BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam ajaran agama Hindu ada di
kenal tiga kerangka dasar dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran
agama hindu. Adapun bagian dari tiga kerangka/ tiga unsure dasar
agama hindu, antara lain: 1. Tatwa/darsana/ filsafat (Philosophy): 2.
Tata Susila/Etika (etics), dan 3. Upacara/ Acara Agama (Ritual).
Ketiga kerangka dasar tersebut memiliki keterikatan antara satu
dengan yang lainnya. Jika unsure tatwanya telah dipahami, maka unsure
susilanyapun mesti dipahami pula, sehingga dalam pelaksanaan
upacaranya tidak mengalami ketimpangan.
Dalam pelaksanaan upacara agama
hindu, maka nama upacara atau jenis upacara agama yang dilakukan
idealnya bahwa setiap umat hindu telah memahami makna upacara yang
dikandungnya, juga bagaimana tata aturannya, sehingga pelaksanaan
yadnya itu dapat berlangsung dengan tertib dan lancar. Setidaknya
bahwa makna kesucian, ketulusan,penyatuan, kebersamaan, kemuliaan,
ketentraman, keseimbangan, dan yang lainnya tetap dipahami dengan
baik. Tidak lantas setelah upacara agama itu sudah terlaksana
beberapa tahapan, menimbulkan kesalahpahaman atau menimbulkan
pertentangan yang sepele dalam pelaksanaannya, yang akhirnya
menimbulkan konflik social yang lebih luas. Jika terjadi keyataan
seperti itu, mesti umat hindu tetap dapat mengendalikan diri dan
mawas diri, demi untuk tercapainya tujuan utama dari upacara agama
itu sendiri.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Mytology Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi?
1.2.2
Pengertian Uapacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi?
1.2.3
Bagaimana Rumusan serta pemaparan Upacara Mepandes atau Upacara
Potong Gigi dalam Agama Hindu?
1.3
Tujuan
1.3.1 Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memahami makna yang terkandung
dalam Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi itu sendiri serta
dapat mengimplementasikan dalam kehidupan beragama terutama dalam
umat hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.2.1 Mytologi
Upacara Potong Gigi
1.3.1. Kelahiran Bhatara Kala
Dalam mytologi sivagama
diceritakan Bhattara siwa menikmati perjalanan bersama Dewi Uma
terbang di udara di atas samudra perjalanan tersebut semata-mata
untuk melihat-lihat keindahan alam ciptaanNya sambil bersantai-santai
bersama Dewi Uma. Di ceritakan kain Dewi Uma tersingkap sedikit oleh
angin yang berhembus kencang. Dengan tersingkapnya kain yang dipakai
oleh dewi uma maka kelihatanlah sedikit paha mulus Dewi Uma. Kejadian
itu menyebabkan Bhattara Siva menjadi sedikit terkesima. Karena
terkesima keluarlah Kama Petak Bhattara Siwa dan jatuh di samudra.
Kama Petak Bhattara siwa yang jatuh di samudra itu dipelihara oleh
dewa Bharuna di laut. Setelah beberapa lama Kama Petak itu Lahir
menjadi Bhattara Kala. Wujud Bhattara kala tinggi besar berbentuk
raksasa.Bhattara Kala terus ke darat untuk menanyakan siapa
sesungguhya orang tuanya. Ternyata di darat tidak ada seorang pun
yang mengetahui orang tuanya, kalau tidak dapat menjawab
pertanyaannya terus dibunuhnya. Para rajapun ditanya oleh Bhattara
kala. Setiap raja yang tidak dapat menjawab juga dibunuhnya.
Kemarahan bhattara Kala semakin menjadi-jadi, karena di bumi ini
tidak ada yang dapat menjelaskan siapa yang mengetahui orang tuanya
maka Bhattara Kalapun sampai bertanya ke sorga Loka. Di sorga Loka
itupun diperangi oleh Bhattara Kala. Sorga Loka menjadi heboh dan
geger karena ngamuknya Bhattara Kala. Bhattara kala memang sangat
tangguh dalam setiap peperangan. Tidak ada senjata yang dapat melukai
Bhattara kala. Akhirnya Bhattara kala berhadapan dengan Bhattara
siwa. Bhattara Kala menanyakan kepada Bhattara Siwa siapa
sesungguhnya ayah dan ibunya. Bhattara siwa memberitahu Bhattara kala
agar Bhattara Kala memotong terlebih dahulu taringnya yang tajam.
Kalau taring yang tajam itu sudah hilang atau datar maka secara
otomatis Bhattara Kala akan bertemu dengan siapa yang menciptakannya.
Nasehat Bhattara Siwa diikuti oleh Bhattara Kala. Setelah Bhattara
kala memotong taringnya yang lancip itu Bhattara Kalapun dengan
penciptanya sendiri. Teryata yang menjadi ibu dan ayah sebagai
penciptanya adala Dewi Uma dengan Bhattara Siwa sendiri. Ketika
Bhttara Kala mengetahui bahwa yang menciptakan dirinya adalah
Bhattara Siwa dengan Dewi Uma barulah Bhattara kala berdatang sembah
kepada Bhattara Siwa dan Dewi Uma. Dengan Bertemunya Bhattara Kala
dengan Bhattara Siwa sebagai penciptanya maka redalah marahnya
Bhattara kala.
1.3.2. Taring Ganesha Patah
Pada suatu hari raksasa bernama
Nilarudraka bertapa memuja Siwa dan bertujuan memohon kesaktian.
Begitu khusuknya sang Raksasa bertapa, para dewa menjadi ketakutan,
maka dikirimlah bidadari menggoda sang raksasa dan berbagai godaan
dilakukan untuk membatalkan tapa Sang Raksasa, tapi hal itu tak
mematahkan semangat raksasa Nilarudraka, sehigga berkat kekusukan
tpanya akhirnya dia mendapat anugrah seperti yang diharapkan.
Setelah mendapat anugrah
kesaktian, raksasa Nilarudraka menjadi sombong dan menghancurkan
segala sesuatau yang dianggap sebagai musuh. Banyak korban telah mati
di tangannya, kekuasaan kaum raksasa semakin meluas dan seluruh
kerajaan tunduk terhadap Nilarudraka. Kesombongan kemarahan dan gila
kekuasaan semakin merajalela, Nilarudraka belum merasa puas dengan
apa yang di dapatkannya, akhirnya nilarudraka mengumpulkan seluruh
raksasa menyerang sorga dan berkeinginan menguasai sorga tempat para
dewa.
Mendengar sorga akan diserang
oleh raksasa yang dipimpin oleh Nilarudraka, dewa Indra sebagai dewa
tertiggi mengumpulkan kekuatan untuk menyelamatkan sorga. Tiba
waktunya rakasasa Nilarudraka menyerang sorga dan bertempur degan
para dewa . Pertarungan sangat hebat, dunia bergetar, sehingga
menghancurkan alam semesta. Kekuatan raksasa terus mendesak sorga,
sehingga dewa Indra menjadi terpojok kemudian beliau bersama para
dewa lainnya, pergi meninggalkan sorga untuk bertemu dengan dewa Siwa
kepuncak Gunung Khailasa.
Mendengar penjelasan dewa Indra
tentang keadaan sorga yang diserang Raksasa Nlarudraka, maka dewa
siva akan membantu para dewa, sebab yang dapat mengalahkan Raksasa
Nilarudraka adalah putra dari dewa siva, dnegan kekuatan jananya,
manusia berkepala gajah yang memiliki kekuatan yang sangat hebat.
Kehadiran Ganesha membuat para dewa menjadi tenang. Pada suatu ketika
dewa siva seddang bermeditasi di puncak gunung hailasa, kemudian
beliau di datangi parasurama. Kedatangan parasurama bertemu dengan
dewa siva di halangi oleh Ganesha, karena dewa siva sedang
bermeditasi, sehingga beliau tidak bisa diganggu., maka terjadilah
perdebatan dan berakhir dengan peperangan, dalam peperagan tersebut
kapak parasurama menjadi tarring Ganesha, sehingga taring ganesha
menjadi patah, melihat kejadian itu dewi parvati sangat marah dan
hampir mengutuk parasurama, namun para dewa membujuk dewi parvati
dengan mengatakan patahan taring ganesha tersebut, kelak akan dipuja
oleh para dewa dan taring yang patah tersebut dapat mengalahkan
raksasa Nilarudraka.
Berdasarkan mytologi diatas
patahnya taring ganesha dan kalahnya raksasa Nilarudraka merupakan
symbol filosofis Upacara PotongGigi, yaitu patahnya taring ganesha
pada waktu remaja merupakan symbol kedewasaan atau symbol perubahan
status dari masa kanak-kanak menjadi remaja yang di sebut dengan masa
akil balik. Sedangkan patahan taring ganesha mengalahkan raksasa
merupakan symbol perubahan pola pikir remaja dari tidak tahu apa-apa
di masa anak-anak menuju pendewasaan diri engan mengedalikan atau
megalahkan sifat-sifat raksasa dalam diri manusia atau sering disebut
dengan Sad Ripu, dengan pengimplementasian ajaran tRi kaya Parisudha,
yaitu mampu mengendalikan pikiran kea rah positif, berbuat sesuai
dengan ajaran agama dan berkata yang benar sesuai dengan etika yang
belaku yang dimlai sejak remaja untuk menghadapi kehhidupan masa
depan. Sebab pada masa remaja yang sedang mancari jati diri, tentunya
memiliki rasa ingin tahu yag besar. Oleh karena itu masa pencarian
jati diri ini dimulai sejak dilaksanakanya upacara potong gigi,
dengan upacara ini remaja menjadi tahu bahwa dirinya bukan lagi
anak-anak, melainkan menjadi orang yang tumbuh dewasa, bahka
disaksikan oleh Tri Upasaksi yaitu dewa saksi, manusia saksi dan
bhuta saksi sehingga secara psikologis remaja tersebut dengan
sendirinya mengetahui bahwa dirinya telah tumbuh dewasa yang tahu
mana yang baik dan mana yang buruk.
1.2.2 Arti mepandes atau
upacara Potong Gigi
Bila disebutkan mepandes, yaitu
saat mengawali ritual potong gigi dimana mangku sangging akan
melaksanakan memahat gigi si anak yaitu empat gigi seri dan dua gigi
taring bagian atas dan secara simbolis, selanjutnya dilakukan
pemotongan gigi (mengasahnya) dengan mempergunakan kikir. Dalam
bahasa bali disebutkan dengan istilah “Nandes” dengan mendapatkan
awalan “me” menjadi mepandes. Nandes disini sama artinya dengan
Tekanan atau menekan (menekankan) sehingga menjadi mepandes yaitu
menekankan. Bukan hanya mnekan akan tetapi di lanjutkan dengan
mengasahnya sehingga menjadi rata dan rapi. Sebab ada kemungkinan
gigi sebelahnya dalam keadaan pendek, bykannya lantas harus sama.
Mepandes atau lazim disebutkan
mepandes dan atau potong gigi, di masyarakat telah dilaksanakan
secara kontiyu setiap ada putra-putrinya yang telah cukup umuruntuk
hal itu.
Bila
anak sudah dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan
energik. Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih
memberikan kesempatan Sad Ripu menggoda diri manusia.bila terjadi
kemungkinan di atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku seseorang yang
mana dapat menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena
itu dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan
pengaruh Sad Ripu dalam diri anak.
Pelaksanaan upacara metatah ini
dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran simbolis gigi pada
rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri dari empat gigi seri,
dan dua buah taring. Pada enam buah gigi itu, ujung geriginya sebagi
lambang pengaruh adharma ditatah, agar terbentuk ujung gigi yang rata
lambang dharma.Jadi diharapkan dharma tetap mengendalikan hiodup
seseorang anak yang telah ditatah itu.Inilah dalam masyarakat
dilkatakan “ngedasang
daki”.Artinya
membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain kekuatan Sad Ripu
agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak
mencerminkan budi luhur.
Konsep Upacara Potong Gigi
Dalam suatu penelitian yang ada
dan telah dilakukan oleh para akhli disebutkan bahwa dengan penemuan
kerangka tulang manusia purba terdahulu, dimana ditemukannya
gigi-gigi telah dalam keadaan rata seolah-olah terasah rapi. Hal ini
ada kemungkinan pula ritual potong gigi telah ada sejak zaman dahulu
(baca:purba) Hal ini disebutkan pada penggalian fosil-fosil manusia
purba yang diketemukan di gilimanuk yang diperkirakan berumur 2000
tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistim penguburan mayat
yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang
telah terasah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa upacara
potong gigi sudah dikenalkan dipulau bali ini sejak 2000 tahun yang
lalu.
Menurut G.A Wilken seorang
sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra
sejarah didaerah kepulauan polinesia, Asia tengah dan asia tenggara
terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian-bagian tertentu
dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage
(mencacah kulit) dan sebagai upacara korban kepada nenek moyang,
penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban
dalam agama, adalah tapa dan brata. Jadi potong dan melobangi daun
telinga ini dimana menurut G.A Wilken dianggap sebagai korban kepada
roh nenek moyang bagi orang primitive kini mempunyai arti perubahan
status dan penyucian dalam agama hindu di bali.
Makna Filosofis dari Upacara
Mepandes atau Upacara Potong Gigi
Pada Upacara potong gigi yang
digosok atau diratakan dari kikir berjumlah enam buah yaitu dua
taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu
melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu.
Sad Ripu
berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musih.
Jadi sad ripu adalah enam musuh. Musuh yang di maksud adalah musuh
yang berasal atau bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana tercantum dalam kekawin Ramayana, Bab 1 (Wirama Sronca)
bait 4 sebagai berikut:
“Ragadi
musuh mapareng
Rihati ya
tongwanya tan madoh riawak
Yeka tan
hana ri sira
Prawira
wihikan sireng niti”
Artinya:
Keinginan
(kama) dan semua jenis musuh yang terdekat di dalam hati (pikiran)
tempatnya tidak jauh dari badan sendiri.
Yang
semacam itu tidak ada dalam diri beliau (Dasarata) Sifat ksatria yang
dimilikinya, serta pintar dalam menjalankan pemerintahannya.
Sesungguhnya Sad Ripu tersebut bibitnya telah terbawa bersamaan
dengan karma wasana sejak kelahiran. Demikian pula dengan Sad Ripu
akan selalu muncul akibat perpaduan dari Tri Guna, terutama atara
sifat rajas dan tamas, hal inipun akibat rangsangan dari benda-benda
dan pengaruh lingkungan hidupnya. Maka wiweka-pengetahuan disertai
dengan sifat satwamlah sebagai pengendalinya. Perpaduan rajas dan
tamas sebagai perangsang munculnya Sad Ripu yang tak bisa diredam
dengan satwan dan dharma akan menghasilkan asubha karma ( perbuatan
buruk), namun sebaliknya apabila dapat di atasi dengan satwan dan
dharma, yang muncul adalah subha karma. (perbuatan baik).
Sad
ripu adalah enam
musuh yang ada dalam diri manusia.
Bagian-bagiannya
adalah:
- Kama: keinginan atau hawa nafsu,
Kama
sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan, kama dapat mempengaruhi
pikiran. Rangsangan yang kuat akan menarik kama dan mempengaruhi
pikiran. Bila tidak memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk
mengatasinya, maka sifat-sifat asuri sampadlah yang akan dominan, hal
ini akan berakibat buruk, kama yang tak terkendali ini akan muncul
sebagai musuh. Namun sebaliknya, kama akan berfungsi sebagai kawan
atau sahabat apabila dapat dikendalikan atau disalurkan kepada
hal-hal yang bersifat Dharma atau kebenaran.
- Krodha: kemarahan, krodha muncul diawali oleh ketidakpuasaan, rasa kecewa, rasa dendam, dan rasa terhina. Krodha sangat mempengaruhi konsentrasi, rasa kesadaran, dan merusak keseimbangan serta kesucian bathin. Krodha yang tidak terkendali dapat memacu denyut janntung, merusak kerja saraf, sehingga sulit untuk berfikir tenang dan rasional, membuat saraf tegang. Bila terus seperti itu saraf-saraf akan terputus (stroke) dan beakibat fatal. Krodha juga dapat muncul akibat pengaruh minuman keras (miras) Ia muncul bukan karena rangsangan dari luar, sperti keceewa, dendam, dan sebagainya. Tetapi kemunculannya akibatpengaruh yang di buat dari dalam , miras sangat menggangu fungsi kerja saraf, miras sangat merusak, keceradasan, ketenangan, dan konsentrasi. Cara untuk mengatasinya atau meredam krodha adalah dengan pengetahuan dan kemampuan, kesadaran diri serta hindari mengknsumsi miras. Alihkan perasaan kecewa, dendam dan rasa tidak pusakepada rasa jengah untuk memacu diri dalam meraih kesuksesan, taopi ingat jangan lepas dari dharma (kebenaran).
- Lobha: berasal dari kata Lubh yang berarti tamak, rakus. Rakus merupakan sifat senang yang berlebihan dan tak terkendali, sifat yang selalu ingin dipusakan, sifat yang ingin mementigkan diri senidiri. Sifat-sifat seperti ini dimiliki oleh setiap orang, apabila kemuculan sifat ini tidak dikendalikan dengan pengetahuan dharma, tidak memiliki rasa welas asih, tatwam asi, satya dan selalu ginawe sukhaning awak, maka lobha seperti ini akan menjadi musuh. Ia kam mendatangkan rasa benci, rasa cemburu, rasa dendam, sehingga menimbulkan rasa gelisah, kurang aman dan was-was. Biasanya lobha akan tumbuh dengan kuat akibat kama yang selalu terpenuhi.
- Moha: kebingungan, Kebingungan tidak dapat menentukan sikap, karena kebuntuan otak dalam berpikir, kecerdasan hilang, orang tak tau arah, tak tau mana yang benar dan yang salah, tak tahu mana yang baik, mana yang buruk, tak tau mana yang berguna dan mana yang tak berguna, kebingungan menghambat segala-galanya. Ada beberapa sumber penyebab timbulnya kebingungan antara lain sebagai berikut.
- Akibat kemabukan, baik itu karena keberhasilan yang berlebihan maupun akibat pengaruh minuman keras.
- Akibat kegagalan/ kekecewaan yang bertubi-tubi secara silih berganti.
- Matsarya: dengki/irihati, dan disebut juga dengan Irasya. Iri hati, cemburu, sering kali muncul akibat dari kekecewaan, ketidakpuasan, ketidak adilan dan kegagalan dalam menghadapi suatu peristiwa. Disatu pihak ada yang berhasil dengan mudah, sedangkan dipihak lain mengalami kegaglan atau hambatan. Sehingga pihak yang gagal merasa kecewa. Kegagalan yang diakibatkan oleh ketidak adilan akan menimbulkan perasaan irihati, irihati merupakan akumulasi dari krodha, bila berkelanjutan akan menimbulakan rasa dendam, benci, dan permusuhan. Matsarya atau Irasya dapat diredam dengan kesabaran dan kepasrahan. Bahwa hidup ini adalah cobaan takdir dan karma wasana.
- Mada: mabuk, kemabukan dapat muncul dari dalam diri sendiri
Kama
(keinginan) yang selalu terpenuhi menyebabkan lobha tak terkendali,
hal ini dapat memunculkan mada dengan jenis yang beraneka ragam
seperti berikut ini:
- Merasa diri paling rupawan (cantik/ganeng) karena mabuk akan kerupawanan wajahnya (surupa) ia seringkali menghina atau melecehkan orang lain. Ia lupa bahwa wajah rupawannya hanya bersifat semu atau sementara.
- Merasa diri kaya (banyak uang) ia sering menggunakan uang sekehendak hatinya, membeli, menyewa dan menghancurkan orang lain. Karena banyak harta (Dhana)merasa paling mampu, ia mabuk lupa akan diri bahwa itu titipan sementra. Dalam waktu singkat harta itu bisa habis.
- Merasa diri paling pintar (guna) selalu menganggap orang lain bodoh dan tidak mampu. Ia lupa dengan istilah Bali “ Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin “ rartinya: janganlah merasa diri paling pintar, biarlah orang lain yang menilainya. Mreka yang merasa pintar biasanya menjadi sombong.
- Merasa diri punya jabatan atau merasa diri seorang bangsawan sehingga membuat dirinya tinggi hati, sombong, seolah-olah dialah yang dapat megatur segala-galanya. Karena kemabukan ia menjadi lupa bahwa ia sesungguhnya berasal dari rakyat biasa, jabatan itu sifatnya hanya sementara dan akhirnya akan kembali kepada habitatnya, demikisn juga yang mengagngkan kebangsawanannya. Ia lupa bahwa kebangsawanan tiada arti tanpa orang lain.
- Merasa diri muda/ remaja dengan tenaga yang kkuat (yowana), ia lupa bahwa sastra agama menyebutkan : masa kecil akan menunggu masa remaja, dan remaja tualah yang dinanti. Sedangkan masa tua hanya kematianlah yang menunggunya. Maka dari itu janganlah mabuk dengan masa remaja, manfaatkanlah keremajaan itu untuk mengisi diri mempersiapkan masa tua dengan sebsik-biknya berdasarkan dharma. Masa remaja itu amatlah singkat.
- Merasa selalu percaya diri akibat pengaruh minuman keras atau minuman beralkohol akan merusak saraf, merusak ingatan, merusak kesehatan, pencernaan, ginjal, hati dan jantung. Akibat minum-miuman keas menimpakan diri tidak waras, tindakan dan ucapannya selalu ngawur. Tidak ada pertanggung jawaban. Hal ini dissebebkan kecerdasan otaknya telah keracunan alcohol.n dan keberanian. Dikira dirinya tak akan ada yang menyaingi atau mengalahkan, ia lupa bahwa di atas langit masih ada langit, ia lupa bahwa kekutatan dan kemampuan makin lama makin merosot. Di lain pihak ada kemampuan atau kekuatan yang bertambah maju.1
- Merasa dirinya selalu m enang dan berani (kesuran). Sering kali mereka yang menang dalam suatu peristiwa merasa sombong, mabuk akan kemenang
|
1.2.3
Pemaparan Upacara Mepandes atau Upacara Potong Gigi di masyarakat
Dalam menjalankan Swadharma kehidupan di dalam agama Hindu berbagai kegiatan kerohanian/ yadnya yang wajib dilaksanakan umat Hindu dalam segala manifestasinya untuk menuju/ mencapai jalan yang luhur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa (Brahman).
Salah
satu dari berbagai kegiatan Yadnya (Panca Yadnya) yang dilaksanakan
umat Hindu
adalah Manusa Yadnya yaitu Upacara Mepandes
atau Metatah
atau Mesangih
atau Potong Gigi
yang merupakan kegiatan sakral bagi umat Hindu.
Jadi
Upacara Potong Gigi
ini sudah dilaksanakan sejak dahulu kala dan terus berkembang sampai
saat ini dengan peningkatan pengertian filsafatnya dan diarahkan
kepada keagamaan, sejak kedatangan Hinduisme di bumi Ibu Pertiwi
Nusantara (Indonesia). Adapun pengertian Potong
Gigi bagi umat Hindu
adalah :
1. Untuk merubah prilaku agar
mampu mengendalikan diri dari godaan Sadripu untuk menjadi manusia
sejati, yang menurut "
Lontar Tutur Kamoksan "
adalah sebagai Manusia nantinya bisa bertemu dengan orang tuanya di
Alam Paratra
setelah meninggal dunia.
2. Menjalankan kewajiban Leluhur
terhadap anaknya yang menurut "
Lontar Puja Kala Pati " pada
dasarnya untuk menemukan hakekat manusia sejati.
Upacara
Potong Gigi bertujuan dan mempunyai filsafat sebagai berikut :
1.
Sebagai salah satu bentuk untuk membayar hutang budi kepada leluhur.
Manusia dalam hidupnya mempunyai tiga hutang budi yang disebut Tri
Rnam dan salah satu
diantaranya adalah Pitra
Rnam yaitu hutang budi
kepada orang tua (leluhur) yang menyebabkan manusia lahir, jadi untuk
membayar hutang budi kepada leluhur harus dibayar dengan memelihara
dan mengupacarai keturunannya ( pari sentana ).
2.
Merupakan suatu simbolis untuk melenyapkan atau mengendalikan hawa
nafsu yang disebut Sadripu
adalah enam musuh yang ada dalam diri manusia yaitu Kama;keinginan,
Kroda;kemarahan,
Lobha;serakah,
Moha;kebingungan,
Matsarya;dengki/irihati,
dan Mada;mabuk.
Pada upacara Potong
Gigi juga diadakan
persaksian kepada Sanghyang
Widhi dalam prabawanya
sebagai Sanghyang
Semara Ratih yang
merupakan perlambang/simbol dari pada keinginan seperti cinta kasih
yang tumbuh kembang pada setiap insan yang menginjak dewasa yang
memerlukan pengendalian diri agar tidak terjerumus dalam nafsu
keinginan yang berlebihan.
1. Lontar
Dharma Kahuripan yang
memuat tentang Manusa
Yadnya baik mengenai
upacara maupun upakaranya menurut tingkat Kanistama, Madyama dan
Utama termasuk Upacara Potong Gigi yang di sebut Atatah
( Jaman Empu Kuturan abad XI )
2. Lontar
Siwa Ekapratama Samapta
yang memuat tentang Manusa
Yadnya yang berkembang
di jaman Dang Hyang Dwi Jendra abad XVI.
3. Lontar
Puja Kala Pati yang memuat
tentang asal mula orang melaksanakan Upacara Potong
Gigi sebagai
petunjuk dari Bhatara Siwa kepada manusia agar nantinya menemukan
hakekat manusia sejati itu demikian juga mengenai tata cara dan
upacara Potong Gigi.
4. Lontar
Puja Kalib tentang Puja
dan Mantra yang digunakan oleh Sulinggih dalam memimpin Upacara
Potong Gigi.
5.
Lontar Jadmaphala Wreti
tentang pelaksanaan Upacara Potong
Gigi.
Makna setiap tahapan kegiatan
dalam Upacara Potong Gigi.
Berdasarkan
ketentuan dalam Pustaka
Lontar Kahuripan dan
Pustaka Lontar Puja
Kala Pati bahwa
tahapan atau prosesi Upacara Potong
Gigi adalah sebagai
berikut :
1.
Magumi Pedangan
; yaitu mohon tirtha penglukatan pada Bhatara Brahma yang dilakukan
di dapur, DANGAN
artinya dapur. Upacara ini mengandung makna bahwa orang yang
diupacarai itu nantinya tidak lepas dari urusan dan bertanggungjawab
soal dapur.
2.
Mabyakala
; yaitu dilaksanakan di halaman rumah untuk Sang
Bhuta Dengen. Makna
upacara ini untuk membersihkan pengaruh-pengaruh negatif yang melekat
pada diri.
3.
Ke Sanggar Pemujaan
( Rong Tiga / Kawitan)
; yaitu mohon restu dan panugrahan kepada Bhatara
Hyang Guru sekaligus
permakluman pada leluhur bahwa mereka akan melaksanakan Upacara
Potong Gigi
dan Minum Tirtha
Wasuhpada sebagai
tanda telah memperoleh restu. Memberikan labahan dalam bentuk Caru
Ayam Petak tanpa
Sanggah Cucuk kepada Sang
Anggapati (
Saudara tua dari catur sanak ) sebagai simbolis untuk mohon agar
mereka menjaga orang yang melakukan upacara Potong
Gigi yang berarti guna
mengharmoniskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pada diri
mereka. Selanjutnya
memahat Taring dan
Ngerajah
gigi. Ngerajah
dengan bungan Teratai putih atau cincin emas bermata mirah warna
merah. Memahat taring dan ngerajah
gigi ini dengan aksara Suci bermakna agar yang diupacarai mampu untuk
mengendalikan pikiran, bathin, keinginan dan perbuatan mereka dalam
kehidupan ini agar menemukan hakekat manusia sejati itu. Terakhir
adalah sungkeman terhadap orangtua, dalam acara sungkeman ini ada
piteket /nasehat orang tua ( ayah dan ibu ), kemudian anak mohon
restu kepada kedua orang tuanya.
4.
Naik ke Bale tempat Potong
Gigi; Sebelum Potong
Gigi terlebih dahulu
menyembah (Muspa) di Bale
Gading kepada
Sanghyang Semara, mohon Tirtha untuh mesangih.
Mereka
yang akan Potong Gigi
naik hilir ke hulu, disuruh tidur tengadah. Badannya sampai kaki
ditutup kain (rurub).
Sikap tangan diletakkan diatas dada dialasi Kekasang
dan kaki terkujur rapat. Gigi yang dipapar adalah empat buah gigi
seri dan dua buah taring, kiri kanan pada rahang atas. Memapar enam
buah gigi maknanya menekan Sadripu
(enam musuh pada diri)
secara simbolis. Sadripu
tidak bisa dihilangkan semasih manusia hidup tetapi bisa ditekan atau
dikendalikan apabila bathin telah suci. Kemudian mulai memasang
pedangal
(singsang)
gigi. Yang pertama pedangal
dari kayu dapdap
dipasang pada rahang atas sebelah kiri untuk perempuan dan yang kedua
pedangal
dari kayu dapdap
pada rahang atas kanan untuk laki-laki. Sedangkan dari tebu, bebas
kanan-kiri hingga memapar selesai. Yang pertama kali dipapar dengan
kikir pada rahang atas ini adalah taring dulu baru kemudian empat
buah gigi seri dikerjakan sampai selesai.
Air
ludah dan pedangal
yang telah dipakai dimasukkan ke kelapa
gading. Gigi yang
sudah dipapar itu lalu digosok dengan pengurip
gigi dari kunir dan diberi pengancing
dengan menggigit base/sirih
lekesan
tiga kali. Bekas base
lekesan itu juga
dimasukkan ke kelapa gading. Makna pengurip
gigi dan pengancing
ini adalah lambang agar Panca Dewata menjaga kehidupan mereka yang
melakukan upacara Potong
Gigi.
Kemudian
turun dari tempat metatah dari hulu ke hilir selanjutnya menginjak
banten peningkeb.
Banten peningkeb
bermakna sebagai suatu sarana yang bersangkutan mengharmoniskan diri
dengan alam atau Ibu Pertiwi termasuk Sang
Catur Sanak yang di
ajak lahir.
Upakara :
- Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
- Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal
Disamping upakara tersebut ada
juga perlengkapan yang lain, yaitu :
- Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
- Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
- Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.
- Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).
- Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).
- Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
- Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).
- Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.
- Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
Pelaksanaan
upacara
Setelah dilakukan upacara
mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa
Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara
(bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara
(sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada
beberapa tempat, seperti :
- Pada dahi, diantara kening/selaning lelata
- Pada taring kanan
- Pada taring kiri
- Pada gigi atas
- Pada gigi bawah
- Pada lidah
- Pada dada
- Pada nabhi/puser
- Pada paha kanan dan paha kiri
Penulisan Rerajahan tersebut
sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara.
Setelah diperciki “tirtha
pasangihan”, lalu
tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara
dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal
tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang
sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila
sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian
berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya
ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore
harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh
Sulinggih atau orang bertugas untuk itu.
Beberapa Mantra :
- Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet.
- Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali).
- Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH.
- Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku.
Dalam pelaksanaan upacara
Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu :
Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur
Sanghyang Yama dan Sastra Proktah.
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada
disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan
waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain
Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air
mani inilah lahir Bhatara Kala.
(Nihan
tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring
purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa
pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah
prilaku sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani
(caturdasi), pananggal panglong 8 (astame), hendaknya melakukan
Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata
Amretasnataka).
Setelah Bhatara Kala menginjak
dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal ayah ibunya (asal
mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya
terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya.
Dalam lontar Smaradahana,
menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat
mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan
dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong
adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak
dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih
berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri.
Pustaka Tutur Sanghyang Yama,
menyebutkan :
…..yan amandesi wwang durung
angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal
halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan
sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji.
Tetapi dalam lontar Sastra
Proktah, ada disebutkan :
iki ling ning sastra proktah,
ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa
amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa,
yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati,
wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan
sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati.
Sedangkan dalam pelaksanaannya
dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman
Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan :
- Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya.
- Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi.
- Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan).
- Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung.
Kesimpulan
Adapun simpulan dari makalah ini
yakni: Upacara manusia yadnya yang salah satunya adalah potong gigi
wajib dilaksanakan bagi seluruh umat hindu.
Dalam bahasa bali disebutkan dengan istilah “Nandes” dengan
mendapatkan awalan “me” menjadi mepandes. Nandes disini sama
artinya dengan Tekanan atau menekan (menekankan) sehingga menjadi
mepandes yaitu menekankan. Bukan hanya mnekan akan tetapi di
lanjutkan dengan mengasahnya sehingga menjadi rata dan rapi. Sebab
ada kemungkinan gigi sebelahnya dalam keadaan pendek, bykannya lantas
harus sama.
Adapun makna- makna yang
terkandung dalam upacara mepandes atau upacara potong gigi tersebut
adalah agar kelk nanti manusia bisa mengendalaikan Sad Ripu atau enam
musuh yang melekat pada diri manusia itu sendiri diantaranya:
- Mada: mabuk, kemabukan dapat muncul dari dalam diri sendiri
- Kama atau hawa nafsu.
- Lobha atau rakus.
- Krodha atau marah.
- Moha atau bingung.
- Matssarya atau Iri hati.
Dari pemaparan Sad Ripu diatas
agar dapat manusia itu menekan atau mengekang segala keburukan yang
akan dapat terjadi pada manusia itu sendiri. Maka dari itu upacara
Mepandes atau potong gigi itu wajib untuk dilaksanakan untuk setiap
kalangan masyarakat hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar