Minggu, 12 Januari 2014

sadripu



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam ajaran agama Hindu ada di kenal tiga kerangka dasar dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama hindu. Adapun bagian dari tiga kerangka/ tiga unsure dasar agama hindu, antara lain: 1. Tatwa/darsana/ filsafat (Philosophy): 2. Tata Susila/Etika (etics), dan 3. Upacara/ Acara Agama (Ritual). Ketiga kerangka dasar tersebut memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Jika unsure tatwanya telah dipahami, maka unsure susilanyapun mesti dipahami pula, sehingga dalam pelaksanaan upacaranya tidak mengalami ketimpangan.
Dalam pelaksanaan upacara agama hindu, maka nama upacara atau jenis upacara agama yang dilakukan idealnya bahwa setiap umat hindu telah memahami makna upacara yang dikandungnya, juga bagaimana tata aturannya, sehingga pelaksanaan yadnya itu dapat berlangsung dengan tertib dan lancar. Setidaknya bahwa makna kesucian, ketulusan,penyatuan, kebersamaan, kemuliaan, ketentraman, keseimbangan, dan yang lainnya tetap dipahami dengan baik. Tidak lantas setelah upacara agama itu sudah terlaksana beberapa tahapan, menimbulkan kesalahpahaman atau menimbulkan pertentangan yang sepele dalam pelaksanaannya, yang akhirnya menimbulkan konflik social yang lebih luas. Jika terjadi keyataan seperti itu, mesti umat hindu tetap dapat mengendalikan diri dan mawas diri, demi untuk tercapainya tujuan utama dari upacara agama itu sendiri.


1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Mytology Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi?
1.2.2 Pengertian Uapacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi?
1.2.3 Bagaimana Rumusan serta pemaparan Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi dalam Agama Hindu?
1.3 Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami makna yang terkandung dalam Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi itu sendiri serta dapat mengimplementasikan dalam kehidupan beragama terutama dalam umat hindu.



BAB II
PEMBAHASAN



1.2.1 Mytologi Upacara Potong Gigi
1.3.1. Kelahiran Bhatara Kala
Dalam mytologi sivagama diceritakan Bhattara siwa menikmati perjalanan bersama Dewi Uma terbang di udara di atas samudra perjalanan tersebut semata-mata untuk melihat-lihat keindahan alam ciptaanNya sambil bersantai-santai bersama Dewi Uma. Di ceritakan kain Dewi Uma tersingkap sedikit oleh angin yang berhembus kencang. Dengan tersingkapnya kain yang dipakai oleh dewi uma maka kelihatanlah sedikit paha mulus Dewi Uma. Kejadian itu menyebabkan Bhattara Siva menjadi sedikit terkesima. Karena terkesima keluarlah Kama Petak Bhattara Siwa dan jatuh di samudra. Kama Petak Bhattara siwa yang jatuh di samudra itu dipelihara oleh dewa Bharuna di laut. Setelah beberapa lama Kama Petak itu Lahir menjadi Bhattara Kala. Wujud Bhattara kala tinggi besar berbentuk raksasa.Bhattara Kala terus ke darat untuk menanyakan siapa sesungguhya orang tuanya. Ternyata di darat tidak ada seorang pun yang mengetahui orang tuanya, kalau tidak dapat menjawab pertanyaannya terus dibunuhnya. Para rajapun ditanya oleh Bhattara kala. Setiap raja yang tidak dapat menjawab juga dibunuhnya. Kemarahan bhattara Kala semakin menjadi-jadi, karena di bumi ini tidak ada yang dapat menjelaskan siapa yang mengetahui orang tuanya maka Bhattara Kalapun sampai bertanya ke sorga Loka. Di sorga Loka itupun diperangi oleh Bhattara Kala. Sorga Loka menjadi heboh dan geger karena ngamuknya Bhattara Kala. Bhattara kala memang sangat tangguh dalam setiap peperangan. Tidak ada senjata yang dapat melukai Bhattara kala. Akhirnya Bhattara kala berhadapan dengan Bhattara siwa. Bhattara Kala menanyakan kepada Bhattara Siwa siapa sesungguhnya ayah dan ibunya. Bhattara siwa memberitahu Bhattara kala agar Bhattara Kala memotong terlebih dahulu taringnya yang tajam. Kalau taring yang tajam itu sudah hilang atau datar maka secara otomatis Bhattara Kala akan bertemu dengan siapa yang menciptakannya. Nasehat Bhattara Siwa diikuti oleh Bhattara Kala. Setelah Bhattara kala memotong taringnya yang lancip itu Bhattara Kalapun dengan penciptanya sendiri. Teryata yang menjadi ibu dan ayah sebagai penciptanya adala Dewi Uma dengan Bhattara Siwa sendiri. Ketika Bhttara Kala mengetahui bahwa yang menciptakan dirinya adalah Bhattara Siwa dengan Dewi Uma barulah Bhattara kala berdatang sembah kepada Bhattara Siwa dan Dewi Uma. Dengan Bertemunya Bhattara Kala dengan Bhattara Siwa sebagai penciptanya maka redalah marahnya Bhattara kala.
1.3.2. Taring Ganesha Patah
Pada suatu hari raksasa bernama Nilarudraka bertapa memuja Siwa dan bertujuan memohon kesaktian. Begitu khusuknya sang Raksasa bertapa, para dewa menjadi ketakutan, maka dikirimlah bidadari menggoda sang raksasa dan berbagai godaan dilakukan untuk membatalkan tapa Sang Raksasa, tapi hal itu tak mematahkan semangat raksasa Nilarudraka, sehigga berkat kekusukan tpanya akhirnya dia mendapat anugrah seperti yang diharapkan.
Setelah mendapat anugrah kesaktian, raksasa Nilarudraka menjadi sombong dan menghancurkan segala sesuatau yang dianggap sebagai musuh. Banyak korban telah mati di tangannya, kekuasaan kaum raksasa semakin meluas dan seluruh kerajaan tunduk terhadap Nilarudraka. Kesombongan kemarahan dan gila kekuasaan semakin merajalela, Nilarudraka belum merasa puas dengan apa yang di dapatkannya, akhirnya nilarudraka mengumpulkan seluruh raksasa menyerang sorga dan berkeinginan menguasai sorga tempat para dewa.
Mendengar sorga akan diserang oleh raksasa yang dipimpin oleh Nilarudraka, dewa Indra sebagai dewa tertiggi mengumpulkan kekuatan untuk menyelamatkan sorga. Tiba waktunya rakasasa Nilarudraka menyerang sorga dan bertempur degan para dewa . Pertarungan sangat hebat, dunia bergetar, sehingga menghancurkan alam semesta. Kekuatan raksasa terus mendesak sorga, sehingga dewa Indra menjadi terpojok kemudian beliau bersama para dewa lainnya, pergi meninggalkan sorga untuk bertemu dengan dewa Siwa kepuncak Gunung Khailasa.
Mendengar penjelasan dewa Indra tentang keadaan sorga yang diserang Raksasa Nlarudraka, maka dewa siva akan membantu para dewa, sebab yang dapat mengalahkan Raksasa Nilarudraka adalah putra dari dewa siva, dnegan kekuatan jananya, manusia berkepala gajah yang memiliki kekuatan yang sangat hebat. Kehadiran Ganesha membuat para dewa menjadi tenang. Pada suatu ketika dewa siva seddang bermeditasi di puncak gunung hailasa, kemudian beliau di datangi parasurama. Kedatangan parasurama bertemu dengan dewa siva di halangi oleh Ganesha, karena dewa siva sedang bermeditasi, sehingga beliau tidak bisa diganggu., maka terjadilah perdebatan dan berakhir dengan peperangan, dalam peperagan tersebut kapak parasurama menjadi tarring Ganesha, sehingga taring ganesha menjadi patah, melihat kejadian itu dewi parvati sangat marah dan hampir mengutuk parasurama, namun para dewa membujuk dewi parvati dengan mengatakan patahan taring ganesha tersebut, kelak akan dipuja oleh para dewa dan taring yang patah tersebut dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka.
Berdasarkan mytologi diatas patahnya taring ganesha dan kalahnya raksasa Nilarudraka merupakan symbol filosofis Upacara PotongGigi, yaitu patahnya taring ganesha pada waktu remaja merupakan symbol kedewasaan atau symbol perubahan status dari masa kanak-kanak menjadi remaja yang di sebut dengan masa akil balik. Sedangkan patahan taring ganesha mengalahkan raksasa merupakan symbol perubahan pola pikir remaja dari tidak tahu apa-apa di masa anak-anak menuju pendewasaan diri engan mengedalikan atau megalahkan sifat-sifat raksasa dalam diri manusia atau sering disebut dengan Sad Ripu, dengan pengimplementasian ajaran tRi kaya Parisudha, yaitu mampu mengendalikan pikiran kea rah positif, berbuat sesuai dengan ajaran agama dan berkata yang benar sesuai dengan etika yang belaku yang dimlai sejak remaja untuk menghadapi kehhidupan masa depan. Sebab pada masa remaja yang sedang mancari jati diri, tentunya memiliki rasa ingin tahu yag besar. Oleh karena itu masa pencarian jati diri ini dimulai sejak dilaksanakanya upacara potong gigi, dengan upacara ini remaja menjadi tahu bahwa dirinya bukan lagi anak-anak, melainkan menjadi orang yang tumbuh dewasa, bahka disaksikan oleh Tri Upasaksi yaitu dewa saksi, manusia saksi dan bhuta saksi sehingga secara psikologis remaja tersebut dengan sendirinya mengetahui bahwa dirinya telah tumbuh dewasa yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

1.2.2 Arti mepandes atau upacara Potong Gigi
Bila disebutkan mepandes, yaitu saat mengawali ritual potong gigi dimana mangku sangging akan melaksanakan memahat gigi si anak yaitu empat gigi seri dan dua gigi taring bagian atas dan secara simbolis, selanjutnya dilakukan pemotongan gigi (mengasahnya) dengan mempergunakan kikir. Dalam bahasa bali disebutkan dengan istilah “Nandes” dengan mendapatkan awalan “me” menjadi mepandes. Nandes disini sama artinya dengan Tekanan atau menekan (menekankan) sehingga menjadi mepandes yaitu menekankan. Bukan hanya mnekan akan tetapi di lanjutkan dengan mengasahnya sehingga menjadi rata dan rapi. Sebab ada kemungkinan gigi sebelahnya dalam keadaan pendek, bykannya lantas harus sama.
Mepandes atau lazim disebutkan mepandes dan atau potong gigi, di masyarakat telah dilaksanakan secara kontiyu setiap ada putra-putrinya yang telah cukup umuruntuk hal itu.
Bila anak sudah dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan energik. Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih memberikan kesempatan Sad Ripu menggoda diri manusia.bila terjadi kemungkinan di atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku seseorang yang mana dapat menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena itu dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan pengaruh Sad Ripu dalam diri anak.
Pelaksanaan upacara metatah ini dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran simbolis gigi pada rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri dari empat gigi seri, dan dua buah taring. Pada enam buah gigi itu, ujung geriginya sebagi lambang pengaruh adharma ditatah, agar terbentuk ujung gigi yang rata lambang dharma.Jadi diharapkan dharma tetap mengendalikan hiodup seseorang anak yang telah ditatah itu.Inilah dalam masyarakat dilkatakan “ngedasang daki”.Artinya membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain kekuatan Sad Ripu agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak mencerminkan budi luhur.

Konsep Upacara Potong Gigi
Dalam suatu penelitian yang ada dan telah dilakukan oleh para akhli disebutkan bahwa dengan penemuan kerangka tulang manusia purba terdahulu, dimana ditemukannya gigi-gigi telah dalam keadaan rata seolah-olah terasah rapi. Hal ini ada kemungkinan pula ritual potong gigi telah ada sejak zaman dahulu (baca:purba) Hal ini disebutkan pada penggalian fosil-fosil manusia purba yang diketemukan di gilimanuk yang diperkirakan berumur 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistim penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang telah terasah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah dikenalkan dipulau bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.
Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah didaerah kepulauan polinesia, Asia tengah dan asia tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara korban kepada nenek moyang, penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban dalam agama, adalah tapa dan brata. Jadi potong dan melobangi daun telinga ini dimana menurut G.A Wilken dianggap sebagai korban kepada roh nenek moyang bagi orang primitive kini mempunyai arti perubahan status dan penyucian dalam agama hindu di bali.

Makna Filosofis dari Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi

Pada Upacara potong gigi yang digosok atau diratakan dari kikir berjumlah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu.
Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musih. Jadi sad ripu adalah enam musuh. Musuh yang di maksud adalah musuh yang berasal atau bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana tercantum dalam kekawin Ramayana, Bab 1 (Wirama Sronca) bait 4 sebagai berikut:

Ragadi musuh mapareng
Rihati ya tongwanya tan madoh riawak
Yeka tan hana ri sira
Prawira wihikan sireng niti”

Artinya:
Keinginan (kama) dan semua jenis musuh yang terdekat di dalam hati (pikiran) tempatnya tidak jauh dari badan sendiri.

Yang semacam itu tidak ada dalam diri beliau (Dasarata) Sifat ksatria yang dimilikinya, serta pintar dalam menjalankan pemerintahannya. Sesungguhnya Sad Ripu tersebut bibitnya telah terbawa bersamaan dengan karma wasana sejak kelahiran. Demikian pula dengan Sad Ripu akan selalu muncul akibat perpaduan dari Tri Guna, terutama atara sifat rajas dan tamas, hal inipun akibat rangsangan dari benda-benda dan pengaruh lingkungan hidupnya. Maka wiweka-pengetahuan disertai dengan sifat satwamlah sebagai pengendalinya. Perpaduan rajas dan tamas sebagai perangsang munculnya Sad Ripu yang tak bisa diredam dengan satwan dan dharma akan menghasilkan asubha karma ( perbuatan buruk), namun sebaliknya apabila dapat di atasi dengan satwan dan dharma, yang muncul adalah subha karma. (perbuatan baik).

Sad ripu adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia.
Bagian-bagiannya adalah:
  1. Kama: keinginan atau hawa nafsu,
Kama sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan, kama dapat mempengaruhi pikiran. Rangsangan yang kuat akan menarik kama dan mempengaruhi pikiran. Bila tidak memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk mengatasinya, maka sifat-sifat asuri sampadlah yang akan dominan, hal ini akan berakibat buruk, kama yang tak terkendali ini akan muncul sebagai musuh. Namun sebaliknya, kama akan berfungsi sebagai kawan atau sahabat apabila dapat dikendalikan atau disalurkan kepada hal-hal yang bersifat Dharma atau kebenaran.
  1. Krodha: kemarahan, krodha muncul diawali oleh ketidakpuasaan, rasa kecewa, rasa dendam, dan rasa terhina. Krodha sangat mempengaruhi konsentrasi, rasa kesadaran, dan merusak keseimbangan serta kesucian bathin. Krodha yang tidak terkendali dapat memacu denyut janntung, merusak kerja saraf, sehingga sulit untuk berfikir tenang dan rasional, membuat saraf tegang. Bila terus seperti itu saraf-saraf akan terputus (stroke) dan beakibat fatal. Krodha juga dapat muncul akibat pengaruh minuman keras (miras) Ia muncul bukan karena rangsangan dari luar, sperti keceewa, dendam, dan sebagainya. Tetapi kemunculannya akibatpengaruh yang di buat dari dalam , miras sangat menggangu fungsi kerja saraf, miras sangat merusak, keceradasan, ketenangan, dan konsentrasi. Cara untuk mengatasinya atau meredam krodha adalah dengan pengetahuan dan kemampuan, kesadaran diri serta hindari mengknsumsi miras. Alihkan perasaan kecewa, dendam dan rasa tidak pusakepada rasa jengah untuk memacu diri dalam meraih kesuksesan, taopi ingat jangan lepas dari dharma (kebenaran).
  2. Lobha: berasal dari kata Lubh yang berarti tamak, rakus. Rakus merupakan sifat senang yang berlebihan dan tak terkendali, sifat yang selalu ingin dipusakan, sifat yang ingin mementigkan diri senidiri. Sifat-sifat seperti ini dimiliki oleh setiap orang, apabila kemuculan sifat ini tidak dikendalikan dengan pengetahuan dharma, tidak memiliki rasa welas asih, tatwam asi, satya dan selalu ginawe sukhaning awak, maka lobha seperti ini akan menjadi musuh. Ia kam mendatangkan rasa benci, rasa cemburu, rasa dendam, sehingga menimbulkan rasa gelisah, kurang aman dan was-was. Biasanya lobha akan tumbuh dengan kuat akibat kama yang selalu terpenuhi.
  3. Moha: kebingungan, Kebingungan tidak dapat menentukan sikap, karena kebuntuan otak dalam berpikir, kecerdasan hilang, orang tak tau arah, tak tau mana yang benar dan yang salah, tak tahu mana yang baik, mana yang buruk, tak tau mana yang berguna dan mana yang tak berguna, kebingungan menghambat segala-galanya. Ada beberapa sumber penyebab timbulnya kebingungan antara lain sebagai berikut.
  1. Akibat kemabukan, baik itu karena keberhasilan yang berlebihan maupun akibat pengaruh minuman keras.
  2. Akibat kegagalan/ kekecewaan yang bertubi-tubi secara silih berganti.
  1. Matsarya: dengki/irihati, dan disebut juga dengan Irasya. Iri hati, cemburu, sering kali muncul akibat dari kekecewaan, ketidakpuasan, ketidak adilan dan kegagalan dalam menghadapi suatu peristiwa. Disatu pihak ada yang berhasil dengan mudah, sedangkan dipihak lain mengalami kegaglan atau hambatan. Sehingga pihak yang gagal merasa kecewa. Kegagalan yang diakibatkan oleh ketidak adilan akan menimbulkan perasaan irihati, irihati merupakan akumulasi dari krodha, bila berkelanjutan akan menimbulakan rasa dendam, benci, dan permusuhan. Matsarya atau Irasya dapat diredam dengan kesabaran dan kepasrahan. Bahwa hidup ini adalah cobaan takdir dan karma wasana.
  2. Mada: mabuk, kemabukan dapat muncul dari dalam diri sendiri
Kama (keinginan) yang selalu terpenuhi menyebabkan lobha tak terkendali, hal ini dapat memunculkan mada dengan jenis yang beraneka ragam seperti berikut ini:
  1. Merasa diri paling rupawan (cantik/ganeng) karena mabuk akan kerupawanan wajahnya (surupa) ia seringkali menghina atau melecehkan orang lain. Ia lupa bahwa wajah rupawannya hanya bersifat semu atau sementara.
  2. Merasa diri kaya (banyak uang) ia sering menggunakan uang sekehendak hatinya, membeli, menyewa dan menghancurkan orang lain. Karena banyak harta (Dhana)merasa paling mampu, ia mabuk lupa akan diri bahwa itu titipan sementra. Dalam waktu singkat harta itu bisa habis.
  3. Merasa diri paling pintar (guna) selalu menganggap orang lain bodoh dan tidak mampu. Ia lupa dengan istilah Bali “ Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin “ rartinya: janganlah merasa diri paling pintar, biarlah orang lain yang menilainya. Mreka yang merasa pintar biasanya menjadi sombong.
  4. Merasa diri punya jabatan atau merasa diri seorang bangsawan sehingga membuat dirinya tinggi hati, sombong, seolah-olah dialah yang dapat megatur segala-galanya. Karena kemabukan ia menjadi lupa bahwa ia sesungguhnya berasal dari rakyat biasa, jabatan itu sifatnya hanya sementara dan akhirnya akan kembali kepada habitatnya, demikisn juga yang mengagngkan kebangsawanannya. Ia lupa bahwa kebangsawanan tiada arti tanpa orang lain.
  5. Merasa diri muda/ remaja dengan tenaga yang kkuat (yowana), ia lupa bahwa sastra agama menyebutkan : masa kecil akan menunggu masa remaja, dan remaja tualah yang dinanti. Sedangkan masa tua hanya kematianlah yang menunggunya. Maka dari itu janganlah mabuk dengan masa remaja, manfaatkanlah keremajaan itu untuk mengisi diri mempersiapkan masa tua dengan sebsik-biknya berdasarkan dharma. Masa remaja itu amatlah singkat.
  6. Merasa selalu percaya diri akibat pengaruh minuman keras atau minuman beralkohol akan merusak saraf, merusak ingatan, merusak kesehatan, pencernaan, ginjal, hati dan jantung. Akibat minum-miuman keas menimpakan diri tidak waras, tindakan dan ucapannya selalu ngawur. Tidak ada pertanggung jawaban. Hal ini dissebebkan kecerdasan otaknya telah keracunan alcohol.n dan keberanian. Dikira dirinya tak akan ada yang menyaingi atau mengalahkan, ia lupa bahwa di atas langit masih ada langit, ia lupa bahwa kekutatan dan kemampuan makin lama makin merosot. Di lain pihak ada kemampuan atau kekuatan yang bertambah maju.1
  7. Merasa dirinya selalu m enang dan berani (kesuran). Sering kali mereka yang menang dalam suatu peristiwa merasa sombong, mabuk akan kemenang




1.2.3 Pemaparan Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi di masyarakat

Dalam menjalankan
Swadharma kehidupan di dalam agama Hindu berbagai kegiatan kerohanian/ yadnya yang wajib dilaksanakan umat Hindu dalam segala manifestasinya untuk menuju/ mencapai jalan yang luhur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Brahman).
Salah satu dari berbagai kegiatan Yadnya (Panca Yadnya) yang dilaksanakan umat Hindu adalah Manusa Yadnya yaitu Upacara Mepandes atau Metatah atau Mesangih atau Potong Gigi yang merupakan kegiatan sakral bagi umat Hindu.
Jadi Upacara Potong Gigi ini sudah dilaksanakan sejak dahulu kala dan terus berkembang sampai saat ini dengan peningkatan pengertian filsafatnya dan diarahkan kepada keagamaan, sejak kedatangan Hinduisme di bumi Ibu Pertiwi Nusantara (Indonesia). Adapun pengertian Potong Gigi bagi umat Hindu adalah :
1. Untuk merubah prilaku agar mampu mengendalikan diri dari godaan Sadripu untuk menjadi manusia sejati, yang menurut " Lontar Tutur Kamoksan " adalah sebagai Manusia nantinya bisa bertemu dengan orang tuanya di Alam Paratra setelah meninggal dunia.
2. Menjalankan kewajiban Leluhur terhadap anaknya yang menurut " Lontar Puja Kala Pati " pada dasarnya untuk menemukan hakekat manusia sejati.

Upacara Potong Gigi bertujuan dan mempunyai filsafat sebagai berikut :
1. Sebagai salah satu bentuk untuk membayar hutang budi kepada leluhur. Manusia dalam hidupnya mempunyai tiga hutang budi yang disebut Tri Rnam dan salah satu diantaranya adalah Pitra Rnam yaitu hutang budi kepada orang tua (leluhur) yang menyebabkan manusia lahir, jadi untuk membayar hutang budi kepada leluhur harus dibayar dengan memelihara dan mengupacarai keturunannya ( pari sentana ).
2. Merupakan suatu simbolis untuk melenyapkan atau mengendalikan hawa nafsu yang disebut Sadripu adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia yaitu Kama;keinginan, Kroda;kemarahan, Lobha;serakah, Moha;kebingungan, Matsarya;dengki/irihati, dan Mada;mabuk.
Pada upacara Potong Gigi juga diadakan persaksian kepada Sanghyang Widhi dalam prabawanya sebagai Sanghyang Semara Ratih yang merupakan perlambang/simbol dari pada keinginan seperti cinta kasih yang tumbuh kembang pada setiap insan yang menginjak dewasa yang memerlukan pengendalian diri agar tidak terjerumus dalam nafsu keinginan yang berlebihan.





Pustaka Lontar yang berkaitan dengan Upacara Potong Gigi adalah :
1. Lontar Dharma Kahuripan yang memuat tentang Manusa Yadnya baik mengenai upacara maupun upakaranya menurut tingkat Kanistama, Madyama dan Utama termasuk Upacara Potong Gigi yang di sebut Atatah ( Jaman Empu Kuturan abad XI )
2. Lontar Siwa Ekapratama Samapta yang memuat tentang Manusa Yadnya yang berkembang di jaman Dang Hyang Dwi Jendra abad XVI.
3. Lontar Puja Kala Pati yang memuat tentang asal mula orang melaksanakan Upacara Potong Gigi sebagai petunjuk dari Bhatara Siwa kepada manusia agar nantinya menemukan hakekat manusia sejati itu demikian juga mengenai tata cara dan upacara Potong Gigi.
4. Lontar Puja Kalib tentang Puja dan Mantra yang digunakan oleh Sulinggih dalam memimpin Upacara Potong Gigi.
5. Lontar Jadmaphala Wreti tentang pelaksanaan Upacara Potong Gigi.

Makna setiap tahapan kegiatan dalam Upacara Potong Gigi.
Berdasarkan ketentuan dalam Pustaka Lontar Kahuripan dan Pustaka Lontar Puja Kala Pati bahwa tahapan atau prosesi Upacara Potong Gigi adalah sebagai berikut :
1. Magumi Pedangan ; yaitu mohon tirtha penglukatan pada Bhatara Brahma yang dilakukan di dapur, DANGAN artinya dapur. Upacara ini mengandung makna bahwa orang yang diupacarai itu nantinya tidak lepas dari urusan dan bertanggungjawab soal dapur.
2. Mabyakala ; yaitu dilaksanakan di halaman rumah untuk Sang Bhuta Dengen. Makna upacara ini untuk membersihkan pengaruh-pengaruh negatif yang melekat pada diri.
3. Ke Sanggar Pemujaan ( Rong Tiga / Kawitan) ; yaitu mohon restu dan panugrahan kepada Bhatara Hyang Guru sekaligus permakluman pada leluhur bahwa mereka akan melaksanakan Upacara Potong Gigi dan Minum Tirtha Wasuhpada sebagai tanda telah memperoleh restu. Memberikan labahan dalam bentuk Caru Ayam Petak tanpa Sanggah Cucuk kepada Sang Anggapati ( Saudara tua dari catur sanak ) sebagai simbolis untuk mohon agar mereka menjaga orang yang melakukan upacara Potong Gigi yang berarti guna mengharmoniskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pada diri mereka. Selanjutnya memahat Taring dan Ngerajah gigi. Ngerajah dengan bungan Teratai putih atau cincin emas bermata mirah warna merah. Memahat taring dan ngerajah gigi ini dengan aksara Suci bermakna agar yang diupacarai mampu untuk mengendalikan pikiran, bathin, keinginan dan perbuatan mereka dalam kehidupan ini agar menemukan hakekat manusia sejati itu. Terakhir adalah sungkeman terhadap orangtua, dalam acara sungkeman ini ada piteket /nasehat orang tua ( ayah dan ibu ), kemudian anak mohon restu kepada kedua orang tuanya.
4. Naik ke Bale tempat Potong Gigi; Sebelum Potong Gigi terlebih dahulu menyembah (Muspa) di Bale Gading kepada Sanghyang Semara, mohon Tirtha untuh mesangih.
Mereka yang akan Potong Gigi naik hilir ke hulu, disuruh tidur tengadah. Badannya sampai kaki ditutup kain (rurub). Sikap tangan diletakkan diatas dada dialasi Kekasang dan kaki terkujur rapat. Gigi yang dipapar adalah empat buah gigi seri dan dua buah taring, kiri kanan pada rahang atas. Memapar enam buah gigi maknanya menekan Sadripu (enam musuh pada diri) secara simbolis. Sadripu tidak bisa dihilangkan semasih manusia hidup tetapi bisa ditekan atau dikendalikan apabila bathin telah suci. Kemudian mulai memasang pedangal (singsang) gigi. Yang pertama pedangal dari kayu dapdap dipasang pada rahang atas sebelah kiri untuk perempuan dan yang kedua pedangal dari kayu dapdap pada rahang atas kanan untuk laki-laki. Sedangkan dari tebu, bebas kanan-kiri hingga memapar selesai. Yang pertama kali dipapar dengan kikir pada rahang atas ini adalah taring dulu baru kemudian empat buah gigi seri dikerjakan sampai selesai.
Air ludah dan pedangal yang telah dipakai dimasukkan ke kelapa gading. Gigi yang sudah dipapar itu lalu digosok dengan pengurip gigi dari kunir dan diberi pengancing dengan menggigit base/sirih lekesan tiga kali. Bekas base lekesan itu juga dimasukkan ke kelapa gading. Makna pengurip gigi dan pengancing ini adalah lambang agar Panca Dewata menjaga kehidupan mereka yang melakukan upacara Potong Gigi.
Kemudian turun dari tempat metatah dari hulu ke hilir selanjutnya menginjak banten peningkeb. Banten peningkeb bermakna sebagai suatu sarana yang bersangkutan mengharmoniskan diri dengan alam atau Ibu Pertiwi termasuk Sang Catur Sanak yang di ajak lahir.

Upakara :
  1. Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
  2. Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal
Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
  1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
  2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka  kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
  3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.
  4. Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).
  5. Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).
  6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  7. Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).
  8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.
  9. Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
 
Pelaksanaan upacara
Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti :
  1. Pada dahi, diantara kening/selaning lelata
  2. Pada taring kanan
  3. Pada taring kiri
  4. Pada gigi atas
  5. Pada gigi bawah
  6. Pada lidah
  7. Pada dada
  8. Pada nabhi/puser
  9. Pada paha kanan dan paha kiri
Penulisan Rerajahan tersebut sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara.
Setelah diperciki “tirtha pasangihan”, lalu tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh Sulinggih atau orang bertugas untuk itu.
Beberapa Mantra :
  1. Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet.
  2. Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali).
  3. Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH.
  4. Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku.
Dalam pelaksanaan upacara Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu : Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur Sanghyang Yama dan Sastra Proktah.
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.
(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).
Setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya.
Dalam lontar Smaradahana, menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri.
Pustaka Tutur Sanghyang Yama, menyebutkan  :
..yan amandesi wwang durung angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji.
Tetapi dalam lontar Sastra Proktah, ada disebutkan :
iki ling ning sastra proktah, ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati, wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati.
Sedangkan dalam pelaksanaannya dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan :
  1. Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya.
  2. Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi.
  3. Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan).
  4. Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung.










Kesimpulan
Adapun simpulan dari makalah ini yakni: Upacara manusia yadnya yang salah satunya adalah potong gigi wajib dilaksanakan bagi seluruh umat hindu. Dalam bahasa bali disebutkan dengan istilah “Nandes” dengan mendapatkan awalan “me” menjadi mepandes. Nandes disini sama artinya dengan Tekanan atau menekan (menekankan) sehingga menjadi mepandes yaitu menekankan. Bukan hanya mnekan akan tetapi di lanjutkan dengan mengasahnya sehingga menjadi rata dan rapi. Sebab ada kemungkinan gigi sebelahnya dalam keadaan pendek, bykannya lantas harus sama.
Adapun makna- makna yang terkandung dalam upacara mepandes atau upacara potong gigi tersebut adalah agar kelk nanti manusia bisa mengendalaikan Sad Ripu atau enam musuh yang melekat pada diri manusia itu sendiri diantaranya:
    1. Mada: mabuk, kemabukan dapat muncul dari dalam diri sendiri
    2. Kama atau hawa nafsu.
    3. Lobha atau rakus.
    4. Krodha atau marah.
    5. Moha atau bingung.
    6. Matssarya atau Iri hati.
Dari pemaparan Sad Ripu diatas agar dapat manusia itu menekan atau mengekang segala keburukan yang akan dapat terjadi pada manusia itu sendiri. Maka dari itu upacara Mepandes atau potong gigi itu wajib untuk dilaksanakan untuk setiap kalangan masyarakat hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar