Minggu, 12 Januari 2014

sosiologi pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
Dalam Era Globalisasi saat sekarang ini, kita dapat melihat sekaligus merasakan  semangkin ketatnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini di perburuk dengan keadaan alam yang terasa sudah tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan oleh manusia pada khususnya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada sebagai nilai guna yang lebih. Tidak hanya pada pengolahan alam, namun terlebih lagi pada syarat-syarat atribut yang di gunakan untuk kualifikasi dalam bidang sektor-sektor pekerjaan yang ada. Tolak ukur yang pertama dalam kualifikasi pekerjaan adalah pendidikan. Oleh sebab itu, semangkin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semangkin besar peluang untuk mendapat pekerjaan yang layak dan baik itulah jawaban umum di era global saat ini.
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari Negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor. Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikan pun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu. Cara pandang seperti itu sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi dalam bentuk Human Capital (Modal Manusia) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara bahwa pembangunan sektor pendidikan untuk meningkatkan modal manusia merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya.

    1. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian dari Kapital?
  2. Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia?
  3. Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?
  4. Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya
  5. Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik
  6. Bagaimana Pendidikan sebagai Kapital Manusia di Era Globalisasi?

    1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian dari Kapital.
  2. Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Manusia.
  3. Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Sosial.
  4. Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Budaya.
  5. Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Simbolik.
  6. Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Manusia di Era Globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN

    1. PENGERTIAN KAPITAL
Secara etimologis kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata latin, caput, berarti kepala. Dalam tulisan ini capital tidak diterjemahkan sebagai modal seperti kelasiman yang dilakukan oleh banyak orang. Karl Marx dapat dinyatakan sebagai tokoh utama dalam membincangkan tentang capital. Sebagai petelak dasar bagi perkembangan teori-teori kapiltal, selanjutnya, maka teori capital Karl Marx perlu dibahas pertama kali di sini. Jka dinapaktilasi gagasan Marx, capital dilihatnya sebagai bagian dari nilai surplus yang diperoleh kapalis atau berjuis, yang mengontrol cara-cara produksi, dalam sirkulasi komoditas dan uang antara proses produksi dan konsumsi.
Gagasan teori kapital yang dikembangkan oleh Karl Marx menjadi bahan mentah bagi perkembangan teori kapital selanjutnya. Oleh karena itu salah satu ide yang berkembang pada teori kapital berikutnya adalah melihat bahwa capital merupakan suatu bentuk nilai surplus dan investasi yang diharapkan pengembaliannya, seperti pendapatan, keuntungan atau laba dalam arti yang luas.

    1. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA
Konsep kapital manusia (human capital) diperkenalkan oleh Theodore W.Schultz lewat pidatonya berjudul “Investment in Human Capital” dihadapan para ekonom American Economic pada 1960, kemudian dipublikasikan melalui jurnal American Economic Review, pada maret 1961. Sebelumnya para ekonom hanya mengenal kapital fisik berupa alat-alat, mesin, dan peralatan produktif. Gagasan tentang kapital manusia memperoleh sambutan yang luas dikalangan para ekonom seperti Dowman, Denison dan Becker. Selain itu, gagasan kapital manusia juga berkembangan ke dalam sosiologi seperti yang dilakukan oleh Parsons, Coleman, Blau dan Duncan.
Gagasan kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment in Human Capital” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan kondumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (SDM). Pendidikan sebagai suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki konstribusi langsung terhadap pertubuhan pendapatan Negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.

  1. Pengertian Kapital Manusia
Ace Suryadi (1999 : 52-53) dalam bukunya tentang “Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan”, misalnya menemukan bahwa capital manusia menunjukkan pada tenaga kerja yang merupakan pemegang capital (capital holder) sebagaimana tercermin di dalam keterampilan, pengetahuan dan produktivitas kerja seseorang. Adapun Elinor Ostrom (2000 : 175) melihat capital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang yang diperlakukan untuk melakukan suatu kegiatan. Sementara Robert M.Z. Lawang merumuskan capital manusia sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatian dan pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tetentu.
Ketiga rumusan ini seperti yang dikatanan oleh James S. Coleman (2008 : 373), menunjukkan bahwa sebagaimana capital fisik yang diciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan produksi, capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan merueka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, ia diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari oleh individu.

  1. Perkembangan Teori Kapital Manusia
Menurut Adam Smith, seperti yang dikatakan oleh Suryadi (1999 : 44), capital manusia terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang diperoleh semua anggota masyarakat. Perolehan kemampuan yang didapat dilakukan melalui pendidikan belajar sendiri atau belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan.
Menurut penelusuran Suryadi (1999 : 45), Heinrich Von Thunen dipandang sebagai seorang penggagas awal studi capital manusia. Hal itu dikarenakan ia dilihat sebagai penerima konsep capital manusia dengan sepenuhnya. Heinrich Von Thunen mengakui bahwa tingkat pelayanan dari manusia merupakan bagian terpenting dari aset nasional. Von Thunen beragumentasi bahwa pendidikan tinggi akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan yang tinggi pula. Pada gilirannya itu akan menciptakan penghasilan yang tinggi pula. Gary S. Becker misalnya melihat capital manusia sebagai nilai yang ditambahkan kepada seorang pekerja ketika pekerja mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan aset lain yang berguna bagi pemberi kerja atau perusahaan serta bagi proses produksi dan pertukaran.
Teori capital manusia seperti teori yang lainnya, menuai beberapa kritik. Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditujukan pada teori capital manusia dan dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar yaitu :
  1. Pengatuh tidak langsung
Suryadi (1999 : 65 -66) mendapatkan penelitian Herbert Gintis yang menemukan bahwa pendidikan atau latihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak secara langsung dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan. Pendidikan memang memberikan pengaruh terhadap produktivitas, tetapi tidak langsung.
  1. Efek Kredesianlisme
Mengutif Ivan Berg, Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan pengaruh sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja. Perluasan kesempatan pendidikan justru menyebabkan pasokan berlebih tenaga kerja terdidik dengan rentangan kualifikasi tenaga kerja yang semakin besar karena sertifikasi pendidikan telah dilegitimasikan sebagai syarat penting untuk mendapat pekerjaan. Ketika kemapuan dan keterampilan menjadi syarat dalam mengangkat tenaga kerja, maka sertifikat dan ijazah bukan merupakan hal utama dalam pengangkatan pegawai atau tenaga kerja.
  1. Asumsi “Screening Device”
Merujuk Keneth Arrow, Suryadi (1999 : 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang sebagai Screening divece, karena pendidikan tidak secara langsung meningkatkan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai. Pendidikan dilihat sebagai pembenaran terhadap seleksi dan penentuan gaji pegawai.
  1. Regularitas
Menurut Suryadi (1999 : 67 – 68) keteraturan atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang capital manusia tidak dapat digeneralisasi, karena sangat bergantung pada karakteristik dari segmen masyarakat. Oleh karena itu, teori capital manusia mungkin berlaku pada dua segmen masyarakat yang berkarakteristik ekstrem sata sama lainnya, yaitu pada kelompok masyarakat pendidikan sangat tinggi dan kelompok masyarakat sangat rendah.

  1. Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia
Dari berbagai pengertian konsep dan teori capital manusia yang berkembang terlihat bahwa pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan atribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan dalam kehidupannya dapat diperoleh melalui berbagai pendidikan, yaitu pendidikan formal seperti di sekolah, pendidikan nonformal seperti pelatihan di tempat kursus, maupun pendidikan informal seperti belajar life-skill. Kesemua pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan atribut serupa lainnya ini dipandang sebagai capital manusia.
Pengakuan kepemilikan capital manusia berupa pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan atribut serupa lainnya, oleh karena itu diwujudkan dalam cara yang berbeda. Pengakuan terhadap capital manusia yang diperoleh melalui pendidikan formal diwujudkan dalam bentuk ijazah pendidikan. Dengan kata lain, ketika seseorang melamar suatu pekerjaan tertentu, maka ijazah pendidikan formal yang dimiliki diterima sebagai salah satu persyaratan atau kualifikasi untuk pekerjaan ini. Bisa saja pengakuan yang diberikan terhadap suatu ijazah dikaitkan dengan apakah lembaga dimana ijazah tersebut dikeluarkan terakreditasi sesuai dengan lembaga akreditasi yang berhak untuk melaksanakannya.
Adapun pengakuan terhadap capital manusia yang terdapat lewat pendidikan nonformal ditujuakan oleh penerima terhadap sertifikasi yang dimiliki. Sertifikasi tersebut dapat dibuktikan dengan pengetahuan keterampilan, kemampuan atau atribut serupa lainnya dipertontonkan atau diperlihatkan kepada pemberi kerja.
Sementara pengakuan terhadap capital manusia yang didapatkan lewat pendidikan informal biasanya tidak melalui ijazah atau sertifikat yang dimiliki, tetapi cenderung bersifat informal. Dengan demikian, masyarakat mengakui seseorang memiliki suatu pengetahuan, keterampilan, kamampuan ataupun atribut serupa lainnya yang diperlukan oleh masyarakat seperti kamampuan memijat atau melakukan pengobatan alternative misalnya ketika mereka langsung merasakannya.

    1. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SOSIAL
Konsep capital social telah banyak dibahas oleh kalangan luas lintas disiplin ilmu. Oleh karena itu, konsep capital social akan dipahami melalui pandangan beberapa ilmuan yang dikenal menaruh perhatian tentang hal ini. Selain itu juga, diperbincangkan beberapa kontroversi yang berkaitan dengan konsep capital social.
  1. Pengertian Kapital Sosial
Piere Bourdieu (1986), mendefinisikan capital social sebagai “sumber daya actual dan potensial yang dimiliki oleh seorang berasal dari jaringan social yang terlembaga serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk perkenalan dan pengakuan timbal balik (keanggotaan dengan kelompok social) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif.”
James Coleman (2008:268), merumuskan pengertian capital social sebagai, “seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi social komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan social seorang anak.” Coleman menambahkan bahwa capital social merupakan “aspek dari struktur social serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur social.”
Sementara Alejandro Portes (1995:12-13), juga seorang sosiolog, membatasi capital social sebagai “sumber-sumber langka berdasarkan keanggotaan mereka dalam jaringan atau struktur social yang lebih luas.” Sumber-sumber langka ini dapat bersifat nyata secara ekonomi seperti potongan harga atau utang bebas bunga, atau tidak nyata seperti informasi tentang kondisi bisnis.
Adapun seorang ilmuan politik Robert Putnam (1999) memberi definisi capital social adalah sebagai “jaringan, nilai dan kepercayaan yang timbul diantara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk manfaat bersama.”
Lain lagi definisi seorang sosiolog lain bernama Jonathan H. Turner (Dasgupta dan Serageldin, 1999:95) berpendapat bahwa capital social menunjuk kepada kekuatan yang meningkatkan potensi untuk perkembangan ekonomo dalam suatu masyarakat dengan menciptakan dan mempertahankan hubungan social dan pola organisasi social.
Seorang sosiolog Indonesia yang serius membahas konsep capital social, Robert M.Z. Lawang (2004) mendefinisikan capital social sebagai semua kekuatan social komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur social yang menurut penelitian mereka dapat tercapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.
Adapun Nan Lin (2001:17) membatasi pengertian capital social sebagai suatu investasi dalam hubungan social oleh individu-individu melalui mana mereka memperoleh akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded resources) untuk meningkatkan hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif atau instrumental.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa capital social merupakan investasi social, yang meliputi sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hunungan social untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.

  1. Kotroversi Pemahaman Kapital Sosial
Capital social menurut Coleman (1990) memiliki berbagai bentuk yaitu kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan saksi yang efektif, hubungan otoritas, dan organisasi social yang dapat digunakan secara tepat. Adapun Pratikno dkk (2001) menemukan, berdasarkan studi literature, tiga level bentuk capital social, yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Nilai terdiri dari simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas dan pengakuan timbal-balik. Sementara itu, intsitusi mencakup keterlibatan umum sebagai warga Negara (civic engagement), asosiasi dan jaringan. Adapun, mekanisme meliputi kerja sama ada sinergi antara kelompok.
Apa yang dikatakan mengenai capital social tersebut, berbeda terbalik dengan pernyataan Portes (1995), bukan capital social. Konsep capital social merujuk pada kemampuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka terhadap permintaan yang memiliki karakteristik sebagai hadiah, sebab sumber ini tidak diharapkan untuk dibayar dalam sejumlah uang atau nilai lainnya pada priode masa tersebut. Portes mengajukan tempat sumber capital social yaitu nilai solidaritas, resiprositas, dan kepercayaan mendidik anak sampai berhasil sesuai dengan kemampuan. Mendidik anak itu sendiri bukan merupakan capital social tetapi sumber dari capital yang berlandaskan dari capital umum dalam masyarakat. Adapun capital social adalah kemampuan seseorang untuk mendidik anak sehingga berhasil. Keberhasilan ini pada akhirnya membuata orang ini pada masa yang akan datang. Menerima sesuatu dari anak, perlakuan social yang baik dimasa tua misalnya.
Dari dua pendapat yang berbeda tersebut, dapat ditarik kesimpulaan bahwa investasi social yang meliputi sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan social untuk mencapai tujuan individual dan kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya. Dari rumusan penulis, secara sederhana, dipahami bahwa capital social adalah investasi social dalam struktur hubungan social untuk meraih tujuan yang diharapkan. Rumusan ini mirip dari rumusan sederhana Nan Lim (2001:6) yang mendefinisikan capital social sebagai investasi dalam hubungan social dengan hasil yang diharapkan.
Adapun yang dimaksudkan dengan investasi social disini adalah sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan. Capital sebagai investasi social, oleh karena itu memiliki aspek statis dan dimamis. Dengan kata lain aspek statis dan dinamis dari capital social bagaikan dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Adapun aspek statis dari capital soaial adalah sumber daya social, sedangkan aspek dinamisnya adalah kekuatan menggerakkan. Sumber daya adalah sebagai aspek statis dari capital social dipahami dalam arti bahwa sumber daya social seperti jaringan kepercayaan, nilai, dan noerma merupakan capital yang digunakan dalam stuktur hubungan social. Investasi dapat terjadi jika actor memiliki sumber tersebut.
Sumber daya dari capital sosoal meliputi jaringan, kepercayaan, dan norna. Jaringan merupakan terjemahan dari network, yang memiliki dua suku kata yaitu net dan work. Net diterjemahkan kedalam bahasa sebagai jarring, yaitu tenunan seperti jala, terdiri dari banyak ikatan antara simpul dan saling terhubung antara satu sama lain. Adapun kata work bermakna sebagai kerja. Gabungan kata net dan work, bermakna sebagai kerja, sehingga menjadi network, yang penekannya terletak pada kerja bukan pada jaringan, dimengerti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaringan (net). Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka jaringan (network), menurut Lawang (2004:50-51), dimengerti sebagai:
  1. Ada ikatan antarsimpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan hubungan social. Hubungan social ini diikat denga keparcayaan. Kepercayaan ini dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
  2. Ada kerja antarasimpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan social menjadi satu kerja sama, bukan kerja bersama-sama.
  3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antarsimpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat mengkap ikan lebih banyak.
  4. Dalam kerja jarring itu ada ikatan simpul yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jarring itu tidak dapat berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang. Dalam hal ini, analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau orang yang membentuk jarring itu hanya dua
  5. Media (benang atau kawat ) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan
  6. Ikatan tau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan di pertahankan.
Adapun soaial yang sudah dimengerti sebagai suatu yang dikaitkan atau dihubangkan dengan orang lain atau menunjuk pada makna subjektif yang mempertimbangkan tingkah laku atau tindakan orang lain yang berkaitan dengan pemaknaan tersebut.
Dengan demikian jaringan social merupakan hubungan antara individu yang memiliki makna subjetif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai sipul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu didalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan artara para aktor ini. Dalam kenyataan, dimungkinkan terdapat banyak jenis ikatan antara simpul. Jaringan dikatakan sebagai sumber daya capital social karena dengan kepemilikian “hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan suatu sebagai simpul dan ikatan, maka para actor memiliki suatu capital yang mampu diinvestasikan dalam suatu struktur hubungan social.
Merujuk pada hasil napak-tilas konsep kepercayaan yang dilakukan oleh Damsar (1999: 185-186), dikatakan bahwa dalam terminology sosiolagi, konsep kepercayaan dikenal dengan trust. Definisi kepercayaan (trust) dalam Oxford English Dictionary dijalaskan sebagai confidence in yang berarti yakin kepada reliance on yang bermakna percaya tas beberapa kualitas atau atribut sesuatu atau seseorang, atau kebenaran suatu pernyataan.
Torsvik (2000:458), menyebutkan kepercayaan merupakan “kecendrungan prilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari prilakunya.” Konsep kepercayaan yang dikaitkan dengan resiko, juga dikemukakan oleh Luhmann (1979;1988), sebagai suatu istilah yang hanya muncul pada zaman modern. Pengertian kepercayaan yang dikaikan dengan resiko dikritik oleh para teoritisi, salah satunya Giddens (2005). Menurutnya kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada resiko, namun kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung konotasi ditengah-tengan berbagai akibat yang serba mungkin.dalam kasus kepercayaan pada agen manusia, dugaan keyakinan akan melibatkan kebaikan (penghargaan) atau cinta kasih. Itulah yang menyebabkan kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuansi bagi individu yang percaya terhadap sandera moral akan keberuntungan diserahkan. Kepercayaan menurut Giddens (2005:45), didefinisikan sebagai keyakinan akan reliabilitas seseorang atau sistem, terkait dengan berbagai hasil atau peristiwa, dimana keyakinan itu mengespresikan suatu iman (faith) terhadap integarasi atau cinta kasihorang lain atau terhadap ketepatan prinsip abstrak (pengetahuan teknis).
Definisi kepercayaan tidak dikaitkan dengan resiko, juga ditemukan oleh Zucker (1986). Zucker memberi batasan kepercayaan sebaga seperangkat harapan yang dimiliki bersama-sama oleg semua yang berada dipertukaran. Hal ini sama dengan batasa yang diberikan oleh Lawang. Menurutnya kepercayaan merupakan hubungan antar dua belah pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salh satu pihak atau dua belah pihak melalui interaksi social. Selanjutnya Lawang menyimpulkan inti konsep kepercayaan sebagai berikut:
  1. Hubungan social antara dua orang atau lebih, termasuk dalam hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian ini diwakili oleh orang.
  2. Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasi tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
  3. Interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan ini terwujud.
Dari semua definisi tersebut, hal ini lebih cocok menggunakan batasan yang diberikan oleh Giddens. Selain mencakup berbagai fenomena dan peristiwa kepercayaan, juga memiliki irisan dengan berbagai pendapat teoritisi lain seperti Zicker dan Lawang.
Adapun nilai yang dipahami sebagai gagasan mengenai suatu pengalaman berarti, berharga, bernilai dan pantas atau tidak berarti, tidak berharga, tidak bernilai, dan tidak pantas. Gagasan seperti ini dikenal sebagai nilai. Oleh karena itu nilai juga berkaitan dengan ide yang dimiliki secara bersama tentang suatu itu baik atau buruk, diharapkan atau tidak diharapkan (William, 1970:27).
Nilai-nilai yang dapat menjadi sumber capital social banyak. Naming dari sekian banyak sumber capital social, yang relevan dengan studi sosiologi pendidikan adalah kepercayaan, resiprositas dan rasa tanggung jawab. Resiprositas seperti yang distudi oleh Damsar, menunjuk pada gerakan antar kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan. Hal ini terjadi apabila hubungan timbal balik antar individu atau kelompok yang sering dilakukan. Hubungan bersifat simetri terjadi apabila hubungan antar berbagai pihak (antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok) memiliki posisi dan peranan yang yang relative sama dalam suatu proses pertukaran. Misalnya dalam masyarakat Bali apabila ada kabar baik seperti ada orang menikah, mereka harus memberi tahu kerabat-kerabatnya semua jika ingin dibantu. Sebaliknya jika ada kabar buruk seperti kematian, tanpa diberi taju mereka pasti akan datang.
Pada aktivitas tersebut, berbagai pihak yang terlibat resiprositas memiliki posisi social yang sama, meskipun diantara mereka memiliki derajat harta kekayaan dan fungsionaris adat yang berbeda-beda. Posisi dan peranan sebagai pengundang, tuan rumah atau pemberi dan yang diundang, tamu, atau penerima dalam kegiatan resiprositas terjadi secara bergilir silih berganti. Dengan kata lain, siapa saja individu atau kelompok memiliki aktifitas atau hajat resiprositas dapat mengambil peranan dan posisi sebagai pengundang, tuan r umah atau pemberi pada suatu waktu, dan pada waktu lain dia atau mereka dipasisikan sebagai yang diundang, tamu atau penerima. Hubungan seperti ini terjadi apabila hubungan berbagai pihak bersifat intim dan akrab. Hal ini ditunjukkan oleh hubungan personal antara individu yang ada, bukan dalam hubungan impersonal. Dengan kata lain mereka terlibat dalam aktivitas resiprositas, saling kenal antara satu dengan yang lain. Dalam hubungan seperti ini, resiprositas merupakan kewajiban membayar atau membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas terhadap pemberian mereka yang dilakukan dalam tindakan nyata mebalas kembali kepada orang atau kelompok lain.
Dari berbagai keputusan yang ada tentang resiprositas dapat disimpulkan terdapat dua jenis resiprositas yaitu resiprositas sebagding (balanced reciprocity)dan resiprositas umum (generalized reciprocity). Resiprositas sebanding merupakan kewajiban membalas kembali kepada orang atao kelompok lain atas pemberian mereka yang dilakukan secara setara, sering kali, lansung, danterjadwal. Resiprositas sebanding menekankan pada yang diterima oleh seseorang atau kelompok pada masa lampau haruslah setara dengan yang sudah diberikan kepada orang atau kelompok pemberi. Sifat langsung ditunjukkan dengan siapa memberikan apa, kepada siapa, dan akan menerima apa, dari siapa. Adapun sifat terjadwal menunjuk pada kepastian seseorang kapan akan memperoleh pembayaran atau pembalasan atas pemberian atau kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya.
Adapun resiprositas umum merupakan kewajiban memberi atau membantu orang atu kelompok lain tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran, atau balasan yang setaradan langsung. Berbeda dengan resiprositas berbanding, resiprositas umum tidak menggunakan kesepakatan terbuka atau langung antara pihak-pihak terlibat. Ada harapan bersifat umum (general) bahwa pengembalian setara atau utang ini akan tiba pada saatnya, tetapi tidak ada batas waktu tertentu pengembalian, juga tidak ada spesifikasi mengenai bagaimana pengembalian ini dilakukan. Istilah pengembalian dalam resiprositas umum sangat samar (sanderson:2003: 118). Dalam masyarakat etnik di Indonesia terdapat berbagi kearifan local yang mengandung nilai dan norma yang menyuruh orang untuk berbuat baik kepada semua orang tanpa menegaskan bentuk dan waktu pengembaliannya, misalnya: “berbuat baik berpada-pada (berhati-hati) berbuat jahat jangan sekali” manusia mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belang, nan kurik kundi nan merah saga, nan baik budi nan indah basa, utang emas dapat dibayar, utang budi di bawa mati..
Adapun nilai tanggungjawab merupakan salah satu nilai yag diagungkan dalam banyak masyarakat dunia. Dalam dunia melayu dikenal pepatah “tangan mencencang, bahu memikul” pepatah ini bermakna bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan atau aktifitas dia yang harus mempertanggungjawabkannya. Norma sebagai sumberdaya social terakhir, dipahami sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang. Norma memberikan kita suatu cara di mana kita dalam mengorientasikan diri kita terhadap orang lain. Norma menuntun kita dalam melakukan definisib situasi. Norma, oleh karena itu menjadi kompas dalam menemukan jalan-jalan dibelantara kehidupan social. Sullivan dan Thompson (1984:39-41) membagi norma atas tiga macam: kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores), dan Hukum (law). Kebiasaan adalah cara-cara yang lazim, wajar dan berulang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap sesuatu. Dalam berjabat tangan misalnya kebiasan di Jepang diiringi dengan membungkukkan badan sedangkan di Indonesia dengan badan tegak. Horton dan Hunt membagi kebiasaan menjadi dua golongan : (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan ini penting untuk menyejahterakan masyarakat (1984:60). Horton dan Hunt menegaskan bahwa apabila kebiasaan ini dikaitkan dengan gagasan tentang salah dan benar, maka ia dipandang sebagai tata kelakuan. Dengan demikian tata kelakuan merupakan gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ini berarti adat istiadat/ tata kelakuan berkaitan erat dengan moral. Berbagai tabu dan pantangan yang terdapat dalam masyarakat adlah bentuk dari tata kelakuan. Apabila tata kelakuan diformalkan dan dikodefikasikan dengan penerapan sanksi dan hukuman oleh otoritas pemerintah, maka ia dipandag sebagai hukum.
Dalam konsep pembahasan capital social, norma tidak dapat dilepaskan dengan jaringan, kepercayaan, dan nilai. Dengan menggunakan pertukaran, karena manusia adalah mahluk yang rasional yaitu mempertimbangkan untung rugi baik dalam dimensi instrinsik maupun ekstrinsik, jika suatu pertukaran mendapatkan suatu keuntungan, maka akan muncul peryukaran selanjutnya, yang diharapkan mendapatkan keuntungan pula. Jika beberapa kali pertukaran berlangsung memperoleh keuntungan, maka muncullah norma sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang, yaitu suatu pertukaran menguntungkan para pihak yang terlibat. Resiprositas yang dimiliki norma mengandung hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat dalam pertukaran. Dengan kata lain, semua pihak harus memiliki tanggung jawab menjaga norma yang terbentuk dalam suatu pertukaran, jika ada orang yang melanggar yang berdampak pada berkurangnya keuntungan para pihak yang terlibat diberi sanski atau hukuman yang berat. Apabila pertukaran ini berlangsung terus menerus dan lama, maka ia akan mengkritalkan siatu jaringan hubungan social yang di dalamnya mengandung suatu kepercayaan bahwa para pihak yang terlibat pertukaran akan memperoleh keuntungan yang merata. Hal itulah yang memunculkan norma keadilan. Jika ia dilanggar akan memperoleh sanksi atau hukuman yang berat pula.
Adapun kekuatan menggerakkan sebagai aspek dinamis dari capital social dipahami dalam arti bahwa capital social sebagai investasi dapat membesar, mengecil, tetap atau bahkan menghilang dalam suatu struktur hubungan social. Pemahaman ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh portes dengan capital social sebagai kemmpuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka. Kemampuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka menurut Portes ini dapat dipahami dengan penggunaan “kekuatan menggerakkan” oleh actor dalam aktivitas investasi social pada suatu struktur hubungan social. Segala sumber daya social (jaringan, kepercayaan,nilai dan norma) yang dimiliki ini mengandung kekuatan menggerakkan investasi social untuk menjadi lebih besar atau lebih kecil. Kekuatan menggerakkan ini tampak pada saat capital social tersebut digunakan dalam suatu struktur hubungan social. Penampakannya terlihat dari sejauh mana investasi social yang telah ditanam mampu mencapai tujuan individual dan/ atau kelompok secara efesien dan efektif dengan capital lainnya.

  1. Kenapa Pendidikan Sebagai Capital Social ?
Mengikuti pendidikan formaldan informal, seseorang dapat mempeoleh segala sumbr daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Terutama dalam pendidikan formal, ketika seseorang menyelesaikan studi disuatu tingkatan pendidikan (SD sampai Perguruan Tinggi), segera dia memperoleh predikat sebagai alumni darisuatu lembaga pendidikan formal dimana tempat ia belajar. Sumber daya social sebagai alumni dari suatu lembaga pendidikan formal, bila mampu mengolahnya menjadi suatu jaringan social sesama alumni, maka ia akan menjadi capital social. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, betapa fungsionalnya jaringan alumni sebagai sumber daya social seseorang dalam menumbuhkembangkan capital social. Perguruan tinggi ternama seperti universitas Gadjah Mada,Universitas Indonesia, Institut teknologi Bandung dan institute petanian Bogor mampu secara efektif membuat jaringan alumni sebagai capital social bagi para anggotanya. Perguruan tinggi ini ditengarai menguasaikementerian tertentu yang diperlihatkan dari dominasi alumni mereka pada jabatan strategis tertentu dan jumlah alumni mereka yang bekerja pada kementrian tersebut.
Kpital social yang diolah dari sumber jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula mencipakan suatu derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya. Selain itu ketika dia masih sebagai (maha) siswa, dia juga memperoleh nilai dan norma tertentu, biasanya nilai dan norma tentang kerja keras, jujur, santun, dan lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila kesemua sumber daya social tersebut mampu diolah oleh snag alumni ini dengan baik, maka capital social yang dimilikiakan semakin kuat.
Sumber daya social yang diperoleh dari lembaga pendidikan informal tampaknya kurang banyak didapatkan dibandingkan seseorang dari pendidikan formal. Meskipun demikian, sumber daya social yang diperoleh pada pendidikan informal dapat diolah menjaddi capital social.

    1. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL BUDAYA
Dalam kajian sosiologi tetang capital, pierre Bourdieu dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam studi tentang capital budaya, meskipun pandangan Bourdieu sukar untuk dijelaskan, namun ada beberapa pandangannya dapat dirangkaikan menjadi suatu pemahaman keseluruhan tentang capital budaya.
  1. Pengertian Kapital Budaya
Dalam suatu sisi, Bourdieu mendefinisikan capital budaya, seperti dikutip Mahar dkk (2005:16) sebagai selera bernilai budaya dan pola konsumsi. Capital budaya, oleh karena itu, lanjut Mahar dkk, mencakup rentangan luas property seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa. Disisi lain Bourdieu menurut Ritzer dan Goodman (2004: 525) menjelaakan batasan capital budaya sebagai berbagai pengetahuan yang sah.definisi seperti itu sama dengan pemaham yang dimiliki oleh jeckins (2004:125) berrbeda dengan pemahaman Mahar dkk Ritzer dan Goodman serta Jenkins,Lury (1998) melihat Bourdieu membatasi capital budaya sebagai capital pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk “seni” atau “bukan seni”. Penjelasan detail batasa Bourdieu tentang capital budaya ditulis oleh lee (2006:58), capital budaya didefinisikan sebagai kepemilikan kompetensi cultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan cultural yang menyediakan bentuk konsumsi cultural yang dibedakan secara khusus dan klassifikasi rumit dari barang-barang cultural dan simbolis.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat diseimpulkan bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan cultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Berdasarkan batasan sperti ini, maka reproduksi social, yaitu pemeliharaan pengetahuan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya, “dipertahankan” melalui sistem pendidikan:
sistem pendidikan, suatu pengkelasan terlembaga yang dirinya sendiri, merupakan sebuah sistem klasifikasi uang terobjektifkasi yang memproduksi hierarki dunia sosal dalam bentuk yang tertransformasi. … Mentransfomasi klasifikasi social menjadi klasifikasi akademis dengan segala tampilan netralitasnya, dan memapankan hierarki yang tidak alami sebagai hierarki semata-mata teknis-dan karenanya bersifat memihak dan berat sebelah-namun sebagai hierarki mutlak, yang teranam dalam alam, sehingga nilai social lalu diidentifikasikan dengan nilai ‘’personal’’ martabat sekolah dengan martabat manusiawi. “budaya” yang diasumsikan terjamin oleh kualifikasi pendidikan itu merupakan salah satu komponen dasar dalam kebanyakan definisin mengenai manusia unggul, sehingga tiadaaanya hal dasar ini dipersepsi sebagai rintangan hakiki, yang menghilangkan identitas seseorang dan martabat manusiawi, yang menghukumnya untuk bungkam dalam setiap situasi resmi, ketika ia harus “muncul di public” mempresentasikan dirinya di hadapan yang lain dengan tubuh, sikap dan bahasanya.
Menurut Lawang (2004: 16-18), Bourdieu menjelaskan kapital budaya dalam tiga dimensi : yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia, dan institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia dari kapital budaya adalah embodied state, yaitu keadaan yang membadan, atau keadaan yang terwujud dalam badan manusia, atau yang menyatu seluruhnya dengan manusia sebagai satu kesatuan. Sementara dimensi objek dari kapital budaya, dikenal sebagai objectified state, yaitu suatu keadaan yang sudah dibedakan atau dijadikan objek oleh manusia. Adapun dimensi institusional dari kapital budaya merupakan suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entitas yang sama sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dengan system pendidikan. Dengan demikian, kapital budaya menunjuk pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang dapat diuangkan atau dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Mungkin masih belum terlalu paham tentang kapital budaya dari pandangan Bourdieu ? untuk memantapkan pemahaman, perlu kiranya dijelaskan dengan mengaitkan konsep kapital budaya dengan beberapa konsep lain dari Bourdieu seperti ranah (field) dan habitus. Ranah adalah jaringan anatar posisi objektif. Posisi berbagai agen (individu atau kolektif) dalam ranah berkait dengan jumlah kapital yang dipunyai, terutama kapital ekonomi dan budaya. Kapital ekonomi berupa harta kekayaan material, sedangkan kapital budaya berupa modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai, terutama berasal dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin elite institusi pendidikan yang diikuti, maka semakin besar simpanan kapital budaya orang tersebut. Berdasarkan perbedaan kapital ini, maka seseorang dapat dimasukkan kedalam salah satu dari empat kelompok social :
  1. Tinggi baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
  2. Tinggi dalam kapital ekonomi, rendah dalam kapital budaya.
  3. Rendah dalam kapital ekonomi, tinggi dalam kapital budaya.
  4. Rendah baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
Adapun habitus merupakan “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk mengarungi kehidupan social. Ia sebagai suatu system disposisi, sebuah system yang mengatur kapasitas individu untuk bertindak. Bourdieu menulis (1984: 170) : ”habitus adalah keniscayaan yang diinternalisasikan dan dialihkan kedalam disposisi yang melahirkan praktik bermakna dan persepsi yang memberikan makna; habitus adalah disposisi umum dan dapat digerakkan yang mengandung aplikasi universal dan sistematis di luar batas hal-hal yang telah dipelajari secara langsung terhadap keniscayaan yang inheren dalam kondisi-kondisi belajar”.
Pengertian habitus dari buku Distinction, mungkin agak sukar dipahami. Untuk itu berikut ini ditampilkan batasan habitus dari buku Outline of a Theory of Practice (1977: 83), yaitu : “sebuah system disposisi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengintregasikan pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi, apresiasi, dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkin solusi masalah yang nyaris serupa.” Jadi, agen membuat persepsi, menyatakan apresiasi dan melakukan tindakan mempertimbangkan matriks yang disediakan oleh habitus.
Habitus tidak sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompetensi atau rasa gaya, tetapi juga dijelmakan secara harfiah. Artinya, hal ini ditanamkan dalam diri individu,dalam ukuran tubuh, bentuk, postur, cara berjalan, cara duduk, ekspresi wajah, rasa bebas terhadap tubuh sendiri, cara makan, minum, keluasan ruang social dan waktu yang dirasakan seseorang sebagai haknya; bahkan naik turun tekanan suara, akses dan kompleksitas pola pidato merupakan habitus individu ( Lury,1998).
Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. Habitus membentuk preferensi agen terhadap makanan, pakaian, prabotan rumah, music, drama, sastra, lukisan, film, fotografi, dan prefrensi etis lainnya.
Jadi, habitus ada dalam pikiran aktor, sedangkan ranah ada di luar pikiran mereka. Hubungan antara keduanya bersifat pengaruh timbale balik yang dialektik. Seperti yang dikatakan Bourdieu (1984: 94) : “habitus yang mantap hanya terbentuk, berfungsi dan sah dalam sebuah ranah, dalam hubungannya dalam suatu ranah… habitus itu senditi adalah “ranah dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam ranah yang berbeda, dalam konfigurasi yang berbeda atau dalam sector yang berlawanan dari ranah yang sama.”

2. Kenapa Pendidikan Sebagai Kapital Budaya
Kapital budaya, seperti disimpulkan di atas, merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan cultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Dari pengertian tentang kapital budaya dan penjelasannya tampak jelas bahwa pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penafsiran nilai. Nilai sopan santun, malu, kerja keras, kejujuran, kepercayaan, dan lainnya dibentuk, diperkuat, dan dipertahankan melalui, terutama, pendidikan formal. Hal itu tampak bagaimana nilai dan norma yang disosialisasikan oleh guru pada pendidikan dasar, terutama taman kanak-kanak dan sekolah dasar, mampu menjadi rujukan berpikir, bersikap, dan berprilaku peserta didik. Nilai dan norma inilah, biasanya berasal dari kelas menengah atas, menjadi Mainstream dalam kehidupan bermasyarakat. Mari kita pahami dengan suatu contoh. Kenapa sarungan (memakai sarung) dipandang tidak pantas, sopan dan elok untuk dipakai ketempat kerja ? bukankah ketika Haju Agus Salim pernah memakai sarungan dalam suatu sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat zaman revolusi kemerdekaan dahulu ? Pendidikanlah yang membuat kita berpikir, bersikap, bertindak, dan berprilaku seperti itu.
Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan kultural seseorang. Kompetensi dan pengetahuan kultural tersebut memberikan seseorang preferensi dalam berpikir, bersikap, bertindak, dan berprrilaku dalam bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, dan model-model tentang keberhasilan dan kegagalan, cantik dan jelek, indah dan buruk, sehat dan sakit, sopan dan asalan.

2.5 PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SIMBOLIK
Seperti halnya kapital budaya, Bourdieu dipandang sebagai peneruka dalam studi tentang capital simbolik. Oleh sebab itu, pandangan Bourdieu tentang capital simbolik perlu memperoleh kohormatan untuk dibahas dalam bagian ini.
  1. Pengertian Kapital Simbolik
Apa itu kapital simbolik menurut Bourdieu? Dalam pandangan Bourdieu (1977: 183), capital simbolik merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan karenanya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital ‘material’ yang adalah, pada hakekatnya, sumber efek-efeknya juga.
Definisi kapital simbolik dari Bourdieu yang dijelaskan di atas memang agak sukar dipahami, jika tidak mengaitkannya dengan jenis kapital lainnya. Oleh sebab itu, Turner, misalnya melihat kapital simbolik sebagai ‘penggunaan symbol-simbol untuk melegitimasi pemilikan berbagai tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk kapital lainnya (yaitu kapital ekonomi, social dan budaya)’. Adapun Lee (2006: 58) mencoba melukiskan hubungan antara kapital simbolik dan kapital lainnya melalui proposisi berikut : “semakin besar kepemilikan dan investasi modal pendidikan dan kultural, semakin artikulatif dank has bentuk konsumsi kultural yang dilakukan, dan dengan demikian semakin besar pula hasil modal simbolis yang dapat diperoleh.”

    1. PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA DI ERA GLOBALISASI
Peranan pendidikan dalam kehidupan adalah sangat penting karena di era globalisasi sekarang ini dunia kerja menuntut sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas oleh karena itu dunia pendidikan mau tidak mau harus dapat menciptakan wadah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan tenaga kerja yang terampil.
Human capital (Kapital Manusia) bukanlah memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan).
Telah banyak sumber dan pakar ekonomi pendidikan mengatakan bahwa pendidikan memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Berbagai kajian akadernis dan kajian empiris telah membuktikan hal ini. Pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas (memiliki pengetahuan dan keterampilan serta· menguasai teknologi) tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. 
Salah satu ciri Negara maju adalah tingginya tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi oleh karena itu pendidikan sangat di tekankan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia seperti adanya pelatihan skill,ketrampilan dan pengetahuan tentang dunia usaha agar menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing,kompeten,kreatif,berwawasan luas dan mempunyai integritas tinggi yang dibutuhkan oleh berbagai sektor usaha baik sektor industri dan lainnya.
Oleh karena itu keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga kerja sangat dipengahuri oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan yang dimiliki masing-masing individu. Maka dari itu diperlukannya usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan internasional karena dunia kerja sangat menunutut untuk memperoleh sumber daya manusia yang bervarietas tinggi.
BAB III
PENUTUP

    1. Simpulan
Capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari individu. Capital fisik memudahkan aktivitas produktif, begitu juga capital manusia
Kapital social adalah investasi social yang meliputi sumber daya social seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan social untuk mencapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.
Dari pendapat beberapa ahli mengenai capital budaya, dapat disimpulkan bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan culture yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua capital yang ada(capital manusia,social,budaya, dan simbolik), selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam capital budaya dan capital simbolik. Dengan demikian pendidikan menjadi simpul dari pertemuan semua capital yang ada.
Jadi perlu kita sadari bahwa pentingnya peranan pendidikan sebagai Human Capital karena modal manusia untuk tetap hidup bukan hanya ditentukan oleh modal yang berupa materi saja akan tetapi pendidikan dibutuhkan untuk jembatan menuju manusia yang berwawasan luas.berdedikasi tinggi dan mempunyai skill yang mumpuni untuk menghadapi tantangan global saat ini Dunia usaha pada masa sekarang ini telah banyak menuntut manusia yang mempunyai skill yang spesifik untuk turut andil pada peningkatan produksi,oleh karena itu pendidikan dituntut untuk dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas,berdaya saing serta menpunyai keahlian dan ketrampilan.
Dalam hal ini Pendidikan bukan hanya Pendidikan formal seperti SD,SLTP.SMA dan Perguruan Tinggi akan tetapi termasuk Pendidikan latihan seperti Training Centre, kursus, Balai latihan khusus dll.
James S. Colemen (2008:373), menunjukan bahwa sebagaimana kapital fisik yang di ciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan produksi, kapital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara yang baru. Perbedaan kapital fisik dengan kapital manusia dapat kita lihat dalam wujudnya. Kapital fisik itu berwujud sedangkan kapital manusia tidak berwujud.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar