa.
Adapun
tata caranya adalah:
a.
Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka,
daksina, ketipat, kelanan, telor bekasem dan segehanputih kuning.
b.
Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina
dan peras.
c.
Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan
ketipat kelanan.
d.
Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara: sorohan, pengambian,
pengulapan, peras daksiana, klungah nyuh yang disurat Omkara.
e.
Banten pada roh bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb
sari, punjang dan banten bajang.
f.
Tirta pangrampuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua
banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara memohon
pada bhatar/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci.Bila
selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan
kembali.
5)
Upacara Atma Wedana
Upacara Atma Wedana
disebut juga nyekah.Upacara ini dilaksanakan setelah selesai upacara
Sawa Wedana.Tujuan upacara ini adalah untuk meningkatkan kesucian roh
orang yang meninggal.Semula preta menjadi pitara bahkan menjadi Dewa
Hyang Pitara.Sejalan dengan ini juga berarti mengembalikan atma ke
paramaatma.Nama-nama untuk upacara ini ada yang menyebut nyekah,
ngerorasin, mukur, melinggih dan juga ngeluwer. Pelaksanaan upacara
ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Ngajum
Makna upacara ini
adalah memanggil Sang Hyang Atma(roh), karena dibuatkan upacara
sekah. Upacara Ngajum ini disertai seperangkat sesajen dan
pelaksanaan upacaranyapagi hari dib alai Pawedan yang dituntun oleh
pemimpin upacara beserta dikerjakan oleh senta dan prati Santana.
Upacara ngajum ini termasuk upacara utpati.
b.
Upacara Ngayab
Pelaksanaan upacara
ini termasuk upacara Shtiti Sang Hyang Atma.Upacara ini dilakukan
setelah kembali dari beji.Dipimpin oleh sulinggih dilengkapi dengan
saji, ayaban dan seperangkat banten.Kemudian dilanjutkan
persembahyangan oleh anak cucu dan prati sentananya
c.
Upacara Mapralina
pacara ini dilakukan
pagi hari di depansanggah
pesaksi.
Sekah diturunkan dari balai upacara, segala menjadi satu kesatuan
sekah segera dibakar di atas senden.Bila semua telah terbakar lalu
disiram dengan air kumkuman.Kemudian dilumatkan dengan tebu dan
cabang dapdap.Hasil lumatan itu dimasukkan ke dalam kelapa gading dan
dihanyutkan ke laut atau sungai.
Tiga hari setelah
upacara mepralina, dilanjutkan dengan upacara ngeremekin.Maksud
upacara ini adalah mempermaklumkan bahwa penyucian roh terhadap orang
yang meninggal telah selesai.Bila tahapan ini sudah selesai, maka
dapat dilanjutkan dengan ngelinggihang
Dewa Hyang Pitara di Pura Kawitan sebagai pura penyungsungan
leluhur.Bila dikaitkan dengan Panca Yadnya, upacara ngelinggihang ini
sudah termasuk Dewa Yadnya.Sebagai renungan,orang yang belum mengerti
tentang Pitra Yadnya ini, mereka dengan cepat mengatakan upacara
ngaben ini adalah pemborosan.Boleh saja, sebab bila direnungkan lebih
jauh lagi bukanlah
pemborosan.Tetapi
upacara agama Hindu ini adalah membantu untuk memutar ekonomi
masyarakat. Sebab dalam kesempatan seperti ini orang yang kaya akan
mempergunakan harta
bendanya
untuk mewujudkan semangat rela berkorban. Maka dari itu ia membuat
upacara yang utama tingkatannya. Namun bagi umat yang tidak mampu,
dapat membuat utamaning nista.Nista
bukan
berarti hina dan rendah, melainkan semua tingkatan mengandung arti
mulia bila didasarkan atas ketulusan ber-Yadnya.
Berdasarkan pikiran
sepintas, kiranya uang yang banyak itu dialihkan dan disumbangkan
pada fakir miskin.Diketahui agama Hindu tidak mengajarkan bagaimana
melalui Yadnya ekonomi masyarakat berputar. Akibatnya orang yang bisa
rajin bekerja dan menyadari etos kerja, sebab kerja apapun yang
didasari pada cinta kasih dan dikerjakan secara sungguh-sungguh akan
menunjang kehidupan kita. Bukan umat diarahkan kerja
meminta-minta.Jadi, berkaitan dengan ini dapat ditegaskan pelaksanaan
ngaben ini bukanlah semata-mata pemborosan, melainkan mengandung
unsur gotong-gotong royong, pendidikan kerja dan rela berkorban
tentunya.Sesuai dengan semangat ber-Yadnya untuk melangsungkan
pemeliharaan hidup.
4. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah
persembahan suci kehadapan sesama.Tujuan melaksanakan korban suci ini
adalah untuk pembersihan lahir batin.Pembersih lahir batin ini
dilakukan setiap hari, setiap saat dan berkelanjutan.Dengan demikian
diharapkan pada akhirnya agar atma dapat manunggal dengan parama
atma.
Berdasarkan tujuan
dan pengertian Manusa Yadnya yang telah diuraikan di atas, maka satu
putaran hidup manusia dapat dilihat berkali-kali dilaksanakan upacara
Manusa Yadnya terhadap seseorang itu.Boleh jadi pembersihan bayi
sejak dalam kandungan, sampai bayi lahir, dan menjadi dewasa, serta
sampai mengakhiri hidupnya. Weda Parikrama menjelaskan, tubuh
dibersihkan dengan air, pkiran dibersihkan dengan kejujuran, roh
dibersihkan dengan ilmu dan tapa dan akal dibersihkan dengan
kebijaksanaan.Berkaitan dengan hal ini berarti kita membersihkan diri
terhadap semua hal di atas. Agama Hindu dalam prakteknya
yang berkaitan dengan pembersihan roh jasmani dan roh rohani tidak
bias terlepas dari menggunakan banten sebagai wujud
korban dan berkaitan dengan
Manusa
Yadnya. Hal ini sangant bersifat spiritual.Pelaksanaan Manusa Yadnya
dalam kehidupan sehari-hari dapat berwujud material dan juga
spiritual.Misalkan uang, nasi, air atau hal-hal yang temasuk dalam
sandang, pangan dan papan.Kemudian pemberian ilmu pengetahuan,
nasihat, petunjuk, jasa dan sejenisnya adalah yang bersifat
spiritual.Sifat pemberian seperti di atas, bila didasarkan atas
ketulusan hati menurut lontar slokantara disebut Stvikdana.Bila
pemberian itu dikaitkan dengan unsure pamrih, walaupun sedikit adanya
dalam batas wajar disebut Rajasikdana.Bila
suatu pemberian mempunya ikatan pamrih keuntungan yang banyak hal ini
disebut Tamasikdana.
Kembali pada
pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan sarana banten, dilaksanakan dalam masa-masa transisi.Masa
sekarang ini dipandang mempunyai nilai baik untuk dibuatkan
pembersihan spiritual.
Adapun
waktu-waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan upacara itu adalah
ketika:
a.
bayi dalam kandungan dibuatkan upacara pagedong-gedongan.
b.
bayi baru lahir dibuatkan upacara mapag rare.
c.
bayi tatkala kepus puser dibuatkan upacara
kepua puser.
d.
bayi sua belas hari dibuatkan uapacara lepas
hawon
e.
bayi berumur 42 hari dibuatkan upacara kambuhan
f.
bayi berumur tiga bulan dibuatkan upacara nyambutin
g.
bayi berumur enam bulan dibuatkan upacara oton.
h.
bayi baru tumbuh gigi dibuatkan uapacara ngampugin.
i.
anak giginya tanggal untuk pertama kalinya dibuatkan upacara makupak.
j.
anak sudah meningkat remaja dibuatkan upacara ngraja.
k.
anak menjadi dewasa dibuatkan upacara matatah.
l.
bila ia ingin mendalami ilmu kerohanian maka dibuatkan upacara
mawinten.
m.
bila ia ingin membentuk rumah tangga maka dibuatkan upacara
pawiwahan.
Dengan
demikian sudah jelas bahwa satu putaran hidup menjadi manusia banyak
sekali dibuatkan upacara Manusa Yadnya. Di zaman perkembangan umat
Hindu sekarang ini, Manusa Yadnya yang diberikan pada anak akan lebih
berguna bila peningkatan sumber daya manusia itu diantisipasi dengan
lebih awal. Oleh karena itulah agar anak-anak merasa lebih mandiri
dan
berdaya guna
nanti ia patut diberikan jaminan hidup yang cukup, fasilitas
pendidikan dan terdidik.
Untuk mengetahui
makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnyaakan
diuraikan satu persatu secara singkat, yaitu:
a.
Upacara Pagedong-gedongan
Upacara
pagedong-gedongan disebut juga upacara garbhadana.Tujuan
upacara ini adalah memohon keselamatan jiwa araga si bayi yang ada
dalam kandungan.Diharapkan melalui upacara ini bayi yang lahir dalam
keadaan selamat, kemudian dapat hidup, tumbuh menjadi yang berguna
bagi masyarakat.
Menurut lontar kuno
Drestiupacara
Garbhadanaini baik dilaksanakan setelah kandungan berumur lima atau
enam bulan kalender, karena pada saat itulah pertumbuhan janin sudah
sempurna berbentuk sosok bayi utuh berbadan laki atau perempuan.
Selain melaksanakan
upacara seperti di atas, orang tua menjadi wajib melaksanakan brata
dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya orang tua jangan berucap
“Wakcapala”
artinya berkata-kata kotor. Selain itu orng tua wajib melaksanakan
“Wakpurusia”
artinya tidak berkata yang dapat menyakitkan hati orng lain. Termasuk
juga selalu memelihara ikatan cinta kasih dalam membina rumah
tangga.Bila brata seperti di atas tidak dilaksanakan maka
dikhawatirkan sifat buruk di atas dapat berkibat buruk bagi bayi
dalam kandungan.Agar batyi mendapat pengaruh yang baik, sebaiknya
orang tua berperilaku positif, misalnya membaca buku-buku kerohanian,
wiracerita, atau cerita-cerita yang bersifat tuntunan budi luhur.
b.
Upacara mapag rare
Ketika bayi baru
lahir, dibuatkan uapacara mapat rare. Tutuannya mengucapakan syukur
kepada sang Hyang Dumadi, bahwa bayi dapat lahir dengan selamat.
Melalui upacara ini, diharapkan Sang Hyang Dumadi menjiwai bayi
tersebut, dapat hidup dhurgayusa
dhirgayu.
Berkaitan dengan bayi baru lahir perlu diketahui cara memelihara
tembumi.
Tembumi
dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah dua,
juga dimasukkan duri-duri.Seperti duri terong, nawar dan
sebagainya.Dan dilengkapi juga dengan
sirih
lekesan, kelapa yang dibungkus ijuk, kain putih baru.Ditanam sebelah
kanan pintu masuk, kalau bayi laki-laki dan sebelah kiri kalau bayi
perempuan.
Saat memendam ke
bumi mengucapakan mantra:
“ong
sang ibu pertiwi rumsga bayu,
ruange
amerta sanjiwani,
angemertaning
sarwa tumarah…[wong bayi]
mangda
dirgayusa nugtugan tuwuh”
artinya:
ya Tuhan Yang Maha
Esa dalam manifestasi ibu pertiwi laksana sumber kehidupan,
memberikan hidup kepada semua makhluk, semoga panjang umur dan
selamat.
Setelah
itu tembumi serta ditindih dengan pohon pandan, lalu dihaturkan
banten segehan kepada catur warna.Lengkap dengan bawang, jahe, garam
serta canang satu pasang.
c.
Upacara Kepus Puser
Tujuannya
pembersihan tempat suci bangunan pekarangan.Puser dikeringkan dengan
rempah-rempah dan disimpan di tempat tidur si bayi, saat si bayi
diasuh oleh Sang Hyang Kumara.
d.
Upacara ngelepas hawon
Setelah bayi berumur
dua belas hari dibuatkan suatu upacara ngelepas hawon dengan tujuan
bayi tetap sehat selamat dan panjang umur.
e.
Upacara kambuhan
Upacar
ini sering pula disebut upacara mecolongani.
Tujuannya adalah:
- melakukan pembersihan jiwa raga si bayi, denagn cara mengupacarai nyama bajang. Banyak nyama bajang ada 108, antara lain: bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang lengis, bajang bejulit, bajang kebo, bajang ambengan, bajang papah, bajang tukal, bajang dodot, bajang
sapi dan lain-lain.
Semua jenis bajang di atas berfungsi membantu ketika bayi dalam
kandungan, sehingga menjadikan wujud yang sempurna.Maka dari itu
kekuatan bajang perlu disucikan agar si bayi mendapat kerahayuan.
membersihkan ibu bapa si bayi dengan suatu banten pahyakala,
prayascita dan banten tataban. Maksudnya setelah bayi berumur 42
hari, diharapkan orang tua bayi dapat memasuki tempat-tempat suci.
Ketika dilaksanakan upacara inilah, baru peetama kali si bayi dimohon
penglukatan terhadap Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa
serta Sang Hyang Guru di sanggah kemulan.
f.
Upacara
Nyambutin
upacara nyambutin
terlaksana setelah bayi berumur tiga bulan atau 105 hari. Tujuan
upacara ini dalah:
1)
memepertegas nama si bayi
2)
membersihkan jiwa raga si bayi
Serangkaian
upacara nyambutin bias disertai dengan upacara turun tanah. Tujuannya
adalah memohon keselamatan terhadap ibu pertiwi atas kehidupan anak
berkaitan dengan tanah.
g. Upacara
satu oton
Setelah anak berumur
210 hari atau enam bulan, dibuatkan upacara satu oton.Sering juga
disebut weton.Kata ini berasal dari kata ‘wetuan’, yang mana wetu
berarti lahir. Kata wetu ditambah ‘an’ menjadi wetuan(weton)
artinya kelahiran. Sering juga disebut wedalan.Kata
wedalan, berasal dari kata wedal yang berarti lahir. Kata ini sama
artinyadengan medal. Tujuan upacara oton ini adalah untuk
memperingati hari kelahiran seseorang atau sesuatu. Dasar untuk
menentukan hari lahir ini adalah pertemuan sapta wara dengan paca
wara, dan wuku, misalnya:
hari
buda kliwon sinta, kemudian lagi enam bulannya (210 hari) jumpa lagi
dengan hari yang sama, maka disebut satu oton sebagai hari lahir
seseorang. Jadi, itulah yang dipakai pedoman dalam memperingati
otonan seseorang. Bagi umat Hindu, akan sangat baik bila oton ini
dirayakan berkelanjutan bahkan sampai akhir hayat.
h.
Upacara ngempugin
artinya adalah
melaksanakan upacara setelah anak tumbuh gigi untuk pertama kalinya.
Tujuannya memohon keselamatan kepada Bhatara Surya, Bhatara Dewi Sri
agar gigi anak tumbuh dengan baik.
i
Upacara Mekupak
upacara
mekupak dilaksanakan ketika gigi anak tanggal untuk pertama kalinya
atau pada oton pertama. Pergantian gigi susu dengan gigi dewaa adalah
menandakan anak sudah berubah status dari anak menjadi remaja. Pada
masa ini Sang Hyang Kumara tidak lagi mengasuh anak itu.Saat ini anak
dioasuh oleh Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Dewi Ratih.Setelah
mekatus inilah anak sudah mempersiapkan diri untuk menuntut ilmu.
Apakah pra sekolah atau taman kanak-kanak, ataukah langsung pada
sekolah dasar.
j.
Upacara Menek Deha
Upacara menek daha
ini sering disebut dengan ngraja.Yang artinya meningkat dewasa.
Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kepada Sang Hyang
Semara dan Dewi Ratih agar seseorang yang diupacarai dapat kekuatan
dan mengatasi godaan-godaan yang mungkin terjadi ketika menghadapi
panca roba, dapat diketahui masa peralihan dari anak menjadi dewasa
merupakan masa-masa yang rawan bagi anak. Ia berada dalam masa
pubertas pertama.
Mereka sudah mulai
bisa menerima godaan asmara, insane yang berlainan jenis. Bila kurang
waspada anak sering salah langkah.Maka Dari itu umat Hindu, selain
memberikan pendidikan sikap yang berkaitan dengan etika juga mohon
tuntunan pada Dewa, agar umatnya menjadi selamat melewati masa panca
roba tersebut, melalui upacara menek daha ini.
k. Upacara
Metatah
Bila anak sudah
dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan energik.
Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih memberikan
kesempatan Sad Ripu menggoda diri manusia.bila terjadi kemungkinan di
atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku seseorang yang mana dapat
menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena itu
dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan pengaruh
Sad Ripu dalam diri anak.
Pelaksanaan upacara
metatah ini dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran
simbolis gigi pada rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri
dari empat gigi seri, dan dua buah taring. Pada enam buah gigi itu,
ujung geriginya sebagi lambang pengaruh adharma ditatah, agar
terbentuk ujung gigi yang rata lambang dharma.Jadi diharapkan dharma
tetap mengendalikan hiodup seseorang anak yang telah ditatah
itu.Inilah dalam masyarakat dilkatakan “ngedasang
daki”.Artinya
membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain kekuatan Sad Ripu
agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak
mencerminkan budi luhur.
l.
Upacara Mawinten
Seseorang yang baik,
dibuatkan upacara Mawinten.Lebih-lebih bagi orang yang mempelajari
ilmu kerohanian. Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kehadapan
Bhatara Guru, Dewi Saraswati agar beliau menuntun kecerdasan pada
umatnya dalam mempelajari ajaran suci, yakni ilmu pengetahuan yang
bersangkut paut dengan ilmu agama Tattwa, Yadnya dan Susila.
m. Upacara
Pawiwahan
Bila anak sudah
cukup dewasa lahir dan batin, serta tahu ketrampilan sebagai pegangan
kerja, maka sudah pantas membentuk suatu rumah tangga.Pembentukan
rumah tangga baru ini diawali dengan upacara pawiwahan. Tujuannya
adalah:
1.
Mohon pesaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, Bhuta Kala dan manusia
sebagai Tri saksi.
2.
Mohon dibersihkan secara spiritual terhadap bibit yang terdapat pada
suami dan istri.
Diharapkan atas
pertemuan kedua bibit itu membuahkan hasil, yaitu anak saputra.
Tidak cukup hanya pembersihan bibit itu saja, tentu dengan disertai
sikap perilaku luhur oleh orang tua untuk mendidik, menyediakan
jaminan hidup yang berkelanjutan.Jadi, modal cukup banyak diperlukan
untuk mewujudkan anak yang saputra.Menurut lontar kuno Dresti,
bila ada anak yang lahir di luar nikah (tanpa upacara pawiwahan),
anaka itu disebut “Rare Dya Dyu”.Agama Hindu tak mengharapkan hal
tersebut terjadi, yang mana hal itu jauh dari harapan anaka saputra.
5.
Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah
persembahan suci yang ditujukan pada bhuta kala.Tujuannya adalah
untuk memelihara, menyucikan, dan nyupat bhuta kala agar tidak
mengganggu kehidupan manusia.Dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan
adanya ajaran tentang unsur Panca Maha Bhuta, yang dikenal sebagai
pembentuk Buana Agung dan Buana Alit.
Tingkatan kehidupan
di alam ini bertingkat-tingkat, mulai yang terendah sampai yang
tertinggi.Tingkat yang terendah dimulai dari Panca Maha Bhuta,
kemudian tumbuh-tumbuhan, lalu binatang dan manusia.Demikianlah
tingkatan hidup secara sekala. Kalau secara niskala, dikenal tingkat
kehidupan mulai dari peri, jin, setan, gamang, tonya, banaspati,
danawa dan sebagainya. Kehidupan ini lebih rendah daripada Dewa,
sifatnya bertentangan antara raksasa, kala, bhuta dengan Dewa itu.
Bila dikaitkan dengan tujuan Bhuta Yadnya yang berarti memelihara,
menyucikan dan nyupatdapat dilihat sebagai berikut:
a.
Tujuan memelihara:
Mengandung
pengertian mengatur serta menjaga keharmonisan alam.Alam dengan
makhluknya mempunyai hubungan kehidupan yang erat.Bila hubungan itu
terganggu, hidup takkan lagi harmonis.
Misalnya:
Keadaan
Panca Maha Bhuta sebagai pembentuk alam yang terdiri dari
unsur-unsur: pertiwi,apah teja, bayu dan akasa. Masing-masing unsur
itu artinya zat padat, zat cair, zat panas, zat udara dan zat
ether.Ia adalah sebagai pembentuk alam, bila tak dijaga
keseimbangannya, kehidupan di dunia ini takkan harmonis lagi.
Katakana saja pertiwi atau tanah, bila tanah dibiarkan gundul maka
kehidupan akan terganggu, akibatnya bisa mendatangkan banjir, selain
itu tanah yang gundul akan menyebabkan kekeringan yang melanda.
Terlebih bila hutan ikut dibabat, sudah bisa dibayangkan apa yang
terjadi bukan?.Oleh karena itu secara nyata manusia melaksanakan
Bhuta Yadnya misalnya dengan melaksanakan reboisasi, atau menanam
pohon pada lahan yang kering.Contoh seperti ini masih banyak kita
jumpai dalam kehidupan ini.
b.
Tujuan menyucikan alam:
Mengandung makna
membersihakan alam dari polusi, karena tingkah laku manusia yang
tidak mamiliki pengetahuan Bhuta Yadnya, maka dari itu manusia
berbuat serakah.Selain membuat hutan seprti yang telah dicontohkan di
atas, juga membuang limbah industry sembarangan, lebih-lebih pada
sumber-sumber air.Juga pemakaian zat-zat kimia secara tidak tepat dan
berlabihan, pada sector industry, pertanian maupun yang
lainnya.Membuang sampah secara sembarangan juga menyebabkan polusi
pada tanah, di samping berkembambangnya sarang penyakit, dan masih
banyak tindakan manusia yang dapat merusak keseimbangan alam, maka
harus disucikan dengan Bhuta Yadnya. Kemudian untuk mengulangi Panca
Maha Bhuta agar tak menjadi manah, maka agama hindu mengajarkan
konsep Tri Mandala. Alam lingkungan diatur sebagi berikut:
- Utama Mandala adalah untuk tertatanya lingkungan. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka dari itu disediakan siatu tempat suci.
b. Madya Mandala
adalah areal untuk tartatanya sebagai tempat tidur.
c. Nista
mandala adalah areal untuk tempat jemuran, kamar kecil, dan tempat
pembuangan sampah. Telah disediakan rupa, bila keseimbangan Tri
Mandala itu sudah diatur dengan bagus menjadilah suatu tempat layak
huni. Disana akan tampak keharmonisan antara keutuhan bangunan dengan
tata letak dan tata ruang.
c.
Tujuan Nyupat bhuta Kala:
Nyupat mengandung
makna meningkatkan status hidup atau keadaan dari Buta Kala menjadi
tingkatan yang bagus dan bermakna. Seperti keadaan batu, tanah,
tumbuh-tumbuhan, binatang, yang keadaannya semrawut statusnya
ditingkatkan dengan cara misalnya: diatur agar terlihat lebih
menarik, seperti pada penataan taman misalnya. Contoh lain, anjing
yang status hidupnya rendah karena masih liar dan galak, dilatih
supaya lebih berguna. Kembali pada tujuan nyupat, maka yang bersifat
niskala mempergunakan sarana-sarana seperti banten segehan atau
banten caru.Dengan banten itu diharapkan status Bhuta kala dapat
dipelihara, disucikan dan disupat tentunya agar menjadi Dewa kemudian
dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia.Selain itu dapat
dilihat banten Bhuta Yadnya mempunyai tingkatan dari yang terkecil
sampai yang paling besar.Disebut dengan nista, madya dan utama. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Upakara
Nista
Upakara Bhuta Yadnya
yang kecil disebut segehan, bentuk segehan sangat sederhana, bahannya
dari nasi dengan dilengkapi bawang, jahe, garam, arang dan disertai
canang.Semua ini mengandung makna simbolis tersendiri. Segehan ada
beberapa jenis antara lain: segehan kapal, segehan cacahan, dan ada
juga segehan agungm, segehan agung sudah dalam jenis yang lebih
besar. Bantyen segehan tatkala dihaturkan pada Bhuta kala menggunakan
api tangkep yang dibuat dari sabut kelapa, disertai pemercikan
tetabuhan yang terdiri dari arak berem secara lengkap.
b.Tingkatan
Upakara Madya
Banten atau upakara
Bhuta Yadnya dalam tingkat madya sudah mempergunakan dasr ayam dan
banten tersebut dinamakan Caru. Jenis-jenis caru yakni:
1)
Caru ayam brumbun
Ayam brumbun terdiri
dari lima macam warna dalam satu ekor ayam. Ayam itu diolah
sedemikian rupa menjai satu dasar banten caru ayam brumbun, yang
disebut juga caru pengruwak.
Penggunaannya pada piodalan di Mrajan atau Pura sebagai perombakan
suatu tmpat, pembukaan hutan, peletakan batu pertama suatu bangunan
suci, permulaan penggunaan bangunan seperti: bale banjar, rumah, pura
dan lain-lain.
2)
Caru Panca Sata
Dasar banten Bhuta
Yadnya menggunakan lima ekor ayam yang masing-masing mempunyai bulu
yang berbeda. Seperti ayam putih, ayam biying, ayam putih siungan,
ayam hitam dan ayam brumbun. Masing-masing olahan ayam itu ditaruh
sesuai dengan warna kiblat mata angin seperti:
a.
Ayam putih di timur
b.
Ayam biying di selatan
c.
Ayam putih siungan di barat
d.
Ayam hitam di utara
e.
Ayam brumbun ditengah
Penggunaan Caru
Panca Sata ini dapat dilakukan pada upacara melaspas, mapedaging dan
lain-lain menurut petunjuk pemimpin upacara. Cara Panca Sata ini
menjadi dasar bagi pelaksanaan caru besar, yaitu caru: caru panca
sanak, panca kelud, balik sumpah, tawur, pesapuh-sapuh, panca wali
karma, eka dasa ludra, lingia merebu dan nyegjeg gumi.
3)
Caru Panca Sanak
Menggunakan dasar
caru panca sata ditambah dengan asu bang
Bungkem dan bebek
bulu sikep.
4)
Caru Panca Kelud
Menggunakan dasar
Caru Panca Sanak hanya saja ditambah lagi binatang kambing, dan
angsa.
5)
Caru Balik Sumpah
Caru ini tidak
digunakan secara umum, tetapi hanya pada tempat-tempat tertentu
saja.Seperti misalnya bila ada karang angker, tempat itu sering
terjadi bencana, pertengkaran, perkelahian, pembunuhan, kejahatan dan
lain-lain.Tentu saja dari petunjuk para sulinggih.
c.Tingkatan
Upakara Utama
upakara Bhuta Yadnya
dalam tingkatan ini sudah menggunakan binatang sebagai dasar cara
dalam jumlah yang lebih besar dan juga menggunakan binatang kerbau.
Adapun yang termasuk jenis caru ini adalah:
1)
Tawur
Caru tingkat tawur
dipergunakan setiap tahun sekali yakni setiap datangnya tahun baru
saka.Disambut dengan diawali melaksanakan tawur kesanga. Binatang
yang dipakai dalam upacara tawur adalah sebagai dasar lima ekor ayam
dan binatang lain, seperti di atas ditambah satu ekor binatang
kerbau.
2)
Caru Pesauh-sapuh
Dasar
caru seperti di atas, tetapi ditambah tiga ekor kerbau.
3)
Panca Wali Krama
Dasar
caru ditambah lima ekor kerbau.
4)
Eka Dasa Rudra
Dasar
caru mempergunakan bebagai jenis binatang, dari binatang peliharaan
sampai dengan binatang hutan, burung dan jaga ditambah dengan
binatang laut, serta binatang korban 26 ekor.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dari
pemaparan materi di atas dapat di ambil simpulan bahwa kita sebagai
generasi muda serta masyarakat yang mengemban sebagai umat hindu
dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu di Indonesia umumnya dan di
Bali khususnya harus benar-benar memahami dalam pengimplementasian
suatu yadnya, agar tidak suatu yadnya itu dapat di katakana hanya
sebuah ritual semata. Kita sebagai umat harus bangkit dari suatu
kebodohan ke beragamaan. Yadnya harus di landasi dengan
ketulusiklasan tanpa ketulusiklasan tersebut yadnya tidak bisa di
katakan sempurna ketika manusia atau oknum-oknumnya itu pamrih, dan
umat Hindu di harapkan selalu menjalankan ritual keagamaan guna untuk
meningkatkan moral dan spiritual, dan menjadikan upacara atau yadnya
itu sebagai kebutuhan kita
3.2
Saran
Diharapakan
bagi para Umat Hindu agar selalu menjalankan perintah Agama dan
jangan pernah timbul dari dalam diri sendiri sikap tidak percaya
dengan Agama.
sangat membantu
BalasHapus