BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam Era
Globalisasi saat sekarang ini, kita dapat melihat sekaligus
merasakan semangkin ketatnya persaingan untuk mendapatkan
pekerjaan. Hal ini di perburuk dengan keadaan alam yang terasa sudah
tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan oleh manusia
pada khususnya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang
memiliki kecerdasan yang dapat mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang
ada sebagai nilai guna yang lebih. Tidak hanya pada pengolahan alam,
namun terlebih lagi pada syarat-syarat atribut yang di gunakan untuk
kualifikasi dalam bidang sektor-sektor pekerjaan yang ada. Tolak ukur
yang pertama dalam kualifikasi pekerjaan adalah pendidikan. Oleh
sebab itu, semangkin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
semangkin besar peluang untuk mendapat pekerjaan yang layak dan baik
itulah jawaban umum di era global saat ini.
Pendidikan dalam
pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk
pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam
konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service
atau jasa layanan umum dari Negara kepada masyarakat yang tidak
memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga
pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian,
kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah
pembangunan.
Opini yang
berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang
bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara
ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan
ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai
pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor. Ketidakyakinan ini
misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor
pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap
buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran
sektor pendidikan pun biasanya sisa setelah yang lain terlebih
dahulu. Cara pandang seperti itu sekarang sudah mulai tergusur
sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan
fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia
sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan
dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan
sebagai sebuah investasi dalam bentuk Human Capital (Modal Manusia)
telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara
bahwa pembangunan sektor pendidikan untuk meningkatkan modal manusia
merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan
lainnya.
- Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari Kapital?
- Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia?
- Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?
- Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya
- Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik
- Bagaimana Pendidikan sebagai Kapital Manusia di Era Globalisasi?
- Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian dari Kapital.
- Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Manusia.
- Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Sosial.
- Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Budaya.
- Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Simbolik.
- Untuk mengetahui tentang pendidikan sebagai Kapital Manusia di Era Globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN KAPITAL
Secara etimologis
kapital berasal dari kata “capital”, yang akar katanya dari kata
latin, caput, berarti kepala. Dalam tulisan ini capital tidak
diterjemahkan sebagai modal seperti kelasiman yang dilakukan oleh
banyak orang. Karl Marx dapat dinyatakan sebagai tokoh utama dalam
membincangkan tentang capital. Sebagai petelak dasar bagi
perkembangan teori-teori kapiltal, selanjutnya, maka teori capital
Karl Marx perlu dibahas pertama kali di sini. Jka dinapaktilasi
gagasan Marx, capital dilihatnya sebagai bagian dari nilai surplus
yang diperoleh kapalis atau berjuis, yang mengontrol cara-cara
produksi, dalam sirkulasi komoditas dan uang antara proses produksi
dan konsumsi.
Gagasan teori
kapital yang dikembangkan oleh Karl Marx menjadi bahan mentah bagi
perkembangan teori kapital selanjutnya. Oleh karena itu salah satu
ide yang berkembang pada teori kapital berikutnya adalah melihat
bahwa capital merupakan suatu bentuk nilai surplus dan investasi yang
diharapkan pengembaliannya, seperti pendapatan, keuntungan atau laba
dalam arti yang luas.
- PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA
Konsep kapital
manusia (human capital) diperkenalkan oleh Theodore W.Schultz lewat
pidatonya berjudul “Investment
in Human Capital” dihadapan
para ekonom American Economic pada 1960, kemudian dipublikasikan
melalui jurnal American Economic Review, pada maret 1961. Sebelumnya
para ekonom hanya mengenal kapital fisik berupa alat-alat, mesin,
dan peralatan produktif. Gagasan tentang kapital manusia memperoleh
sambutan yang luas dikalangan para ekonom seperti Dowman, Denison dan
Becker. Selain itu, gagasan kapital manusia juga berkembangan ke
dalam sosiologi seperti yang dilakukan oleh Parsons, Coleman, Blau
dan Duncan.
Gagasan kapital
manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment
in Human Capital”
adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan kondumtif, melainkan
suatu bentuk investasi sumber daya manusia (SDM). Pendidikan sebagai
suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki konstribusi
langsung terhadap pertubuhan pendapatan Negara melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.
- Pengertian Kapital Manusia
Ace Suryadi (1999 :
52-53) dalam bukunya tentang “Pendidikan, Investasi SDM, dan
Pembangunan”, misalnya menemukan bahwa capital manusia menunjukkan
pada tenaga kerja yang merupakan pemegang capital (capital holder)
sebagaimana tercermin di dalam keterampilan, pengetahuan dan
produktivitas kerja seseorang. Adapun Elinor Ostrom (2000 : 175)
melihat capital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh seseorang yang diperlakukan untuk melakukan suatu kegiatan.
Sementara Robert M.Z. Lawang merumuskan capital manusia sebagai
kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatian dan
pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk
melakukan kegiatan tetentu.
Ketiga rumusan ini
seperti yang dikatanan oleh James S. Coleman (2008 : 373),
menunjukkan bahwa sebagaimana capital fisik yang diciptakan dengan
mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan produksi,
capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan
merueka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak
dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam
bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, ia
diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari oleh
individu.
- Perkembangan Teori Kapital Manusia
Menurut Adam Smith,
seperti yang dikatakan oleh Suryadi (1999 : 44), capital manusia
terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang diperoleh semua anggota
masyarakat. Perolehan kemampuan yang didapat dilakukan melalui
pendidikan belajar sendiri atau belajar sambil bekerja memerlukan
biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan.
Menurut penelusuran
Suryadi (1999 : 45), Heinrich Von Thunen dipandang sebagai seorang
penggagas awal studi capital manusia. Hal itu dikarenakan ia dilihat
sebagai penerima konsep capital manusia dengan sepenuhnya. Heinrich
Von Thunen mengakui bahwa tingkat pelayanan dari manusia merupakan
bagian terpenting dari aset nasional. Von Thunen beragumentasi bahwa
pendidikan tinggi akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan yang
tinggi pula. Pada gilirannya itu akan menciptakan penghasilan yang
tinggi pula. Gary S. Becker misalnya melihat capital manusia sebagai
nilai yang ditambahkan kepada seorang pekerja ketika pekerja
mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan aset lain yang berguna
bagi pemberi kerja atau perusahaan serta bagi proses produksi dan
pertukaran.
Teori capital
manusia seperti teori yang lainnya, menuai beberapa kritik. Ace
Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditujukan pada teori
capital manusia dan dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar yaitu
:
- Pengatuh tidak langsung
Suryadi (1999 : 65
-66) mendapatkan penelitian Herbert Gintis yang menemukan bahwa
pendidikan atau latihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi
tidak secara langsung dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
Pendidikan memang memberikan pengaruh terhadap produktivitas, tetapi
tidak langsung.
- Efek Kredesianlisme
Mengutif Ivan Berg,
Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya
memberikan pengaruh sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja.
Perluasan kesempatan pendidikan justru menyebabkan pasokan berlebih
tenaga kerja terdidik dengan rentangan kualifikasi tenaga kerja yang
semakin besar karena sertifikasi pendidikan telah dilegitimasikan
sebagai syarat penting untuk mendapat pekerjaan. Ketika kemapuan dan
keterampilan menjadi syarat dalam mengangkat tenaga kerja, maka
sertifikat dan ijazah bukan merupakan hal utama dalam pengangkatan
pegawai atau tenaga kerja.
- Asumsi “Screening Device”
Merujuk Keneth
Arrow, Suryadi (1999 : 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang
sebagai Screening divece, karena pendidikan tidak secara langsung
meningkatkan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon
pegawai. Pendidikan dilihat sebagai pembenaran terhadap seleksi dan
penentuan gaji pegawai.
- Regularitas
Menurut Suryadi
(1999 : 67 – 68) keteraturan atau regularitas dalam
penemuan-penemuan penelitian tentang capital manusia tidak dapat
digeneralisasi, karena sangat bergantung pada karakteristik dari
segmen masyarakat. Oleh karena itu, teori capital manusia mungkin
berlaku pada dua segmen masyarakat yang berkarakteristik ekstrem sata
sama lainnya, yaitu pada kelompok masyarakat pendidikan sangat tinggi
dan kelompok masyarakat sangat rendah.
- Kenapa Pendidikan sebagai Kapital Manusia
Dari berbagai
pengertian konsep dan teori capital manusia yang berkembang terlihat
bahwa pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan atribut serupa lainnya
yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu
kegiatan dalam kehidupannya dapat diperoleh melalui berbagai
pendidikan, yaitu pendidikan formal seperti di sekolah, pendidikan
nonformal seperti pelatihan di tempat kursus, maupun pendidikan
informal seperti belajar life-skill. Kesemua pengetahuan,
keterampilan, kemampuan dan atribut serupa lainnya ini dipandang
sebagai capital manusia.
Pengakuan
kepemilikan capital manusia berupa pengetahuan, keterampilan,
kemampuan dan atribut serupa lainnya, oleh karena itu diwujudkan
dalam cara yang berbeda. Pengakuan terhadap capital manusia yang
diperoleh melalui pendidikan formal diwujudkan dalam bentuk ijazah
pendidikan. Dengan kata lain, ketika seseorang melamar suatu
pekerjaan tertentu, maka ijazah pendidikan formal yang dimiliki
diterima sebagai salah satu persyaratan atau kualifikasi untuk
pekerjaan ini. Bisa saja pengakuan yang diberikan terhadap suatu
ijazah dikaitkan dengan apakah lembaga dimana ijazah tersebut
dikeluarkan terakreditasi sesuai dengan lembaga akreditasi yang
berhak untuk melaksanakannya.
Adapun
pengakuan terhadap capital manusia yang terdapat lewat pendidikan
nonformal ditujuakan oleh penerima terhadap sertifikasi yang
dimiliki. Sertifikasi tersebut dapat dibuktikan dengan pengetahuan
keterampilan, kemampuan atau atribut serupa lainnya dipertontonkan
atau diperlihatkan kepada pemberi kerja.
Sementara
pengakuan terhadap capital manusia yang didapatkan lewat pendidikan
informal biasanya tidak melalui ijazah atau sertifikat yang dimiliki,
tetapi cenderung bersifat informal. Dengan demikian, masyarakat
mengakui seseorang memiliki suatu pengetahuan, keterampilan,
kamampuan ataupun atribut serupa lainnya yang diperlukan oleh
masyarakat seperti kamampuan memijat atau melakukan pengobatan
alternative misalnya ketika mereka langsung merasakannya.
- PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SOSIAL
Konsep
capital social telah banyak dibahas oleh kalangan luas lintas
disiplin ilmu. Oleh karena itu, konsep capital social akan dipahami
melalui pandangan beberapa ilmuan yang dikenal menaruh perhatian
tentang hal ini. Selain itu juga, diperbincangkan beberapa
kontroversi yang berkaitan dengan konsep capital social.
- Pengertian Kapital Sosial
Piere Bourdieu
(1986), mendefinisikan capital social sebagai “sumber daya actual
dan potensial yang dimiliki oleh seorang berasal dari jaringan social
yang terlembaga serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk
perkenalan dan pengakuan timbal balik (keanggotaan dengan kelompok
social) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan
kolektif.”
James Coleman
(2008:268), merumuskan pengertian capital social sebagai,
“seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga dan
dalam organisasi social komunitas serta sangat berguna bagi
pengembangan kognitif dan social seorang anak.” Coleman menambahkan
bahwa capital social merupakan “aspek dari struktur social serta
memfasilitasi tindakan individu dalam struktur social.”
Sementara Alejandro
Portes (1995:12-13), juga seorang sosiolog, membatasi capital social
sebagai “sumber-sumber langka berdasarkan keanggotaan mereka dalam
jaringan atau struktur social yang lebih luas.” Sumber-sumber
langka ini dapat bersifat nyata secara ekonomi seperti potongan harga
atau utang bebas bunga, atau tidak nyata seperti informasi tentang
kondisi bisnis.
Adapun seorang
ilmuan politik Robert Putnam (1999) memberi definisi capital social
adalah sebagai “jaringan, nilai dan kepercayaan yang timbul
diantara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan
kerja sama untuk manfaat bersama.”
Lain lagi definisi
seorang sosiolog lain bernama Jonathan H. Turner (Dasgupta dan
Serageldin, 1999:95) berpendapat bahwa capital social menunjuk kepada
kekuatan yang meningkatkan potensi untuk perkembangan ekonomo dalam
suatu masyarakat dengan menciptakan dan mempertahankan hubungan
social dan pola organisasi social.
Seorang sosiolog
Indonesia yang serius membahas konsep capital social, Robert M.Z.
Lawang (2004) mendefinisikan capital social sebagai semua kekuatan
social komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok
dengan mengacu pada struktur social yang menurut penelitian mereka
dapat tercapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan
efektif dengan capital lainnya.
Adapun Nan Lin
(2001:17) membatasi pengertian capital social sebagai suatu investasi
dalam hubungan social oleh individu-individu melalui mana mereka
memperoleh akses terhadap sumber-sumber terlekat (embedded
resources)
untuk meningkatkan hasil yang diharapkan dari tindakan yang ekspresif
atau instrumental.
Dari berbagai
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa capital social merupakan
investasi social, yang meliputi sumber daya social seperti jaringan,
kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam
struktur hunungan social untuk mencapai tujuan individual dan
kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya.
- Kotroversi Pemahaman Kapital Sosial
Capital social
menurut Coleman (1990) memiliki berbagai bentuk yaitu kewajiban dan
harapan, potensi informasi, norma dan saksi yang efektif, hubungan
otoritas, dan organisasi social yang dapat digunakan secara tepat.
Adapun Pratikno dkk (2001) menemukan, berdasarkan studi literature,
tiga level bentuk capital social, yaitu nilai, institusi, dan
mekanisme. Nilai terdiri dari simpati, rasa berkewajiban, rasa
percaya, resiprositas dan pengakuan timbal-balik. Sementara itu,
intsitusi mencakup keterlibatan umum sebagai warga Negara (civic
engagement),
asosiasi dan jaringan. Adapun, mekanisme meliputi kerja sama ada
sinergi antara kelompok.
Apa yang dikatakan
mengenai capital social tersebut, berbeda terbalik dengan pernyataan
Portes (1995), bukan capital social. Konsep capital social merujuk
pada kemampuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber langka
terhadap permintaan yang memiliki karakteristik sebagai hadiah, sebab
sumber ini tidak diharapkan untuk dibayar dalam sejumlah uang atau
nilai lainnya pada priode masa tersebut. Portes mengajukan tempat
sumber capital social yaitu nilai solidaritas, resiprositas, dan
kepercayaan mendidik anak sampai berhasil sesuai dengan kemampuan.
Mendidik anak itu sendiri bukan merupakan capital social tetapi
sumber dari capital yang berlandaskan dari capital umum dalam
masyarakat. Adapun capital social adalah kemampuan seseorang untuk
mendidik anak sehingga berhasil. Keberhasilan ini pada akhirnya
membuata orang ini pada masa yang akan datang. Menerima sesuatu dari
anak, perlakuan social yang baik dimasa tua misalnya.
Dari dua pendapat
yang berbeda tersebut, dapat ditarik kesimpulaan bahwa investasi
social yang meliputi sumber daya social seperti jaringan,
kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam
struktur hubungan social untuk mencapai tujuan individual dan
kelompok secara efisien dan efektif dengan capital lainnya. Dari
rumusan penulis, secara sederhana, dipahami bahwa capital social
adalah investasi social dalam struktur hubungan social untuk meraih
tujuan yang diharapkan. Rumusan ini mirip dari rumusan sederhana Nan
Lim (2001:6) yang mendefinisikan capital social sebagai investasi
dalam hubungan social dengan hasil yang diharapkan.
Adapun yang
dimaksudkan dengan investasi social disini adalah sumber daya social
seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan
menggerakkan. Capital sebagai investasi social, oleh karena itu
memiliki aspek statis dan dimamis. Dengan kata lain aspek statis dan
dinamis dari capital social bagaikan dua sisi yang berbeda dari mata
uang yang sama. Adapun aspek statis dari capital soaial adalah sumber
daya social, sedangkan aspek dinamisnya adalah kekuatan menggerakkan.
Sumber daya adalah sebagai aspek statis dari capital social dipahami
dalam arti bahwa sumber daya social seperti jaringan kepercayaan,
nilai, dan noerma merupakan capital yang digunakan dalam stuktur
hubungan social. Investasi dapat terjadi jika actor memiliki sumber
tersebut.
Sumber daya dari
capital sosoal meliputi jaringan, kepercayaan, dan norna. Jaringan
merupakan terjemahan dari
network,
yang memiliki dua suku kata yaitu net
dan
work.
Net diterjemahkan
kedalam bahasa sebagai jarring, yaitu tenunan seperti jala, terdiri
dari banyak ikatan antara simpul dan saling terhubung antara satu
sama lain. Adapun kata work
bermakna sebagai kerja. Gabungan kata net
dan
work,
bermakna sebagai kerja, sehingga menjadi network,
yang penekannya terletak pada kerja bukan pada jaringan, dimengerti
sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti
halnya jaringan (net).
Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka jaringan (network),
menurut Lawang (2004:50-51), dimengerti sebagai:
- Ada ikatan antarsimpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan hubungan social. Hubungan social ini diikat denga keparcayaan. Kepercayaan ini dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
- Ada kerja antarasimpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan social menjadi satu kerja sama, bukan kerja bersama-sama.
- Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antarsimpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat mengkap ikan lebih banyak.
- Dalam kerja jarring itu ada ikatan simpul yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jarring itu tidak dapat berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang. Dalam hal ini, analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau orang yang membentuk jarring itu hanya dua
- Media (benang atau kawat ) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan
- Ikatan tau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan di pertahankan.
Adapun soaial yang
sudah dimengerti sebagai suatu yang dikaitkan atau dihubangkan dengan
orang lain atau menunjuk pada makna subjektif yang mempertimbangkan
tingkah laku atau tindakan orang lain yang berkaitan dengan pemaknaan
tersebut.
Dengan
demikian jaringan social merupakan hubungan antara individu yang
memiliki makna subjetif yang berhubungan atau dikaitkan dengan
sesuatu sebagai sipul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor
individu didalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan artara
para aktor ini. Dalam kenyataan, dimungkinkan terdapat banyak jenis
ikatan antara simpul. Jaringan dikatakan sebagai sumber daya capital
social karena dengan kepemilikian “hubungan antar individu yang
memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan suatu
sebagai simpul dan ikatan, maka para actor memiliki suatu capital
yang mampu diinvestasikan dalam suatu struktur hubungan social.
Merujuk pada hasil
napak-tilas konsep kepercayaan yang dilakukan oleh Damsar (1999:
185-186), dikatakan bahwa dalam terminology sosiolagi, konsep
kepercayaan dikenal dengan trust.
Definisi kepercayaan (trust)
dalam
Oxford English Dictionary dijalaskan sebagai confidence
in
yang berarti yakin kepada reliance
on
yang bermakna percaya tas beberapa kualitas atau atribut sesuatu atau
seseorang, atau kebenaran suatu pernyataan.
Torsvik (2000:458),
menyebutkan kepercayaan merupakan “kecendrungan prilaku tertentu
yang dapat mengurangi resiko yang muncul dari prilakunya.” Konsep
kepercayaan yang dikaitkan dengan resiko, juga dikemukakan oleh
Luhmann (1979;1988), sebagai suatu istilah yang hanya muncul pada
zaman modern. Pengertian kepercayaan yang dikaikan dengan resiko
dikritik oleh para teoritisi, salah satunya Giddens (2005).
Menurutnya kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada resiko,
namun kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu mengandung
konotasi ditengah-tengan berbagai akibat yang serba mungkin.dalam
kasus kepercayaan pada agen manusia, dugaan keyakinan akan melibatkan
kebaikan (penghargaan) atau cinta kasih. Itulah yang menyebabkan
kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuansi
bagi individu yang percaya terhadap sandera moral akan keberuntungan
diserahkan. Kepercayaan menurut Giddens (2005:45), didefinisikan
sebagai keyakinan akan reliabilitas seseorang atau sistem, terkait
dengan berbagai hasil atau peristiwa, dimana keyakinan itu
mengespresikan suatu iman (faith)
terhadap integarasi atau cinta kasihorang lain atau terhadap
ketepatan prinsip abstrak (pengetahuan teknis).
Definisi kepercayaan
tidak dikaitkan dengan resiko, juga ditemukan oleh Zucker (1986).
Zucker memberi batasan kepercayaan sebaga seperangkat harapan yang
dimiliki bersama-sama oleg semua yang berada dipertukaran. Hal ini
sama dengan batasa yang diberikan oleh Lawang. Menurutnya kepercayaan
merupakan hubungan antar dua belah pihak atau lebih yang mengandung
harapan yang menguntungkan salh satu pihak atau dua belah pihak
melalui interaksi social. Selanjutnya Lawang menyimpulkan inti konsep
kepercayaan sebagai berikut:
- Hubungan social antara dua orang atau lebih, termasuk dalam hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertian ini diwakili oleh orang.
- Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasi tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
- Interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan ini terwujud.
Dari semua definisi
tersebut, hal ini lebih cocok menggunakan batasan yang diberikan oleh
Giddens. Selain mencakup berbagai fenomena dan peristiwa kepercayaan,
juga memiliki irisan dengan berbagai pendapat teoritisi lain seperti
Zicker dan Lawang.
Adapun nilai yang
dipahami sebagai gagasan mengenai suatu pengalaman berarti, berharga,
bernilai dan pantas atau tidak berarti, tidak berharga, tidak
bernilai, dan tidak pantas. Gagasan seperti ini dikenal sebagai
nilai. Oleh karena itu nilai juga berkaitan dengan ide yang dimiliki
secara bersama tentang suatu itu baik atau buruk, diharapkan atau
tidak diharapkan (William, 1970:27).
Nilai-nilai yang
dapat menjadi sumber capital social banyak. Naming dari sekian banyak
sumber capital social, yang relevan dengan studi sosiologi pendidikan
adalah kepercayaan, resiprositas dan rasa tanggung jawab.
Resiprositas seperti yang distudi oleh Damsar, menunjuk pada gerakan
antar kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan. Hal ini
terjadi apabila hubungan timbal balik antar individu atau kelompok
yang sering dilakukan. Hubungan bersifat simetri terjadi apabila
hubungan antar berbagai pihak (antar individu dengan individu,
individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok) memiliki
posisi dan peranan yang yang relative sama dalam suatu proses
pertukaran. Misalnya dalam masyarakat Bali apabila ada kabar baik
seperti ada orang menikah, mereka harus memberi tahu
kerabat-kerabatnya semua jika ingin dibantu. Sebaliknya jika ada
kabar buruk seperti kematian, tanpa diberi taju mereka pasti akan
datang.
Pada aktivitas
tersebut, berbagai pihak yang terlibat resiprositas memiliki posisi
social yang sama, meskipun diantara mereka memiliki derajat harta
kekayaan dan fungsionaris adat yang berbeda-beda. Posisi dan peranan
sebagai pengundang, tuan rumah atau pemberi dan yang diundang, tamu,
atau penerima dalam kegiatan resiprositas terjadi secara bergilir
silih berganti. Dengan kata lain, siapa saja individu atau kelompok
memiliki aktifitas atau hajat resiprositas dapat mengambil peranan
dan posisi sebagai pengundang, tuan r umah atau pemberi pada suatu
waktu, dan pada waktu lain dia atau mereka dipasisikan sebagai yang
diundang, tamu atau penerima. Hubungan seperti ini terjadi apabila
hubungan berbagai pihak bersifat intim dan akrab. Hal ini ditunjukkan
oleh hubungan personal antara individu yang ada, bukan dalam hubungan
impersonal. Dengan kata lain mereka terlibat dalam aktivitas
resiprositas, saling kenal antara satu dengan yang lain. Dalam
hubungan seperti ini, resiprositas merupakan kewajiban membayar atau
membalas kembali kepada orang atau kelompok lain atas terhadap
pemberian mereka yang dilakukan dalam tindakan nyata mebalas kembali
kepada orang atau kelompok lain.
Dari berbagai
keputusan yang ada tentang resiprositas dapat disimpulkan terdapat
dua jenis resiprositas yaitu resiprositas sebagding (balanced
reciprocity)dan
resiprositas umum (generalized
reciprocity).
Resiprositas sebanding merupakan kewajiban membalas kembali kepada
orang atao kelompok lain atas pemberian mereka yang dilakukan secara
setara, sering kali, lansung, danterjadwal. Resiprositas sebanding
menekankan pada yang diterima oleh seseorang atau kelompok pada masa
lampau haruslah setara dengan yang sudah diberikan kepada orang atau
kelompok pemberi. Sifat langsung ditunjukkan dengan siapa memberikan
apa, kepada siapa, dan akan menerima apa, dari siapa. Adapun sifat
terjadwal menunjuk pada kepastian seseorang kapan akan memperoleh
pembayaran atau pembalasan atas pemberian atau kegiatan yang telah
dilakukan sebelumnya.
Adapun resiprositas
umum merupakan kewajiban memberi atau membantu orang atu kelompok
lain tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran, atau balasan yang
setaradan langsung. Berbeda dengan resiprositas berbanding,
resiprositas umum tidak menggunakan kesepakatan terbuka atau langung
antara pihak-pihak terlibat. Ada harapan bersifat umum (general)
bahwa pengembalian setara atau utang ini akan tiba pada saatnya,
tetapi tidak ada batas waktu tertentu pengembalian, juga tidak ada
spesifikasi mengenai bagaimana pengembalian ini dilakukan. Istilah
pengembalian dalam resiprositas umum sangat samar (sanderson:2003:
118). Dalam masyarakat etnik di Indonesia terdapat berbagi kearifan
local yang mengandung nilai dan norma yang menyuruh orang untuk
berbuat baik kepada semua orang tanpa menegaskan bentuk dan waktu
pengembaliannya, misalnya: “berbuat baik berpada-pada
(berhati-hati) berbuat jahat jangan sekali” manusia mati
meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belang, nan kurik kundi
nan merah saga, nan baik budi nan indah basa, utang emas dapat
dibayar, utang budi di bawa mati..
Adapun
nilai tanggungjawab merupakan salah satu nilai yag diagungkan dalam
banyak masyarakat dunia. Dalam dunia melayu dikenal pepatah “tangan
mencencang, bahu memikul” pepatah ini bermakna bahwa siapa yang
melakukan suatu perbuatan atau aktifitas dia yang harus
mempertanggungjawabkannya. Norma sebagai sumberdaya social terakhir,
dipahami sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku
seseorang. Norma memberikan kita suatu cara di mana kita dalam
mengorientasikan diri kita terhadap orang lain. Norma menuntun kita
dalam melakukan definisib situasi. Norma, oleh karena itu menjadi
kompas dalam menemukan jalan-jalan dibelantara kehidupan social.
Sullivan dan Thompson (1984:39-41) membagi norma atas tiga macam:
kebiasaan (folksways),
tata kelakuan (mores),
dan Hukum (law).
Kebiasaan adalah cara-cara yang lazim, wajar dan berulang dilakukan
oleh sekelompok orang terhadap sesuatu. Dalam berjabat tangan
misalnya kebiasan di Jepang diiringi dengan membungkukkan badan
sedangkan di Indonesia dengan badan tegak. Horton dan Hunt membagi
kebiasaan menjadi dua golongan : (1) hal-hal yang seharusnya diikuti
sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus
diikuti karena yakin kebiasaan ini penting untuk menyejahterakan
masyarakat (1984:60). Horton dan Hunt menegaskan bahwa apabila
kebiasaan ini dikaitkan dengan gagasan tentang salah dan benar, maka
ia dipandang sebagai tata kelakuan. Dengan demikian tata kelakuan
merupakan gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut
tindakan tertentu dan melarang yang lain. Ini berarti adat istiadat/
tata kelakuan berkaitan erat dengan moral. Berbagai tabu dan
pantangan yang terdapat dalam masyarakat adlah bentuk dari tata
kelakuan. Apabila tata kelakuan diformalkan dan dikodefikasikan
dengan penerapan sanksi dan hukuman oleh otoritas pemerintah, maka ia
dipandag sebagai hukum.
Dalam
konsep pembahasan capital social, norma tidak dapat dilepaskan dengan
jaringan, kepercayaan, dan nilai. Dengan menggunakan pertukaran,
karena manusia adalah mahluk yang rasional yaitu mempertimbangkan
untung rugi baik dalam dimensi instrinsik maupun ekstrinsik, jika
suatu pertukaran mendapatkan suatu keuntungan, maka akan muncul
peryukaran selanjutnya, yang diharapkan mendapatkan keuntungan pula.
Jika beberapa kali pertukaran berlangsung memperoleh keuntungan, maka
muncullah norma sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku
seseorang, yaitu suatu pertukaran menguntungkan para pihak yang
terlibat. Resiprositas yang dimiliki norma mengandung hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat dalam pertukaran. Dengan kata
lain, semua pihak harus memiliki tanggung jawab menjaga norma yang
terbentuk dalam suatu pertukaran, jika ada orang yang melanggar yang
berdampak pada berkurangnya keuntungan para pihak yang terlibat
diberi sanski atau hukuman yang berat. Apabila pertukaran ini
berlangsung terus menerus dan lama, maka ia akan mengkritalkan siatu
jaringan hubungan social yang di dalamnya mengandung suatu
kepercayaan bahwa para pihak yang terlibat pertukaran akan memperoleh
keuntungan yang merata. Hal itulah yang memunculkan norma keadilan.
Jika ia dilanggar akan memperoleh sanksi atau hukuman yang berat
pula.
Adapun kekuatan
menggerakkan sebagai aspek dinamis dari capital social dipahami dalam
arti bahwa capital social sebagai investasi dapat membesar, mengecil,
tetap atau bahkan menghilang dalam suatu struktur hubungan social.
Pemahaman ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh portes dengan
capital social sebagai kemmpuan individu untuk memobilisasi
sumber-sumber langka. Kemampuan individu untuk memobilisasi
sumber-sumber langka menurut Portes ini dapat dipahami dengan
penggunaan “kekuatan menggerakkan” oleh actor dalam aktivitas
investasi social pada suatu struktur hubungan social. Segala sumber
daya social (jaringan, kepercayaan,nilai dan norma) yang dimiliki ini
mengandung kekuatan menggerakkan investasi social untuk menjadi lebih
besar atau lebih kecil. Kekuatan menggerakkan ini tampak pada saat
capital social tersebut digunakan dalam suatu struktur hubungan
social. Penampakannya terlihat dari sejauh mana investasi social yang
telah ditanam mampu mencapai tujuan individual dan/ atau kelompok
secara efesien dan efektif dengan capital lainnya.
- Kenapa Pendidikan Sebagai Capital Social ?
Mengikuti pendidikan
formaldan informal, seseorang dapat mempeoleh segala sumbr daya
social seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Terutama dalam
pendidikan formal, ketika seseorang menyelesaikan studi disuatu
tingkatan pendidikan (SD sampai Perguruan Tinggi), segera dia
memperoleh predikat sebagai alumni darisuatu lembaga pendidikan
formal dimana tempat ia belajar. Sumber daya social sebagai alumni
dari suatu lembaga pendidikan formal, bila mampu mengolahnya menjadi
suatu jaringan social sesama alumni, maka ia akan menjadi capital
social. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, betapa fungsionalnya
jaringan alumni sebagai sumber daya social seseorang dalam
menumbuhkembangkan capital social. Perguruan tinggi ternama seperti
universitas Gadjah Mada,Universitas Indonesia, Institut teknologi
Bandung dan institute petanian Bogor mampu secara efektif membuat
jaringan alumni sebagai capital social bagi para anggotanya.
Perguruan tinggi ini ditengarai menguasaikementerian tertentu yang
diperlihatkan dari dominasi alumni mereka pada jabatan strategis
tertentu dan jumlah alumni mereka yang bekerja pada kementrian
tersebut.
Kpital social yang
diolah dari sumber jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang
tersebut mampu pula mencipakan suatu derajat kepercayaan antara dia
dan para alumni lainnya. Selain itu ketika dia masih sebagai (maha)
siswa, dia juga memperoleh nilai dan norma tertentu, biasanya nilai
dan norma tentang kerja keras, jujur, santun, dan lainnya yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila kesemua sumber daya
social tersebut mampu diolah oleh snag alumni ini dengan baik, maka
capital social yang dimilikiakan semakin kuat.
Sumber daya social
yang diperoleh dari lembaga pendidikan informal tampaknya kurang
banyak didapatkan dibandingkan seseorang dari pendidikan formal.
Meskipun demikian, sumber daya social yang diperoleh pada pendidikan
informal dapat diolah menjaddi capital social.
- PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL BUDAYA
Dalam kajian
sosiologi tetang capital, pierre Bourdieu dikenal sebagai tokoh
terkemuka dalam studi tentang capital budaya, meskipun pandangan
Bourdieu sukar untuk dijelaskan, namun ada beberapa pandangannya
dapat dirangkaikan menjadi suatu pemahaman keseluruhan tentang
capital budaya.
- Pengertian Kapital Budaya
Dalam suatu sisi,
Bourdieu mendefinisikan capital budaya, seperti dikutip Mahar dkk
(2005:16) sebagai selera bernilai budaya dan pola konsumsi. Capital
budaya, oleh karena itu, lanjut Mahar dkk, mencakup rentangan luas
property seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa. Disisi
lain Bourdieu menurut Ritzer dan Goodman (2004: 525) menjelaakan
batasan capital budaya sebagai berbagai pengetahuan yang sah.definisi
seperti itu sama dengan pemaham yang dimiliki oleh jeckins (2004:125)
berrbeda dengan pemahaman Mahar dkk Ritzer dan Goodman serta
Jenkins,Lury (1998) melihat Bourdieu membatasi capital budaya sebagai
capital pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat
pembedaan atau penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk
“seni” atau “bukan seni”. Penjelasan detail batasa Bourdieu
tentang capital budaya ditulis oleh lee (2006:58), capital budaya
didefinisikan sebagai kepemilikan kompetensi cultural tertentu, atau
seperangkat pengetahuan cultural yang menyediakan bentuk konsumsi
cultural yang dibedakan secara khusus dan klassifikasi rumit dari
barang-barang cultural dan simbolis.
Dari beberapa
definisi diatas, maka dapat diseimpulkan bahwa capital budaya
merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan cultural yang
menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang
dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Berdasarkan batasan
sperti ini, maka reproduksi social, yaitu pemeliharaan pengetahuan
dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya,
“dipertahankan” melalui sistem pendidikan:
“ sistem
pendidikan, suatu pengkelasan terlembaga yang dirinya sendiri,
merupakan sebuah sistem klasifikasi uang terobjektifkasi yang
memproduksi hierarki dunia sosal dalam bentuk yang tertransformasi. …
Mentransfomasi klasifikasi social menjadi klasifikasi akademis dengan
segala tampilan netralitasnya, dan memapankan hierarki yang tidak
alami sebagai hierarki semata-mata teknis-dan karenanya bersifat
memihak dan berat sebelah-namun sebagai hierarki mutlak, yang teranam
dalam alam, sehingga nilai social lalu diidentifikasikan dengan nilai
‘’personal’’ martabat sekolah dengan martabat manusiawi.
“budaya” yang diasumsikan terjamin oleh kualifikasi pendidikan
itu merupakan salah satu komponen dasar dalam kebanyakan definisin
mengenai manusia unggul, sehingga tiadaaanya hal dasar ini dipersepsi
sebagai rintangan hakiki, yang menghilangkan identitas seseorang dan
martabat manusiawi, yang menghukumnya untuk bungkam dalam setiap
situasi resmi, ketika ia harus “muncul di public”
mempresentasikan dirinya di hadapan yang lain dengan tubuh, sikap dan
bahasanya.
Menurut Lawang
(2004: 16-18), Bourdieu menjelaskan kapital budaya dalam tiga dimensi
: yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam
bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia, dan
institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia
dari kapital budaya adalah embodied
state,
yaitu keadaan yang membadan, atau keadaan yang terwujud dalam badan
manusia, atau yang menyatu seluruhnya dengan manusia sebagai satu
kesatuan. Sementara dimensi objek dari kapital budaya, dikenal
sebagai objectified
state,
yaitu suatu keadaan yang sudah dibedakan atau dijadikan objek oleh
manusia. Adapun dimensi institusional dari kapital budaya merupakan
suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entitas yang
sama sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dengan system
pendidikan. Dengan demikian, kapital budaya menunjuk pada keadaan
yang berwujud potensial, bagi seseorang yang dapat diuangkan atau
dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Mungkin
masih belum terlalu paham tentang kapital budaya dari pandangan
Bourdieu ? untuk memantapkan pemahaman, perlu kiranya dijelaskan
dengan mengaitkan konsep kapital budaya dengan beberapa konsep lain
dari Bourdieu seperti ranah (field)
dan habitus. Ranah adalah jaringan anatar posisi objektif. Posisi
berbagai agen (individu atau kolektif) dalam ranah berkait dengan
jumlah kapital yang dipunyai, terutama kapital ekonomi dan budaya.
Kapital ekonomi berupa harta kekayaan material, sedangkan kapital
budaya berupa modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk
membuat pembedaan atau penaksiran nilai, terutama berasal dari
pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin elite
institusi pendidikan yang diikuti, maka semakin besar simpanan
kapital budaya orang tersebut. Berdasarkan perbedaan kapital ini,
maka seseorang dapat dimasukkan kedalam salah satu dari empat
kelompok social :
- Tinggi baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
- Tinggi dalam kapital ekonomi, rendah dalam kapital budaya.
- Rendah dalam kapital ekonomi, tinggi dalam kapital budaya.
- Rendah baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
Adapun habitus
merupakan “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor
untuk mengarungi kehidupan social. Ia sebagai suatu system disposisi,
sebuah system yang mengatur kapasitas individu untuk bertindak.
Bourdieu menulis (1984: 170) : ”habitus adalah keniscayaan yang
diinternalisasikan dan dialihkan kedalam disposisi yang melahirkan
praktik bermakna dan persepsi yang memberikan makna; habitus adalah
disposisi umum dan dapat digerakkan yang mengandung aplikasi
universal dan sistematis di luar batas hal-hal yang telah dipelajari
secara langsung terhadap keniscayaan yang inheren dalam
kondisi-kondisi belajar”.
Pengertian habitus
dari buku Distinction,
mungkin agak sukar dipahami. Untuk itu berikut ini ditampilkan
batasan habitus dari buku Outline
of a Theory of Practice
(1977: 83), yaitu : “sebuah system disposisi yang kekal dan
berpindah-pindah, yang mengintregasikan pengalaman masa lalu,
berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi,
apresiasi, dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai
tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema
analogis yang memungkin solusi masalah yang nyaris serupa.” Jadi,
agen membuat persepsi, menyatakan apresiasi dan melakukan tindakan
mempertimbangkan matriks yang disediakan oleh habitus.
Habitus tidak
sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompetensi atau rasa gaya,
tetapi juga dijelmakan secara harfiah. Artinya, hal ini ditanamkan
dalam diri individu,dalam ukuran tubuh, bentuk, postur, cara
berjalan, cara duduk, ekspresi wajah, rasa bebas terhadap tubuh
sendiri, cara makan, minum, keluasan ruang social dan waktu yang
dirasakan seseorang sebagai haknya; bahkan naik turun tekanan suara,
akses dan kompleksitas pola pidato merupakan habitus individu (
Lury,1998).
Bagi Bourdieu,
selera dibentuk habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh
opini dangkal dan retorika. Habitus membentuk preferensi agen
terhadap makanan, pakaian, prabotan rumah, music, drama, sastra,
lukisan, film, fotografi, dan prefrensi etis lainnya.
Jadi, habitus ada
dalam pikiran aktor, sedangkan ranah ada di luar pikiran mereka.
Hubungan antara keduanya bersifat pengaruh timbale balik yang
dialektik. Seperti yang dikatakan Bourdieu (1984: 94) : “habitus
yang mantap hanya terbentuk, berfungsi dan sah dalam sebuah ranah,
dalam hubungannya dalam suatu ranah… habitus itu senditi adalah
“ranah dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana
kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu.
Inilah yang menyebabkan habitus yang sama mendapat makna dan nilai
yang berlawanan dalam ranah yang berbeda, dalam konfigurasi yang
berbeda atau dalam sector yang berlawanan dari ranah yang sama.”
2.
Kenapa Pendidikan Sebagai Kapital Budaya
Kapital budaya,
seperti disimpulkan di atas, merupakan kepemilikan kompetensi atau
pengetahuan cultural yang menuntun selera bernilai budaya dan
pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk
kualifikasi pendidikan. Dari pengertian tentang kapital budaya dan
penjelasannya tampak jelas bahwa pendidikan memberikan seseorang
modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat
pembedaan atau penafsiran nilai. Nilai sopan santun, malu, kerja
keras, kejujuran, kepercayaan, dan lainnya dibentuk, diperkuat, dan
dipertahankan melalui, terutama, pendidikan formal. Hal itu tampak
bagaimana nilai dan norma yang disosialisasikan oleh guru pada
pendidikan dasar, terutama taman kanak-kanak dan sekolah dasar, mampu
menjadi rujukan berpikir, bersikap, dan berprilaku peserta didik.
Nilai dan norma inilah, biasanya berasal dari kelas menengah atas,
menjadi Mainstream
dalam
kehidupan bermasyarakat. Mari kita pahami dengan suatu contoh. Kenapa
sarungan (memakai sarung) dipandang tidak pantas, sopan dan elok
untuk dipakai ketempat kerja ? bukankah ketika Haju Agus Salim pernah
memakai sarungan dalam suatu sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada saat zaman revolusi kemerdekaan dahulu ? Pendidikanlah yang
membuat kita berpikir, bersikap, bertindak, dan berprilaku seperti
itu.
Pendidikan membentuk
kompetensi dan pengetahuan kultural seseorang. Kompetensi dan
pengetahuan kultural tersebut memberikan seseorang preferensi dalam
berpikir, bersikap, bertindak, dan berprrilaku dalam bahasa,
nilai-nilai, asumsi-asumsi, dan model-model tentang keberhasilan dan
kegagalan, cantik dan jelek, indah dan buruk, sehat dan sakit, sopan
dan asalan.
2.5
PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL SIMBOLIK
Seperti
halnya kapital budaya, Bourdieu dipandang sebagai peneruka dalam
studi tentang capital simbolik. Oleh sebab itu, pandangan Bourdieu
tentang capital simbolik perlu memperoleh kohormatan untuk dibahas
dalam bagian ini.
- Pengertian Kapital Simbolik
Apa itu kapital
simbolik menurut Bourdieu? Dalam pandangan Bourdieu (1977: 183),
capital simbolik merupakan suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang
telah mengalami transformasi dan karenanya telah tersamarkan,
menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa
ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital ‘material’ yang adalah,
pada hakekatnya, sumber efek-efeknya juga.
Definisi kapital
simbolik dari Bourdieu yang dijelaskan di atas memang agak sukar
dipahami, jika tidak mengaitkannya dengan jenis kapital lainnya. Oleh
sebab itu, Turner, misalnya melihat kapital simbolik sebagai
‘penggunaan symbol-simbol untuk melegitimasi pemilikan berbagai
tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk kapital lainnya (yaitu kapital
ekonomi, social dan budaya)’. Adapun Lee (2006: 58) mencoba
melukiskan hubungan antara kapital simbolik dan kapital lainnya
melalui proposisi berikut : “semakin besar kepemilikan dan
investasi modal pendidikan dan kultural, semakin artikulatif dank has
bentuk konsumsi kultural yang dilakukan, dan dengan demikian semakin
besar pula hasil modal simbolis yang dapat diperoleh.”
- PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL MANUSIA DI ERA GLOBALISASI
Peranan pendidikan
dalam kehidupan adalah sangat penting karena di era globalisasi
sekarang ini dunia kerja menuntut sumber daya manusia yang bermutu
dan berkualitas oleh karena itu dunia pendidikan mau tidak mau harus
dapat menciptakan wadah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam
bentuk pelatihan-pelatihan tenaga kerja yang terampil.
Human capital
(Kapital Manusia) bukanlah memposisikan manusia sebagai modal
layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin,
sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini
semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil
keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan
menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan).
Telah banyak sumber
dan pakar ekonomi pendidikan mengatakan bahwa pendidikan memberi
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Berbagai kajian akadernis
dan kajian empiris telah membuktikan hal ini. Pendidikan bukan saja
akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas (memiliki
pengetahuan dan keterampilan serta· menguasai teknologi) tetapi juga
dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi.
Salah satu ciri
Negara maju adalah tingginya tingkat pendidikan dan penguasaan
teknologi oleh karena itu pendidikan sangat di tekankan untuk
meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia seperti adanya
pelatihan skill,ketrampilan dan pengetahuan tentang dunia usaha agar
menciptakan sumber daya manusia yang berdaya
saing,kompeten,kreatif,berwawasan luas dan mempunyai integritas
tinggi yang dibutuhkan oleh berbagai sektor usaha baik sektor
industri dan lainnya.
Oleh karena itu
keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga
kerja sangat dipengahuri oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan
yang dimiliki masing-masing individu. Maka dari itu diperlukannya
usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia
yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan
internasional karena dunia kerja sangat menunutut untuk memperoleh
sumber daya manusia yang bervarietas tinggi.
BAB
III
PENUTUP
- Simpulan
Capital manusia
diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka
keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan
cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk
materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, diwujudkan
dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari individu. Capital
fisik memudahkan aktivitas produktif, begitu juga capital manusia
Kapital
social adalah investasi social yang meliputi sumber daya social
seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan
menggerakkan, dalam struktur hubungan social untuk mencapai tujuan
individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif dengan
capital lainnya.
Dari
pendapat beberapa ahli mengenai capital budaya, dapat disimpulkan
bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau
pengetahuan culture yang menuntun selera bernilai budaya dan
pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk
kualifikasi pendidikan.
Pendidikan
memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua
capital yang ada(capital manusia,social,budaya, dan simbolik), selain
sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen
hegemoni dalam capital budaya dan capital simbolik. Dengan demikian
pendidikan menjadi simpul dari pertemuan semua capital yang ada.
Jadi perlu kita
sadari bahwa pentingnya peranan pendidikan sebagai Human Capital
karena modal manusia untuk tetap hidup bukan hanya ditentukan oleh
modal yang berupa materi saja akan tetapi pendidikan dibutuhkan untuk
jembatan menuju manusia yang berwawasan luas.berdedikasi tinggi dan
mempunyai skill yang mumpuni untuk menghadapi tantangan global saat
ini Dunia usaha pada masa sekarang ini telah banyak menuntut manusia
yang mempunyai skill yang spesifik untuk turut andil pada peningkatan
produksi,oleh karena itu pendidikan dituntut untuk dapat menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas,berdaya saing serta menpunyai
keahlian dan ketrampilan.
Dalam hal ini
Pendidikan bukan hanya Pendidikan formal seperti SD,SLTP.SMA dan
Perguruan Tinggi akan tetapi termasuk Pendidikan latihan seperti
Training Centre, kursus, Balai latihan khusus dll.
James S. Colemen
(2008:373), menunjukan bahwa sebagaimana kapital fisik yang di
ciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan
produksi, kapital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan
memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka
bertindak dengan cara-cara yang baru. Perbedaan kapital fisik dengan
kapital manusia dapat kita lihat dalam wujudnya. Kapital fisik itu
berwujud sedangkan kapital manusia tidak berwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar