SAIVA
SIDDHANTA I
‘’DVAITADVAITA
LAKULISA PASUPATA”
DOSEN
PENGAMPU : I KETUT PASEK GUNAWAN S. Pd.H
OLEH
;
NAMA ;
LUH AYU LESTARI
NIM
; 10.1.1.1.13855
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2012
DVAITADVAITA
DARI LAKULISA PASUPATA
Sistem
filsafat Lakulisa Pasupata berbeda dengan Pasupata yang bersifat
Dualis, walaupun keduanya mengakui adanya 5 kategori utama, yaitu 1)
Karana, 2) Karya, 3) Yoga, 4) Viddhi, 5) Duhkhanta. Perbedaan system
ini dengan Pasupata dualis tempaknya telah di tunjukkan dalam
ulasannya yang di sebut Ratna Tika pada Gana Karika dari Bhasarvajna,
ketika ia membahas tentang perbedaan Lakulisa Pasupata dengan sistem
filsafat lainnya (Sastrantare).Pernyataan tentang gambaran yang
berbeda itu kelihatannya menjadi sangat perlu, karena hal itu di
kutip oleh Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya.Hal ini dapat di
nyatakan sebagai berikut:
- Pada sistem filsafat lain, masalah pembebasan tiada lain merupakan akhir dari segala kesengsaraan, tetapi menurut filsafat Lakulisa Pasupata, pembebasan merupakan pencapaian keunggulan atau kesempurnaaan ILahi.
Di
sini perbedaan Lakulisa Pasupata dengan Pasupata dualis dinyatakan;
karena Lakulisa tampaknya mengawali Pasupata Sutra-nya dengan objek
tentang pernyataan perbedaan dari sistem filsafatnya dengan Pasupata
yang lebih awal, karena tujuan karya tersebut, seperti yang di
nyatakan dalam sutra pertamanya, adalah untuk menghadirkan disiplin
spiritual yang berguna dalam penyatuan dengan Tuhan, seperti yang di
kemukakan oleh Tuhan sendiri (athatah pasupateh pasupatam yogavidhim
vyakhyasyamah). Kita mengetahui bahwa konsepsi pasupata tentang
pembebasan di pakai oleh Nyaya dan Vaisesika, karena Nyaya sutra dari
rsi Gautama secara jelas menunjukkannya dalam sutra yang ke dua dan
rsi Vatsyayana dalam ulasannya memperjelas hal itu ketika ia
mengatakan : “katham buddhiman sarva duhkhocchedam sarvaduhkha
samvidam apavargam na rocayet” yang artinya “Bagaimana seorang
bijak dapat tidak menyukai pembebasan (apavarga) ini, yang di cirikan
dengan penghentian total dari segala kesengsaraan”.
- Sistem filsafat lain mengakui bahwa akibat (Karya) tak akan terjadi sebelum terjadi, tetapi menurut sistem filasafat Lakulisa Pasupata, akibat (Karya) yang terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kala, Vidya, dan Pasu, adalah abadi. Pada keadaan kehadiran pengetahuan kita tentang sistem Pasupata yang kita peroleh dari referensi tentang hal tersebut oleh sankara dan para pengulasnya, kita tak dapat mengatakan secara tegas sejauh mana masalah ini menyebutkan tentang sistem Pasupata. Tetapi apabila kita mengakui bahwa pandangan Vaisesika tentang ketiadaan akibat sebelum ada kejadian (asat karyavada) di ambil dari Pasupata, seperti konsepsi tentang pembebasan sebagai akhir dari segala kesengsaraan, kita dapat mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah perbedaan lain dari Lakulisa Pasupata terhadap Pasupata Dualis; karena yang pertama berpendapat bahwa semua akibat ada dan sepertinya sama dengan daya (sakti ) Tuhan, darimana ia mewujudkannya seketika.
- Menurut sistem filsafat lain, Isvara dan Pradhana, yang merupakan 2 penyebab, yaitu penyebab efisien dan penyebab material, tidak bebas, karena penciptaan tak akan dapat mulai dengan ketidakhadiran salah satunya. Tetapi menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan adalah bebas, karena seperti yang akan kita saksikan secara metafisika sistem ini merupakan kebebasan yang rasionalistik. Masalah ini secara jelas di tunjukkan dalam sistem Pasupata, karena seperti yang kita nyatakan sebelumnya mengenai authoritas dari Ratna Prabha, Pasupata mengakui 2 penyebab, yaitu Isvara dan Pradhana. Dua titik perbedaan yang di nyatakan di sana tampaknya untuk menunjukkannya terhadap sistem Yoga dan Mimamsa.
Tradisi
tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata,tidak hanya di ketemukan
dalam berjenis-jenis bagian dari Taittriya Aranyaka pada anuvakah 5,
sloka 17 sampai 21, tetapi juga dalam bagian terbesar dri buku
tersebut, pada anuvakah 5 dari sloka 43 sampai sloka 47.
Mantra-mantra yang menyusun naskah anuvakah ini, telah diambil oleh
Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya, dengan sedikit sekali perubahan
untuk menggambarkan Brahman atau Siva, karena ia di renungkan pada
berbagai tahap dari jalan pembebasan. Sayana, dalam ulasannya tentang
Taittiriya Aranyaka menunjukkan hal-hal berikut, yang merupakan
gambaran yang penting tentang sistem filsafat Lakulisa Pasupata,
Tampaknya
bahwa pada saat munculnya sistem filsafat Lakulisa Pasupata, kata
“Brahman” tidak secara ekslusif berarti realita tertinggi dari
konsep Vedantin, karena dalam Pasupata Sutra dari Lakulisa, kita
menemukan kata “Brahman” di pergunakan untuk realitas sebagai
objek perenungan pada tingkatan yang berbeda.Apabila kita membaca
ulasan Sayana, kita menemukan bahwa apa yang di katakan tentang
Brahman, kebanyakan seperti yang di nyatakan pada sistem Lakulisa
Pasupata,sebagai Pati, yaitu kategori pertama.
Jadi
dengan demikian Taittiriya Aranyaka, menurut Sayana mengakui hal-hal
berikut:
a).
Bahwa Brahman merupakan penyebab dari dunia objektif dan yang
merupakan penyebab material sepanjang sebagai Maya yang merupakan
daya yang tak terpisahkan dengan Brahman. Oleh karena itu, ia
merupakan Mayin yang Saguna dan Mayavisista.
b).
Bahwa seperti sifat dari Nirguna Brahman yang menjadi kesatuan dari
Saccidananda, demikianlah ia merupakan Saguna Brahman untuk
menciptakan, memelihara dan menghancurkan alam semesta ini
(svabhava).
c).
Bahwa Isvara lah yang memberikan buah kegiatan dan bukan Karma itu
sendiri.
d).
Bahwa, dunia objektif dan sang diri yang terbatas merupakan akibat
dari Brahman yang di batasi oleh Maya.
e).
Bahwa akibat tak dapat terjadi di luar dari penyebab, karena itu
Brahman merupakan penyerap segalanya dan Ananta.
f).
Bahwa Brahman adalah Sat, yang meciptakan dunia dan kemudian
memasukinya, seperti seseorang yang membangun sebuah rumah, kemudian
masuk ke dalamnya dan berdiam di sana. Brahman sebelah menciptakan
semuanya, dari Akasa sampai Purusa, masuk ke dalamnya, karena ia di
dapatkan sebagai yang meneriman dan yang mengetahui di dalam Buddhi,
dalam teratai hati.
g).
Bahwa Brahman menjadi segala sesuatu yang dapat dan yang takiamati,
yang tetap dan yang tidak tetap, yang berjiwa dan yang tak berjiwa,
yang benar dan yang tidak benar.
h).
Bahwa Brahman adalah Sukrta, karena ia menciptakan segala sesuatu
secara bebas.Pemikiran ini di nyatakan melalui kata “Svatantra”
dalam Pasupata Sutra.
i).
Bahwa Rudra adalah segala sesuatu; Ia merupakan diri dari semua
makhluk hidup; Ia adalah “keberadaan”; Ia adalah yang mengatasi
segalanya; Ia adalah semua yang telah ada, yang sekarang ada dan yang
bakal ada nantinya; Ia adalah Umapati, yaitu penguasa ajaran.
j).
Bahwa Brahman adalah penyebab sumber, pemantap dan kehancuran dari
dunia objektif.
k).
Bahwa Brahman berbeda dengan kelima Kosa, yaitu Anna, Prana, Manas,
Vijnana, dan Ananda.
l).
Bahwa Brahman memiliki bermacam-macam wujud Jyestha,dsb yang
jumlahnya 9 dan penguasa dari 9 daya, Vama dsb.
m).
Bahwa Brahman memiliki 3 wujud sehubungan dengan 3 sifat dari Sattva,
Rajas, dan Tamas, yaitu (1) yang lebih banyak sattvamnya menjadi
tenang (santa) di sebut Aghora; (2) yang lebih banyak rajasnya
menjadi menakutkan, di sebut dengan Ghora; (3) yang lebih banyak
tamasnya, menjadi sunggug-sungguh mengerikan, di sebut Ghoratara.
Konsepsi
tentang Moksa, menurut Sayana,Taittiriya Aranyaka mengakui hal-hal
sebagai berikut:
a).
Bahwa Moksa terkandung dalam jiva yang memiliki Pratistha dalam
Brahman yang tak dapat di amati.
b).
Bahwa Pratistha tersebut artinya kemantapan pemikiran mengenai
identitas pribadi dan yang semesta atau realisasi bahwa Brahman
merupakan diri sejati dari diri seseorang.
c).
Bahwa seseorang yang mengetahui identitas dari Ananda yang merupakan
perseorangan dengan yang ada pada Brahman, secara perlahan-lahan
mendapatkan penyatuan dengan Brahman (upasankramati), tenpa
meninggalkan kepribadiannya. Yang bebas temasuk kategori tertinggi,
sehingga pembebasan terkandung dalam perembesan Jiva ke dalam Brahman
sehingga daya Brahman lolos ke dalamnya, persis seperti darah dari
suatu organism hidup yang lolos ke dalam perut seekor
lintah.Naskah-naskah ini tampaknya telah menjadi dasar dari persepsi
tentang Sayujya Moksa dalam sistem filsafat Lakulisa Pasupata,tetapi
beberapa authoritas yang lebih awal di bawah pengaruh Vedanta
monistik, seperti yang di nyatakan oleh Sayana berpendapat bahwa kata
“Sankramati” di dalam naskah di pergunakan dalam pengertian yang
ke dua dari buah pengetahuan, yang menghancurkan khayalan.
d).
Bahwa yang terbebas ( mukta ) pergi ke dunia Brahman.
e).
Bahwa objek perenungan mungkin Brahman atau suatu aspek dari
pada-nya, yang dapat membuat perenungan menjadi kuat atau lemah.
Karena itu, apabila perenungan menjadi kuat dan objeknya menjadi
Brahman, sang perenung mendapatkan penyatuan (sayujya) dengan
Brahman. Tetapi apabila menjadi lemah, ia mendapatkan dunia Brahman
(Salokata). Demikian pula objek perenungan menjadi suatu aspek dari
Brahman dan perenungan menjadi kuat, menengah atau lemah, si perenung
mendapatkan penyatuan dengan daya yang sama
(sarstikata-samanaisvaryata) atau dunia ke illahian (samalokata).
f).
Bahwa pembebasan akhir di capai melalui bermacam-macam tahapan dan
pada tahapan akhir Yang terbebas mencapai keagungan Brahman
(mahima).
Beberapa
hal yang senada bagi filsafat Lakulisa Pasupata dari Taittiriya
Aranyaka, menurut penafsiran Sayana, adalah sebagai berikut:
a).
Bahwa sang diri di dalam guha, terbuat dari 5 kosa, yang utamanya
identik dengan Brahman dan orang yang mewujudkan hal ini, mengalami
keseluruhan objektifitas secara terus menerus.
b).
Bahwa purusa ,erupakan suatu akibat (annat purusah).
c). Bahwa Akasa adalah
ruang dan bahan, di mana suara ada di dalam atau bersamanya.
d). Bahwa penciptaan
memungkinkan bagi subjek yang terbatas untuk menikmati dan menderita
buah karma.
e). Bahwa tak ada
pertentangan yang mendasar antara identitas dan perbedaan; di mana
identitas menunjukkan intisari, yaitu Brahman dan perbedaan terhadap
wujud saja (akara) brahmakarena advaitam, bhoktrbhogyakarena dvaitam.
Jadi
dengan demikian Taittiriya Aranyaka menghadirkan dasar-dasar
pengertian Dvaitadvaita atau Bhedabheda.
Kita
telah merujuk pada 5 anuvakah dalam Taittiriya Aranyaka,yang
merupakan dasar dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata. Sayana dalam
penafsirannya tentang naskah ini setuju bahwa mereka mengemukakan
tentang Saivaisme secara umum, baik sebagai sebuah agama ( aliran )
maupun sebagai sebuah filsafat.Jadi, ia menyatakan bahwa 5 mantra
yaitu: Sadyojatamm, Vamadevaya,Aghorebhyah, Tatpurusaya dan Isanah,
menghadirkan 5 muka (vaktra) dari mahadeva atau siva, di mana empat
yang pertama, menghadap ke empat arah dan yang ke lima menghadap ke
atas (urdhva)
Penafsiran
dapat di ketengahkan sebagai berikut:
1.Hamba
mendekati Sadyojata, yang mengarah ke barat, penguasa dalam wujud
tersebut; hamba bersujud pada Sadyojata. Ya Tuhan! Doronglah hamba,
bukan kepada keberadaan yang berpindah-pindah, tetapi untuk
mengatasinya. Hamba bersujud kepada mereka yang bebas dari siklus
kelahiran dan kematian.
2.
Hamba bersujud kepada Vamadeva yang menghadap ke utara, yang memiliki
9 aspek, yang di lengkapi 9 daya, yaitu: 1. Jyestha, 2. Srestha, 3.
Rudra, 4. Kala, 5. Kalavikarana, 6. Balavikarana, 7. Balapramathana,
8. Sarvabhutadamana, 9. Manonmana.
3.
Hamba bersujud kepada Aghora, yang menghadap ke selatan, yang
memiliki 3 macam wujud, sesuai dengan Guna yang lebih banyak
mempengaruhinya.
4.
Hamba bersujud kepada Tatpurusa, yang menghadap ke timur, hamba
merenungkan Tuhan yang agung (Mahadeva); semoga Rudra mendorong hamba
untuk mengetahui pengetahuan dan perenungan.
5.
Isana, yang mengahadap ke atas (urdhva-vaktra) merupakan penguasa
pengetahuan, pengendali semua makhluk, pelindung Veda. Sang diri yang
mengatasi segalanya lebih tinggi dari pada Hiranyagarbha Brahman
sekalipun; semoga ia berkenan mewujudkan aspek yang penuh kedamaian
kepada hamba. Hamba adalah Sadasiva.
Kita
akan menunjukkan perbedaan antara penafsiran dari Sayana mengenai
mantra ini dengan yang di berikan Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya
dan perbedaan antara teks-teks (naskah) dari mantra ini, seperti yang
di jumpai dalam Taittiriya Aranyaka, dengan yang di pergunakan oleh
Lakulisa.
- Menurut Lakulisa Pasupata, Moksa tak terkandung dalam penghentian dari semua kemalangan (duhkhanta) saja, seperti yang di nyatakan oleh Nyaya, tetapi juga dalam pencapaian daya-daya pengetahuan dan kegiatan.
- Akibat, menurut beberapa sistem lain, misalnya Vaisesika adalah yang tidak ada sebelu hal itu terjadi (asatkaryavada); tetapi menurut sistem ini, akibat tersebut sifatnya abadi, seingga Kala, Vidya, dan Pasu semuanya abadi.
- Menurut beberapa sistem lain, penyebab efisien tergantung pada sesuatu di luar, berkenan dengan masalah penciptaan dan akibat. Misalnya Nyaya dan Vaisesika tentang Isvara yang tergantung pada atom dan karma, tetapi menurut sistem ini, penyebab itu selamanya bebas sama sekali.
- Upacara-upacara, yang di uraikan oleh beberapa sistem lain membawa menuju surge,dsb, dari mana dapat di pastikan akan jatuh kembali setelah habis menikmati pahala; tetapi upacara Pasupata, membawa pada tahap Samipya, di mana mereka yang telah mencapai tahapan ini tak akan kembali ke dalam keberadaan yang berpindah-pindah.
- Lakulisa Pasupata menolak konsepsi Moksa seperti yang di kemukakan oleh Ramanuja dan Ananda Tirtha, yang secara teknis di sebut “ perbudakan “ (dasatva), karena perbudakan bukanlah akhir dari segala kesengsaraan. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa pembebasan adalah pencapaian atribut dari yang tertinggi.
Perbedaan antara Saiva
Dualis dengan Lakulisa Pasupata adalah sebagai berikut:
- Menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan terlepas (bebas) dari karma dalam kegiatan penciptaan-nya, tetapi menurut Saiva Dualis, dia tergantung pada karma.
- Menurut Lakulisa Pasupata, daya pengetahuan dan kegiatan lolos ke dalam pembebasan (sankranti), tetapi menurut Saiva Dualis daya-daya tersebut berwujud (abhivyakti). Yang satu berpendapat bahwa daya-daya tersebut bukan milik dari pasu, sedang yag lain berpendapat bahwa daya-daya tersebut adalah milik Pasu,tetapi di selubungi (di kaburkan).
- Saiva Dualis mengakui siva sebagai pencipta berdasarkan penyimpulan, sehingga argumentasinya merupakan kosmologi. Ia berpendapat bahwa ketergantungan pada cara, seperti karma misalnya, tidak bertentangan dengan kebebasan si pencipta, karena kebebasan sseorang raja member hadiah tak terpengaruh walaupun ia melakukannya lewat harta benda. Kebebasan si pencipta terkandung dan tak membiarkannya untuk mendorongnya berbuat serta dalam penggunaan peralatan dan bukan menjadi bebas dari padanya. Namun Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa Tuhan bebas dari karma pada kegiatan penciptaannya dan bahwa objek penciptaan terjadi dalam dirinya sebagai daya-dayanya. Karena itu, dia terbebas dari segala sesuatu secara abadi dalam kegiatan penciptaan (svatantra). Ia mewujudkan akibat atas kehendak-nya.
Lakulisa Pasupata
tidak mengakui materi yang menjadi hakekat pikiran, menjadi sifat
dari pemikiran, tetapi bukan pemikiran yang tetap di dalam diri apa
yang sesungguhnya merupakan sifat dari pikiran (cit). Materi terjadi
dalam kemampuan (sakti) dari Tuhan, yang tidak berbeda dari-nya dan
merupakan aspek dari pada-nya seperti panas yang merupakan aspek dari
api. Dengan demikian ia merupakan dvaitadvaita (BHEDABHEDAVADA);
karena walaupun ia mengakui perbedaan pokok antara pikiran dan
materi, antara yang pribadi dan yang semesta, namun ia berpendapat
bahwamateri bukan berada di luar cit, atau Tuhan, tetapi di dalamnya,
yang merupakan Saguna Brahmavada, ia mengakui bahwa para dewa dan
makhluk-makhluk surgawi juga merupakan keberadaan yang berasal dari
daya Rudra sebagai objek kegiatan penciptaan dan penghancuran-nya.
Komentar atau ulasan n
agama, mengenai Pasupata Sutra-nya Lakulisa oleh Kaundiya disebut
Pancartha Bhasya, karena ia berkaitan dengan lima kategori utama dari
sistem filsafat Lakulisa Pasupata,di mana dua kategori bersifat
metafisika dan tiga kategori bersifat agamis, sehingga dalam sistem
ini tak di kenal pencabangan antara filsafat dan agama. Kelima
kategori tersebut adalah: (1). Karana (pati), (2). Karya (pasu), (3).
Yoga, (4). Viddhi dan (5). Duhkhanta, atau Tuhan (penyebab), akibat
penyatuan, ritual, dan pebebasan.
Tampak bahwa ketika
filsafat Lakulisa Pasupata muncul, tak banyak pertentangannya dengan
sistem Vedanda. Dalam Pasupata Sutra, perkataan Brahman di pergunakan
sebagai objek perenungan dan kata Pati, Karana dan Brahman artinya
sama; karena Sutra “Atredam Brahma Japet” di ulang-ulang lima
kali pada permulaan pengenalan Brahman atau Pati pada dasar dari
setiap mantra dari kelima mantra, “Sadyojatam” dsb.
Pati atau Brahman
adalah sat (keberadaan), yang berbeda dengan Asat (bukan keberadaan).
Sifatnya yang abadi berbeda dengan pembebasan, karena Lakulisa
Pasupata berpendapat bahwa ke abadiaan ada dua jenis, yaitu: yang
tidak memiliki awal dan akhir, serta yang memiliki awal tetapi tidak
memiliki akhir. Dan jenis yang pertama merupakan milik dari penyebab
atau pati dan jenis yang ke dua merupakan milik dari yang terbebaskan
atau Moksa, karena ia memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Pati
merupakan penyebab tanpa sebab yang abadi, yang tanpa awal-nya
berbeda dengan purusa, seperti yang di nyatakan oleh Samkhya dan
yoga. Purusa merupaka subjek kelahiran dan kematian, tetapi Pati
bebas dari ahl-hal semacam itu.
Uraian di atas tadi
merupakan penafsiaran Kaundiya tentang kata “Sadyojatam”. Tetapi,
menurut Sayana, kata ini hanya merupakan satu nama dari Siva yang
menghadap ke barat, yang secara artistic di terima oleh pikiran ke
agamaan sebagai lima muka (Pancavaktra).
Sadyojata ini harus di
capai secara mental untuk pengecualian dari segala sesuatu lainnya
dan si perenung harus mempersembahkan seluruh keberadaannya
kepada-nya. Objek persembahan ini melampaui ciptaan,akibat, yang
merupakan landasan di bawah kategori yang secara teknis di sebut
Karya dan yang patut mendapat anugerah.
Pati meresapi diri
pribadi melalui daya pengetahuan (jnana sakti) dan karena kehendaknya
lah maka pribadi di hubungkan dengan kepribadian dan hubungan pribadi
dengan badan, kegiatan dengan tanpa kegiatan dsb, bergantung kepada
kehendaknya.
Pati bertanggung jawab
terhadap perceraian serta penggabungan alam dunia, yang terdiri dari
14 macam keberadaan, objek-objek serta tempat kediamannya. Ia
mengendalikan semua daya dan bertanggung jawab terhadap keterikatan
yang timbul terhadap badan, indria, objek-objeknya serta rumah, dalam
segala makhluk yang terbatas, kecuali para Siddha. Ia tidak di batasi
oleh manas, yaitu semua yang berada di bawah Kala, seperti 13
indriya, 5 tanmatra, dan 5 unsur. Ia merupakan si pengendali, si
pengarah dari semua akibat dan cara (Karya dan Karana dalam
pengertian Samkhya).Oleh karena itu ia di katakan sebagai Sakala,
hanya oleh pemindahan dari sifat; tetapi sesungguhnya ia melampaui
dan mengatasi segalanya, sehingga di katakana sebagai Akala atau
Amanas. Ia merupakan penyebab dari berbagai-bagai objek dari sifat
yang berlawanan, oleh Karena itu ia di gambarkan menjadi
berbagai-bagai wujud, baik yang menakutkan maupun yang penuh dengan
kedamaian dan merupakan tempat bagi semua yang berada di bawah
kategori “ Karya”, yaitu: Vidya, Kala dan Pasu.
Pati juga di nyatakan
sebagai Mahadeva, penguasa para dewa dan kejenakaan merupakan sifat
utama-nya. Ia lebih tinggi dan jauh lebih kuasa dari pada makhluk
apapun. Ia berbeda dengan diri-diri pribadi dan ia menciptakan semua
sifat dari akibat, yaitu Kala, Vidya, Pasu, karena kejenakaannya. Ia
merupakan penyebab penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran,
pengaburan serta anugerah. Ia hanya satu-satunya walaupun secara
berbeda di katakan sebagai Pati dan Adya, karena berbagai atribut dan
fungsinya. Ia di sebut Pati, karena ia memiliki daya-daya pengetahuan
dan kegiatan yang mengatasi segalanya (niratisaya
drkkriyasaktimattvam), yang tanpa awal dan tanpa akhir.
Daya-dayan-nya
terwujud dalam semua yang terbatas, yang tak terbatas atau terbatas
pada satu aspek dan tak terbatas pada aspek lainnya, baik yang indah
maupun yang buruk. Ia merupakan dewa Rudra,lautan matahari, ether,
sang diri,Brahman dan tak satupun yang dapat di pandang sebagai
berbeda dengan-nya (na sakyam bhedadarsanam). Tuhan di katakan
sebagai tanpa awal dan tanpa penyebab yang menyebabkan, yang pada
pokoknya merupakan sifat ( hakekat ) dari “keberadaan”, dalam bab
pertama sutra 58,40,44. Ia juga di katakana sebagai banyak, karena
keberadaannya yang memiliki banyak atribut dan melakukan fungsi yang
bermacam-macam seperti yang di nyatakan dalam bab 2, sutra
1,4,5,20,23, sampai 27. Ia juga di akui memiliki sifat-sifat yang
berlawanan seperti Ghora,Aghora dan Ghoratara. Karena itu timbul
suatu pertanyaan: “Apakah menurut sistem ini Realitas terakhir
merupakan kejamakan”??????????????? jawabannya adalah Tuhan itu
satu dengan wujud yang banyak, yaitu realitas terakhir itu merupakan
kesatuan dalam kejamakan (tatpurusa). Ia di katakan rsi karena ia
mengendalikan semua yang merupakan sifat dari akibat (karya). Ia di
sebut dengan Vipra, karena ia maha tau. Daya pengetahuannya berlanjut
mengatasi segenap medan pengetahuan. Ia merupakan yang agung ( mahan
) karena daya-daya pengetahuan dan kegiatannya alamiah dan tak
terjangkau serta jauh melampaui yang di miliki keberadaan lainnya,
yang merupakan miliknya sebagai sifat-sifatnya. Dalam kenyataannya Ia
di sebut Isvara, karena sifat-sifat ini berada di dalamnya (aisvaryam
tad gunasadbhavah). Ia mengatasi sesuatu yang dapat di amati dan
lebih tinggi dari purusa. Ialah yang menjadi sasaran meditasi yang
berasal dari perkataan dan Manas. Ia adalah Niaskala, namun berbeda
dengan Pralayakala. Walaupun Niskala, ia memiliki sifat mahatau dan
maha kuasa.
Ia adalah penguasa
segala ajaran yang membawa pada pencapaian empat tujuan umat manusia
yang di kenal. Ia merupakan penguasa semua makhluk hidup kecuali para
Siddha dan Isvara. Ia di sebut Brahman karena ia bertanggung jawab
terhadap pengkasaran dari Vidya, Kala dan Bhuta, namun ia tetap
mengatasinya. Ia adalah penguasa dari brahma, makhluk pertama yang
berbeda dengan semua subjek yang terbatas yang di katakan sebagai
Virinci. Ia di sebut Siva karena ia bebas dari segala kemalangan dan
dengan demikian menyatakan pengalaman bebas akhir yang abadi (nitya).
Konsepsi tentang
akibat atau Karya, menurut Lakulisa Pasupata, sangat berbeda dengan
sistem filsafat lainnya. Ia bukanlah Vikrti, sebagai lawan dari
Prakrti menurut sistem Samkhya, karena di dalamnya bukan saja
“vikrti” tetapi juga purusa atau subjek, yang bukan prakrti (
penyebab ) maupun vikrti (perubahan). Selanjutnya, ia tidak mengakui
teori evolusi bahwa mahan berasal dari prakrti dsb, sebaliknya ia
berpendapat bahwa segala sesuatunya ada dalam sakti (daya) Tuhan dan
penciptaan tidak lebih dari pengkasaran dari apa yang ada dan
penyelenggaraan dari apa yang terpisah adanya menjadi keseluruhan
ini, sesuai dengan kehendak-nya.
Akibat juga bukanlah
hanya sifat dari “pemikiran” dalam pikiran universal, seperti
pandangan dari Monistik Kasmir, karena Lakulisa Pasupata menemukan
perbedaan antara yang berjiwa dengan yang tak berjiwa (cit dan acit)
walaupun mereka ada dalam daya Tuhan. Akibajuga bukan hanya hayalan
seperti yang di kemukakan oleh para Vedantin, karena lakulisa
pasupata bukanlah monistik, tetapi Dualisme yang monistik. Ia
mengakui bahwa realitas bukanlah kesatuan yang murni tetapi kesatuan
dalam kejamakan, sehingga menurutnya kejamakan ada dalam kesatuan
seperti yang di lakukan binatang-binatang di surga. Akibat juga
bukannya tak terjadi sebelum sesuatunya terjadi seperti
asatkaryavadin-nya Nyaya dan Vaisesika, karena akibat sebagai sebuah
kategori menurut Pasupata Lakulisa, adalah abadi.
Tampak bahwa Lakulisa
Pasupata di pengaruhi dalam konsepsi tentang kategori utam yang
kedua, yaitu akibat , oleh konssepsinya tentang kategori utama yang
pertama yaitu pati, yang kemungkinan hanya pada suatu tahapan
berikutnya dalam pengembangan sistem, yang di sebut penyebab (Karana)
karena Pati hanya kata yang di pergunakan sebagai kategori pertama
dalam pasupata Sutra, pada sutra pertama; demikian pula kata “Pasu”
di pergunakan untuk kategori kedua yang tampaknya menjadi apa yang di
kendalikan oleh Tuhan ( pasanat pasuh).Dan kemudian dua yang pertama,
yang hanya meerupakan kategori metafisika d beri nama yang lebih
bersifat filsafat yaitu penyebab (karana) dan akibat (karya). Kata
karya sebagai nama dari kategori yang ke dua dalam filsafat ini,bukan
berarti “ yang di akibatkan atau hasil yang belu ada sebelum di
hasilkan”; tetapi yang merupakan objek dari kehendak Tuhan yang
bebas yaitu yang tidak bebas (asvantantra) sebagai lawan dari Tuhan
(PATI) yang bebas, karena sistem ini menyatakan bahwa “pati”
(penguasa) tak berarti tanpa pasu. Akhirnya sistem ini menyertakan 3
kategori yang tidak bebas, yaitu Vidya (subjek yang terbatas), Kala
(materi), dan pasu (subjek pribadi).
Vidya merupakan yang
pertama dari 3 kategori akibat (karya) yang bergantung (tidak bebas)
dn merupakan atribut dari subjek pribadi.Hal ini merupakan dasar dari
Lakulisa Pasupata tentang teori pengetahuan dan etika. Ia merupakan
daya perasa, yang sebagai atribut subjek yang terbatas, membedakannya
dari Kala yang tak berjiwa, yaitu materi, sebagai kategori kedua yang
bergantung pada akibat (karya). Sebagai dasar teori pengetahuan,ia
bersinar sendiri dan mencerahi apa yang berada di luarnya, yaitu
objek seperti sebuah lampu. Ia memperlihatkan makna yang tersembunyi
dari naskah-naskah suci dan membawa pada pengetahuan tentang
sifat-sifat pokokdari ketidakmurnian (mala), cara (upaya) untuk
mendapatkan pelepasan darinya dan perolehan (laba) akibat mengenai
kebebasan dari ketidakmurnian tersebut. Hal itu merupakan
sinarpengajaran yang di wujudkan oleh Tuhan dan menuntun pada
pencapaian empat tujuan umat manusia, yang di kenal sebagai Dharma,
Artha, Kama, dan Moksa. Menurut Lakulisa Pasupata, hal ini merupakan
perolehan pertama sebagai akibat dari disiplin kehidupan, dan hal
semacam itu di sebut dengan pengetahuan (jnana), yaitu pengetahuan
yang benar sebagai lawan dari pengetahuan yang salah (mithyajnana)
yang di sebabkan oleh cara pengetahuan yang salah (pramanabhasajam
jnanam) termasuk keragu-raguan, kesalahan, keterikatan, keengganan
kemarahan bersama-sama dengan akar penyebabnya. Jadi kata “Vidya”,
dalam konteks yang berbeda menyatakan : 1) atribut dari subjek
pribadi; 2) pengetahuan yang di dapat melaluinya dan 3) adat istiadat
lama yang di wujudkan oleh Tuhan, Karena itu merupakan objek
pengetahuan.
Vidya, sebagai sebuah
kategori yang bergantung, di gambarkan dalam hubungannya dengan
subjek pribadi, sebagai kondisi terbatasnya, yaitu atribut atau
sifat. Pembagian di bawahnya menghadirkan atribut ini karena ia
tampak dan berfungsi dalam situasi yang berbeda, dimana pribadi
menemukan dirinya. Dalam suatu situasi ke agamaan, di mana seorang
penyembah mendengarkan dengan penuh perhatian kepada suatu pelajaran
mengenai reliatas terakhir, yaitu Vidya, tampak hanya sebagai
kesadarn tentang realitas terakhir tersebut, seperti yang di nyatakan
oleh guru. Terhadap kesadaran semacam itu, caranya hanya dengan
perintah-perintah spiritual (upadesa) dan hal ini di sebut
“Vivekavrtti”.
Madhava dalam Sarva
Darsana Samgraha-nya mempergunakan istilah “Pravrtti” sebagai
pengganti “vrtti” seperti yang di jumpai dalam ulasan pada Gana
Karika, oleh penyusun yang tak di kenal.Kata Pravrtti biasanya
berarti gerakan, tetapi vrtti biasanya berarti keadaan pikiran yang
terpengaruhi, yang artinya bahwa keadaan pikiran dimana pengaruh
objek luar tampak,yang kebanyakan seperti pantulan objek pada sebuah
cermin. Karena itu timbul pertanyaan apa arti dari “pravrtti”
dalam konteks yang sekarang ini?? Tampaknya Pravrtti menyatakan
keadaan pikiran yang terpengaruh dan juga kegiatan pengamatan dari
pikiran.
Apabila Vidya
mencerahi suatu objek, ia di sebut “Bhodasvabhaa” yang bersifat
mencerahi (menjelaskan); tetapi apabila ia tidak mencerahi suatu
objek tetapi hanya merupakan pencerahan diri, ia di sebut
“Abodhasvabhava”, yang tak bersifat mencerahi, yang merupakan
bagian (kelompok) akibat dari perbuatan yang di lakukan, baik yang
bijak maupun yang berdosa, pada aspek pusat dari kepribadian umat
manusia dan akibat ini di sebut sebagai Dharma dan Adharma. Vidya
semacam itu merupakan dasar etika dari Lakulisa Pasupata.
Pembagian menurun
ketiga dari VidyaAbodhasvabhava, adalah Samskara, yang merupakan
akibat, bukan dari perbuatan yang di lakukan tetapi dari objek yang
di ketahui. Hal ini berkaitan bukan pada teori etika tetapi pada
teori pengetahuan; yang bertanggung jawab atas ingatan, semua factor
yang sangat penting dalam pemunculan dari pengetahuan yang pasti;
karena penentuan pengetahuan terkadang dalam hubungan objek, yang di
ketahui dengan suatu kata, yaitu ingatan.
Sekarang coba kita
perhatikan pembagian lain di bawah Vidya yang bersifat mencerahi
(bodhasvabhava), yang selanjutnya di bagi menjadi Vivekavrtti atau
Vivekapravrtti dan Sadharanavrtti atau Avivekapravrtti perlu di
tekankan di sini bahwa tedapat perbedaan pandangan antara pengulas
pada Gana Karika dan Madhava tentang masalah ini; karena sementara
yang pertama menyebutnya sebagai Samayavrtti” yang belakangan
menamakannya sebagai “Avivekapravrtti”. Kita telah sependapat
dengan Vivekavrtti, yaitu suatu keadaan terpengaruh dari pengamatan,
di mana realitas terakhir tampak dalam kesadaran dari seorang pemuja
dalam mendengarkan ajaran tersebut dengan penuh
perhatian.Samanyavrtti atau Avivekapravrtti merupakan dasar dari
teori pengetahuan empiris dari Lakulisa Pasupata seperti yang di
nyatakan di depan.
Lakulisa Pasupata
menjelaskan tentang persepsi dalam istilah Citta,tetapi citta disini
bukanlah salah satu dari indra dalam (antahkarana), seperti yang
dikenal oleh para Vedantin. Ia merupakan kegiatan pencerahan diri dan
mencerahi pengamatan (Vidya bhodha svabhava samanyavrtti), yang
merupakan suatu atribut dari subjek pribadi. Kegiatan ini terkandung
dalam gerakan dari sinar, yang berlangsung dari aspek penyinaran
(bodhassvabhava) dari pengamatan vidya. Ia mencerahi objek
pengetahuan seperti sinar dari sebuah lampu.
Akibatnya, indra-indra
dalam dan luar bekerja da suatu kecendrungan pengamatan oleh objek
mengikutinya. Inilah yang di sebut dengan persepsi yang terdiri atas
dua jenis yaitu yang pasti dan yang tidak pasti. Apabila ingatan,
yang tiada lain adalah penghidupan kembali bekas-bekas jejak
(samskara), bekerja sama dalam mempertunjukkan pada kesadaran kata
yang membantu objek yang di ketahui sebagai kaitan terhadap
kecenderungan, maka persepsi itu adalah pasti. Tetapi apabila ingatan
tidak bekerja sama , persepsi itu adalah tidak pasti. Dalam kasus
yang pertama kita memiliki pengetahuan yang pasti dan pada kasus yang
kedua kita memiliki pengetahuan yang tidak pasti.
Lakulisa Pasupata
mengakui 3 cara pengetahuan, yaitu: 1) Persepsi, 2) Penyimpulan, 3)
Pengujian verbal. Ia berpendapat bahwa semua cara yang lain, yang di
akui oleh sistem filsafat lainnya, seperti Arthapatti,Sambhava,
Abhava,Aitihya dan Pratibha termasuk di dalamnya.
Persepsi ada 2 jenis,
yaitu: 1) persepsi indriyani (indriya praktyaksa) dan 2) persepsi
spiritual (atma praktyaksa). Persepsi indriyani yang sah di sebabkan
oleh kontak indra dengan objek, yang tergantungpada perangkat
penyebab pencerahan dan kerjasama dari faedah dan tidaknya, sinar,
waktu, tempat dan kehendak-nya. Persepsi spiritual di sebabkan oleh
kontak dari citta dan indra dalam (antahkarana).
Penyimpulan di
sebabkan oleh kontak citta dan indra dalam (antahkarana), yang
penyebab utamanya adalah ingatan yang muncul karena faedah,
kekurangan,waktu, tempat dan kehendaknya. Penyimpulan ini ada 2
jenis, yaitu yang berkaitan dengan apa yang di terima sebelumnya
dalam bentuk khusus (drsta) dan apa yang di terima sebelumnya dalam
bentuk umum (samanyatodrsta). Yang pertama selanjutnya terbagi
menjadi: Purvavat dan Sesavat.
Hal ini sangat mirip
dengan pandangan penyimpulan dari Samkhya, yang menyebut pembagian
utamanya sebagai vita dan avita. Dan kemiripannya dengan Nyaya pada
masalah ini adalah sama antara Samkhya dan Nyaya, karena Nyaya secara
pokok membagi penyimpulan menjadi 3.
Agama sebagai
pembuktian verbal sebagai suatu cara pengetahuan, adalah
naskah-naskah suci yang berasal dari Tuhan yang sampai kepada para
pengikut agama atau para filsuf melalui garis perguruan yang tak
terputus.
Kala, yang merupakan
kategori kedua dari akibat yang bergantung, sifatnya adalah jada,
yang kebanyakan mirip dengan pradhana dari sistem Samkhya, yang
sedemikian jauh terdiri dari 23 kategori, yang menyusun kondisi dari
subjek pribadi dan tergantung pada pengendalian dari yang merasakan
seperti kereta dengan kuda-kudanya di bawah pengendalian kusirnya.
Subjek yang dapat
merasakan, yaitupasu merupakan kategori ketiga dari akibat (karya)
yang tidak bebas dan di kelompokkan di bawah akibat karena ia juga
merupakan buatan Tuhan. Setiap makhluk hidup bernyawa kecuali para
Siddha dan Isvara adalah Pasu, yang di sebut demikian karena ia
berada dalam ikatan dan tidak bebas (svatantra); karena daya untuk
menyebabkan, yang menjadi miliknya terbatas (karanasakti sannirodha).
Belenggunya tanpa awal dan ia memiliki keterbatasan, yang tersusun
oleh Kala dan 23 kategori seperti pada sistem Samkhya.
Suatu mahkluk yang
terbatas( pasu) tak berhenti di batasi walaupun pembatasan dari kala
lenyap; karena pemisahan dari diri terbatas dari badan menggantikan
pada saat penghancuran dunia ini. Tetapi mahkluk yang terbatas yang
memperoleh pemisahan dengan badannya, akan lahir kembali. (Di sini
merupakan asal mula konsepsi tentang pralayaka, seperti yang di
jumpai dalam monistik kasmir) Ia di sebut patu karena walaupun pada
dasarnya ia meresapi dan meraskan, namun ia masih mempersamakan
dirinya dengan badan (ini merupakan dasar konsepsi tentang
Dehapramata dari Saiva Monistik Kasmir). Ia di sebut pasu juga karena
setelah ia terpisah dengan badan dalam peleburan universal, ia tidak
bebas mengenakan suatu badan baru, karena hal itu tergantung pada
habis tidaknya pahala dan ganjaran, waktu dan ruang serta kehendak
Tuhan.
Menurut Lakulisa
Pasupata, sang diri atau Atman adalah yang menegetahui badan,
termasuk indra-indra dalam dan luar , yang di kenal juga sebagai
Ksetrajna dan merupakan kesadaran diri (cetana). Ia di sebut demikian
karena ia secaraterus menerus aktif, mengetahui objek-objek dengan
mencerahinya dengan sinarnya sendiri;yang di simpulkan dari
pengalaman tentang kesenangan, kesedihan, keinginan, keengganan, dan
usaha yang sadar. Hal ini sesuai dengan yang di nyatakan oleh Nyaya,
yaitu: “iccha dvesa prayatna sukha dukha jnanani atmano lingam”.
Pasu berbeda dengan
Pati walaupun keduanya meresapi segalanya,tetapi pengetahuan dri yang
pertama terbatas, sedang yang ke dua (pati) mahatau. Perbedaan ini
hanya ada apabila pasu ada dalam tingkatan empiris. Tetapi apabila ia
mendapatkan tingkatan spiritual yang lebih tinggi, ia memperoleh
penggabungan dengan daya pengetahuan dan kegiatan, serta menjadi
mahatau serta mampu untuk menciptakan serta menghancurkan sesuatu
atas kemauannya sendiri.
Lakulisa Pasupata
mengakui 5 ketidak murnian (mala), yaitu (1) pengetahuan yang salah,
(2) adharma (tidak benar), (3) keteikatan dan penyebabnya, (4)
kemerosotan pikiran, (5) kepribadian subjektif. Konsepsi dari 5
ketidak murnian ini berbeda sedikit dengan yang di pakai oleh Saiva
Dualis. Uraian dari masing-masing Mala tersebut adalah sebagai
berikut:
(1).
Pengetahuan yang salah (mithyajnana), adalah pengetahuan yang di
sebabkan oleh cara pengetahuan yang cacat, seperti kebimbangan,
kesalahan dsb. Juga semua sifat kecemaran terhadap pikiran, seperti
mencintai objek-objek duniawi, kemarahan, ketamakan, kesombongan dan
permusuhan.
(2).
Adharma merupakan timbunan akibat dari perbuatan yang berdosa pada
subjek pribadi.
(3).
Penyebab keterikatan bersama-sama dengan keterikatan terhadap objek
duniawi (saktihetu) merupakan kecenderungan, karena hal itu
menyebabkan subjek pribadi mempersamakan dirinya dengan badan, udara
vital dan kecerdasan serta merasakan terikat pada objek-objek yang di
senanginya. Hal ini di sebabkan I oleh timbunan akibat dari
pelaksanaan ritual yang di uraikan oleh sistem lain.
(4).
Kemerosotan (cyuti) adalah yang menyebabkan pikiran penyembah menjauh
dari objek pemujaan dan cenderung menuju objek-objek empiris,
walaupun tak terjamah olehnya.
(5).
Kepribadian subjektif adalah ketidak murnian yang menyebabkan pasu
(subjek pribadi) berlawanan dengan pati (Tuhan).
Ia
memiliki 14 ciri yang membedakan Pasu dari seorang siddha(roh
terbatas,yaitu: (1) Absennya sifatnya ke mahatahuan dan (2)
kemahakuasaannya. Ini yang membedakan konsepsi Lakulisa Pasupata
dengan Samkhya karena Samkhya berpendapat bahwa sang diri terbebas
segera setelah ia memperoleh pembebasan dari Prakrti dan 23
evolusinya. Ini di sebut “Pemisahan” atau Kaivalya dan di peroleh
melalui merekahnya fajar pengetahuan tentang perbedaan antara Purusa
Prakrti. Tetapi Lakulisa Pasupata menyatakan bahwa pencapaian
Kaivalya bukian berarti pembebasan, karena ketidak murnian yang
disebut Pasutva, yang di cirikan dengan absennya ke mahatahuan dan
kemahakuasaan masih tetap ada, sehingga roh yang mencapai Kaivalya
saja, akan lahir kembali dan tak ada kemerdekaan yag sebenarnya
selama tak ada penyatuan (sayujya) dengan Tuhan, yang di cirikan
dengan lolosnya daya-daya Tuhan seperti mahatau dan mahakuasa, ke
dalam pasu. (3) Absennya daya kehenda, (4) berkaitan dengan cara
pengetahuan terbatas; (5) Absennya kemampuan untuk mengetahui dan
melakukan semuanya, walaupun tanpa suatu kaitan dengan “cara” dan
“akibat”; (6) Absennya kemampuan untuk mengendalikan semuanya;
(7) Absennya kemampuan untuk memasuki segalanya; (8) Absennya
kemampuan untuk memisahkan badan dari prinsip kehidupan; (9)
Penaklukkan akan katakutan; (10) terhadap kemerosotan; (11) terhadap
usia tua; (12) terhadap keberadaan yang berpindah-pindah; (13) gerak
yang terbatas; (14) Absennya daya untuk menguasai.
Konsepsi
tentang 5 ketidak murnian yang di bicarakan di depan, tampaknya telah
membawa Lakulisa Pasupata untuk berpikir dalam pandangan “petads”
(pancaka), yaitu hal-hal yang mengandung 5 masalah atau 5 bagian. Ada
8 pancaka, termasuk yang pertama tadi yang mengandung 5 ketidak
murnian,sedang sisanya sebanyak 7 pancaka, adalah sebagai berikut:
I).
Lima cara untuk membebaskan diri dari 5 ketidak murnian, yaitu:
1.1.
Basa, yang merupakan kemampuan intelektual untuk meraih dan
mempersamakan makna sebenarnya dari bacaan-bacaan yang di berikan
oleh guru (basa)
1.2.
Carya, yang merupakan cara pencapaian pahala keagamaan, yaitu Dharma
menurut sistem ini, termasuk ragam kehidupan dan pemujaan. Hal ini
tercantum dalam pasupata Sutra, dari sutra ke-2 bab I sampai sutra
ke-8 bab IV. Dapat di kemukakan di sini bahwa Carya sebagai cara
perolehan pahala ke agamaan sering di artikan secara lebih luas,
termasuk cara penyatuan dengan Tuhan seperti japa-dhyana (termasuk
pratyahara dharana dan semadhi).
Snana=
mandi dalam abu; Sayana= tidur dalam abu; Upahara=identifikasi
melalui kegiatan di pura; Japa= konsentrasi mental; Pratyaharaphala=
konsentrasi sukarela;Samadhiphala=Konsentrasi dengan tidak sadar,
yang merupakan tahapan terakhir (kelima) di mana konsentrasi di
tujukan kepada Isana; sedang Japa, konsentrasi pada Sadyojata (tahap
pertama) dan pradaksina merupakan tahapan kedua, yaitu kosentrasi
pada vamadeva; Japapurvaka merupakan tahap ketiga yang di tujukan
pada Aghora dan Dharanapurvaka merupakan tahap keempat yang di
tujukan pada Tatpurusa. Dhyana sendiri merupakan konsentrasi yang
terus menerus; Apara dengan pertalian objektif dalam Para, tanpa
pertalian dengan objektif dalam.
1.3.
Japa-dhyana yang di dalam tabel berhubungan dengan carya dan bedanya
hanya pada di siplin fisik pada carya dan disiplin mental pada
japa-dhyana. Japa harus di sertai dengan penarikan pikiran dari
objek-objek luar (pratyahara), dan hal itu mungkin di sebabkan oleh
usaha tanpa sengaja dari indra dalam ( a tat karana purvakah), dan
yang demikian itu disebut Apara (yang lebh rendah). Tetapi apabila
pikiran secara otomatis tertarik dan secara tak terputus-putus di
hubungkan dengan objek meditasi, akibat dari konsentrasi yang
terus-menerus, yaitu ketika tak ada jarak dalam kegiatan mental dalam
kaitannya dengan suatu objek luar, sepertinya tak ada sesuatupun
dalam lingkaran sinar, ketika suatu api unggun di gerakkan melingkar
dengan sangat cepat (alatacakravat), maka Pratyahara lebih tinggi
(para). Konsentrasi yang lebih tinggi menghancurkan timbunan akibat
dari karma dan menyatukan pikiran pada objek meditasi, seperti
sebatang paku pada kayu.
Dhyana
merupakan aliran kegiatan mental yang terus menerus terhadap
objekkonsentrasi, yang jenisnya ada 2 yaitu:Japapurvaka dan
Dharanapurvaka.
1.4.
Sadarudrasmrti, yaitu cara pokok untuk menyatukan pikiran pada objek
meditasi dan menjaga pikiran dari menjauhi objek meditasi.
1.5.
Prasada (anugerah), yang merupakan cara untuk membebaskan dari
ketidak murnian, yang secara teknis di sebut “pasutva”.
II).
Desa, yang merupakan pancake yang ke dua. Tempat (desa), di mana
seseorang berusaha untuk mencapai pembebasan akhir, hendaknya hidup
dalam 5 tahapan, pada 5 tempat yaitu: 1.kuil (pura) 2. Tempat, dimana
para pemuja berkumpul; 3. Gua; 4. Tempat pembakaran mayat, dan 5.
Rudra.
III).
Avastha, yang merupakan Pancaka ketiga, yaitu keadaan yang juga
berjumlah 5 yaitu:
III.1.
Vyakta, yang merupakan keadaan di mana para calon spiritual di
perintahkan untuk memiliki semua tanda yang menunjukkan seorang
pengikut Pasupata, menuju pembebasan akhir.
III.2.
Avyakta, yaitu keadaan di mana tanda-tanda luar di buang.
III.3.
Jaya yaitu keadaan di mana para calon spiritual telah dapat
mengendalikan indra-indranya (indriyajaya).
III.4.
Cheda yaitu keadaan penolakan penuh terhadap duniawi yang juga di
sebut Dana, karena berarti pelepasan semua hak milik(sarvasvatyaga)
III.5.
Nistha merupakan penghentian kegiatan secara total.
IV).
Suddhi yang merupakan pancake ke empat yang terdiri dari 5 macam cara
pemurnian (suddhi) yaitu: 1. Melenyapkan ketidaktahuan, 2. Dario
adharma, 3. Dari keterikatan, 4. Dari perginya pikiran dari objek
konsentrasi dan 5. Dari ketidakmurnian yang di sebut dengan Pasutva.
V).
Bala, yang merupakan pancake kelima, yaitu daya dari subjek pribadi
yaitu:1 bhakti kepada guru, 2 membebaskan pikiran dari nafsu yang
mengganggu, 3 penenangan pikiran di tengah-tengan penderitaan dan
kesakitan segala bentuk, 4 pahala keagamaan, 5 pengetahuan yang
sebenarnya.
VI).
Diksakari, yang merupakan pancake ke enam yaitu suatu cara inisiasi
spiritual yaitu: (1). Materi (dravya), yang artinya vidya atau ajaran
yang di miliki para murid dan guru;Kusa dsb.Dan murid brahmana yang
akan di inisiasi (di lantik). (2). Waktu (kala), yang diuraikan dalam
kitab suci untuk pelantikan (3). Upacara seperti yang di uraikan
dalam Samskara Karika (4). Gambaran Devata dan (5). Guru.
VII).
Labha, yang merupakan pancake ke tujuh, yaitu pencapaian (labha) yang
di peroleh melalui inisiasi (diksa) yang jumlahnya 5 macam yaitu: (1)
penguasaan terhadap sistem filsafat Lakulisa Pasupata (jnana), (2)
Pahala keagamaan yang berasal dari pelaksanaan upacara sehari-hari
(tapas), (3) Kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap objek meditasi,
tanpa selang-seling (nityatva), (4) pemusatan pikiran pada rudra,
karena lenyapnya factor pengganggu (shtiti), (5) Daya pembebasan
(siddhi) yang karenanya seseorang disebut dengan “siddhat”
Sistem
filsafat Pasupata pada awalnya di kaitkan dengan pernyataan disiplin
spiritual yang secara perlahan-lahan menuntun pada penyatuan dengan
Tuhan; tetapi dalam membujuk para siswa untuk mengalami disiplin,
daya seorang siddha, manusia yang telah mencapai penyatuan di
nyatakan.
Seorang
siddha memperoleh daya pengetahuan dan kegiatan di mana daya
pengetahuan itu sesungguhnya satu tetapi disebut dengan nama-nama
yang berbeda seperti daya melihat objek yang sangat jauh
(duradarsana), karena kaitannya dengan jenis objek yang berbeda-beda.
Daya
kegiatan terkandung di dalam kecepatan pikiran di dalam menghasilkan
kegiatan, sehingga tak ada jurang pemisah antara gagasan dengan hasil
dari gagasan tersebut,seperti pada kakus Prajapati yang di katakan
melakuka tapah setelah munculnya gagasan untuk memproduksi, sebelum
mereka benar-benar dapat menghasilkan. Ia menghasilkan semua wujud
seketika, sehingga ia dapat berfikir pada semua mahkluk yang berjiwa,
yang dapat berfikir. Ia adalah satu dan tak berbeda dengan Mahesvara,
karea ia meresapi segalanya, ini merupakan satu pemahaman dari
“Rudrasayujya”.
Pada
semua kasus terdapat suatu kesadaran tentang trika (tiga serangkai)
yang jelas antara subjek, objek dan cara. Pemikiran oleh Nagarjuna
tampaknya menjadi salah dalam Madhyamika Karika-nya.
Ia
juga mampu menghilangkan semua yang di ciptakannya. Ia bukan seperti
Visvamitra yang dapat menciptakan tetapi tak dapat menghancurkannya.
Peleburan berlangsung hanya dengan pemunculan di atas tingkatan cara
(vikarana), yaitu peleburan ciptaan tiada lain adalah peleburan
gagasan penciptaan, yang bersamaan waktunya dengan pemunculan pada
tingkatan kesadaran murni (kaivalya).
Seorang
Yogin adalah siddha, apabila ia memperoleh kemampuan untuk melihat
yang tersamar dsb, dan orang semacam itu tak terpengaruh oleh karma
yang di lakukan sebagai akibat hubungannya dengan badan, indra dan
objek-objeknya.
Perkataan
“yoga” dalam sistem filsafat ini di pergunakan bukan dalam
pengertiann yang di pergunakan oleh Patanjali dalam yoga sutra-nya
yaitu, Mengekang munculnya keterikatan mental” (yogascittavrtti
nirodhah), tetapi dalam pengertian: ‘Penyatuan dengan Tuan’. Jadi
menurut patanjali, yoga semata-mata hanya cara untuk mencapai
Kaivalya, namun menurut sistem ini yoga adalah akhir atau tujuan.
Yoga,
yaitu penyatuan dengan siva atau isvara, bukan di sebabkan oleh
kegiatan dari subjek yang terbatas saja, seperti kontak antara seekor
burung dengan sebongkah karang, tetapi di sebabkan oleh kegiatan dari
keduanya, yaitu sang diriyang terbatas dan Isvara, seperti dua ekor
kambing yang berkelahi, yang berarti bahwa bagaimanapun kerasnya
seorang pribadi mencoba untuk mencapai penyatuan tidak akan dapat di
capai tanpa anugerah-nya.
Roh
pribadi di akui oleh Lakulisa Pasupata seperti Nyaya dan
Vaisesika,yaitu meresapi segalanya (vibhu). Oleh karena itu, dalam
kenyataannya, sang roh senantiasa dalam penyatuan dengan Isvara,
keterpisahannya terkandung dalam ketidak beroperasinya daya
pengetahuan dan kegiatan, akibat dari belenggu yang tak berawal.
Penyatuan membutuhkan kebebasan dari belenggu, yaitu
pembatasankondisi yang memisahkan sang pribadi Tuhan dan hal itu
dapat di capai melalui disiplin spiritual, termasuk Samadhi seperti
yang di nyatakan oleh Pasupata sastra.
Lakuisa
pasupata mengakui 8 cara penyatuan dengan Tuhan, yang di kenal
sebagai 8 bagian dari yoga (astangga yoga) yaitu: (1). Melakukan
tugas wajib sehari-hari (yama), (2). Menghindari perbuatan yang di
larang (niyama), (3) Sikap badan (asana), (4) Pengendalian nafas
(Pranayama), (5). Penarikan pikiran dari objek luar (pratyahara),
(6). Konsentrasi pikiran (dharana), (7). Meditasi (dhyana), dan (8).
Samadhi.
Sistem
ini mengakui daya supra normal dari seorang yogi dan menyatakan bahwa
dalam waktu 6 bulan, akan muncul daya penglihatan jauh dalam diri
seorang yogin yang berdiam dalam sebuah gua dan telah memusatkan
pikirannya secara mantap kepada Tuhan.
Menurut
Lakulisa Pasupata, yoga pada awalnya ada 2 macam, yaitu: (1).
Kriyalaksana, yang di cirikan dengan kegiatan fisik dan lakulisa
pasupata mengakui kegiatan dari 4 macam, tari-tarian dan music vocal,
sebagai cara menuju penyatuan spiritual dengan Tuhan. Ia juga
mengakui bahwa terdapat 5 tahapan penyatuan, yang sama dengan 5
tahapan kegiatan dalam sebuah drama. Tahap pertama dari yoga di
mulai, dimana dari calon spiritual harus melakukan kehidupan pertapa,
mandi dalam abu suci, tidur di abu, menaruh rangkaian bunga yang di
persembahkan kepada para devata di kuil; mengenakan tanda-tanda luar
dari seorang penganut sekta Lakulisa Pasupata; hanya mengenakan satu
potong pakaian; berdiam di sekeliling kuil siva, berpantang,
melakukan kekerasan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan;
membujang, melaksanakan kebenaran, tidak mencuri dsb. Jadi apabila
para calon spiritual mendapat pembebasan dari segala nafsu, ia harus
melaksanakan pengendalian nafas (pranayama) dan mengkonsetrasikan
pikirannya pada makna dari mantra pertama dari kelima mantra dalam
Taittriya Aranyaka, seperti “Sadyojjatam prapadyami” dsb, duduk
di sebelah selatan dari para devata dalam kuil.Pada akhir perenungan,
ia harus berusaha untuk bergabung, berserah diri atupun mempersamakan
dirinya dengan Tuhan melalui gerak-gerak Siva, mengenai ketawanya
yang keras (attahasa), atau melalui lembunya, tentang menguaknya
(dundukara). Ia juga harus berusaha untuk berbuat yang sama dengan
cara menari dan olah suara.
Apabila
pengetahuan yang sebenarnya muncul pada dirinya, sebagai hasil dari
disiplin pada tahapan pertama dan ia bebas sepenuhnya dari nafsu, ia
harus masuk ke dalam tahap ke dua untuk menguji bahwa ia tidak
memiliki bekas-bekas nafsu yang tertinggal dalam dirinya. Pada
tahapan ini, di dalam masyarakat, ia harus melakukan tidur lelap
(krathana), gemeteran (spandana), gerakan perlahan-lahan dan tidak
teratur seperti orang yang kakinya pincang (mandana) berbuat seperti
seorang pecinta saat memandang gadis cantik (srngarana); melakukan
sesuatu yang tercela, seperti orang yang tidak memperdulikan
perbuatan benar dan salah (apitatkarana) dan berbicara tidak karuan
ujung pangkalnya (apitanhasana). Semuanya ini harus dilakukannya agar
ia dapat menjadi objek celaan dan kebencian dan memastikan dirinya
bahwa tak ada nafsu yang muncul dalam dirinya, dalam berhadapan
dengan hinaan dan ketidak adilan.
Lakulisa
dalam Pasupata Sutra-nya, mencatat suatu tradisi yang mengatakan
bahwa indra mengikuti cara Pasupata dalam mencari timbunan pahala
dari para setan (indro va agre asuresu pasupatamacarat). Hal ini
menyusun tahapan kedua di mana para calon spiritual harus
mengkonsentrasikan pikirannya pada mantra kedua dari lima mantra
“Vamadevaya namah”. Pada tahapan ini si calon spiritual mencapai
tingkatan spiritual yang lebih tinggi dari pada mereka yang mengikuti
sistem Samkhya dan Yoga. Disini pikiran si calon spiritual
mendapatkan penggabungan dengan Tuhan (Yoga), yang secara teknis di
sebut Samipiya (kedekatan dengan Tuhan). Hal ini tampaknya telah
memberikan gambaran tentang konsep samipiya Moksa.
Jadi
penyatuan yang di cirikan dengan kegiatan, merupakan jenis pertama
dari penyatuan yang secara teknis di sebut Kriyalaksana Yoga,
(2)
Kriyoparamalaksana, yang merupakan penyatuan (yoga) jenis yang kedua,
yang tidak memerlukan kegiatan fisik seperti di atas dan yang di
perlukan tiada lain dari konsentrasi mental dan tiga tahapan Yoga
yang tersisa, merupakan cara pelaksanaan dari yoga ini, yaitu melalui
dharana, dhyana, semadhi.
Tahapan
terakhir merupakan peresapan ke dalam Tuhan, di mana daya tuhan lolos
kedalam pribadi, yang di peroleh melalui Samadhi pada Tuhan seperti
yang di nyatakan dalam mantra kelima yaitu: :isanah sarvavidyanam”,
yang secara teknis di sebut “sayujya”. Sang pribadi menjadi Siva
selamanya. Gagasan ini tampaknya telah menjadi dasar dari kategori
Sadasivadalam Saiva Monistik Kasmir.
Viddhi,
merupakan katagori awal yang ke empat dari sistem filsafat ini;
termasuk kehidupan pertapaan, upacara bhakti dan pengendalian
indra-indra. Lakulisa lebih banyak menekankan pada penakklukan
indra-indra guna pemahaman spiritual dan penyatuan dengan Tuhan atau
Mahesvara. Ia berpendapat bahwa pengetahuan intelektual semata
tentang perbedaan antara prakrti dan purusa tidak cukup bagi
pencapaian Kaivalya dan bahwa disiplin yang di uraikan dalam sistem
Lakulisa Pasupata harus di alami guna realisasinya.
Duhkhanta,
yaitu akhir dari segala kesengsaraan, merupakan katagori awal yang
pertama dan terakhir dari sistem ini. Lakulisa menyatakan bahwa
akhirnya hal ini tergantung pada anugerah-Nya dan tidak dapat di
peroleh melalui pengetahuan dan penolakan duniawi saja
(jnana-vairagya) secara berdiri sendiri dan duhkhanta ini ada 2 macam
yaitu; (1). Anatmaka, (2). Satmaka.
Anatmaka terkandung
Cuma penghentian dari segala kesengsaraan dan ini tampaknya
menggambarkan konsepsi Moksa seperti yang di nyatakan oleh Gautama
dalam Nyaya Sutra-nya dan hal ini memberikan dukungan terhadap
pandangan bahwa Gautam adalah seorang Pasupata, karena konsepsinya
tentang MOKSA seperti yang di berikannya dalam
“duhkhanhajanmapravrtti” adalah; apa yang di nyatakan di
sinisebagai Niratmaka. Hal yang sama mungkin dapat di katakana
tentang Vaisesika.
Satmaka
terkandung tidak hanya kebebasan dari segala kesengsaraan, tetapi
juga dalam pencapaian daya pengetahuan dan kegiatan yang mencirikan
seorang siddha. Hal ini di capai apabila sang pribadi meresap ke
dalam tuhan, sehingga daya-daya tersebut lolos ke dalamnya ketika ia
mencapai yoga yang secara teknis di sebut sayujya tadi.
Pembebasan
menurut Lakulisa Pasupata bukan hanya bebas dari belenggu saja tetapi
juga penyatuan (yoga). Kenyataannya, penyatuan sangat di tekankan
dalam sistem ini untuk memberikan perbedaan dengan yoga,samkhya,
bauddha dan Vedanta, menurut mana pembebasan hanya merupakan
pembebasan dari pembatasan kondisi; dalam hilangnya kepribadian;
lenyapnya keberadaan yang terpisah, sama seperti ether di dalam kendi
(ghatakasa) ketika kendi di pecahkan. Ia menyatakan bahwa pemahaman
spiritual (darsana) dari samkhya dan yoga, tidak sempurna, seperti
persepsi tentang bulan oleh orang dengan pandangan samar-samar.
Lakilisa
Pasupata mengakui pembatasan kesadaran diri natau kepribadian hanya
suatu bentuk terbatas dari pikiran (vrtyakarasya). Diiringi oleh
manas, ia terbang pada objek-objek dan berhenti di sana seperti
seekor burung pada sebatang pohon. Bila bentuk terbatas ini, yang di
pengaruhi pikiran (citta) yang menyusun kepribadian lenyap dan
pikiran tidak lagi mengejar objek dan tinggal di sana, namun
sebaliknya tinggal pada Mahesvara, di katakana menjadi Yukta atau
kesatuan.
Sang
diri yang terbatas mendapat penyatuan dengan Tuhan, apabila ia
memperoleh pembebasan dari kondisinya yang terbatas; di murnikan dari
ketidakmurnian (dosa); tidak lagi tertarik oleh dunia objektif;
melepaskan pemikiran tentang objek-objek kesenangan; apabila
kegiatannya secara terus-menerus diarahkan kepada Tuhan; apabila ia
muncul mengatasi segala yang di dapat dengan indra-indra dalam dan
luar (aja); dan apabila ia bebas dari segala keinginan dank e
engganan dan memiliki citta yang secara mantap di pusatkan pada Tuhan
(maitra). Kondisi ini muncul segera setelah citta mendapat pemusatan
pada Tuhan,walaupun tetap berhubungan dengan badan dan indra-indra.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
- ALL ABOUT HINDUISM, Oleh Swami Sivananda
- Sari filsafat INDIA, Oleh DR Harun Hadiwiyono
- SIVA SUTRA, the Yoga of supreme identity, oleh Jaideva
Singh
- LORD SIVA and His worship, oleh Sri Svami Sivananda
- AN OUTLINE OF HISTORY OF SAIVA PHILOSOPHY, oleh E.C.Pandey
- SPANDA-KARIKA, The Divine Creative Pulsation, oleh Jaideva Singh
- AHANDBOOK OF VIRA SAIVISM, oleh S.C.Nandimath
Tidak ada komentar:
Posting Komentar