Minggu, 12 Januari 2014

dharma wacana



DEWA YADNYA SEBAGAI IMPLEMENTASI KOKOHNYA SRADHA UMAT HINDU DI JAMAN MODERNISASI
Oleh
Luh Ayu Lestari
10.1.1.1.1.3455

ABSTRAK
Agama adalah keyakinan terhadap suatu kebenaran. Agama Hindu mempunyai tujuan untuk mencapai moksa dan Jagathita berdasarkan dharma. Dalam mengejar kesejahteraan lahir dan kebahagiaan bathin, mau tidak mau kita dihadapkan dengan modernisasi. Modernisasi termasuk dalam ilmu pengetahuan.
Agama Hindu menerima modernisasi secara selektif sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Agama Hindu.
Modernisasi itu peranannya hanya sebagai penopang atau penunjang untuk mencapai hakekat dari pada tujuan hidup beragama di dalam pelaksanaan upacara/upakara agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama, modernisasi berpengaruh di dalam mencapai kesejahteraan hidup dan kehidupan.
Agama Hindu mengajarkan untuk menyampaikan rasa terimakasih atas pengorbanan suci/yadnya yang telah diterima daalam kehidupan ini melalui yadnya pula. Oleh karena itu yadnya juga dimaksudkan sebagai cetusan rasa terima kasih. Kesucian adalah merupakan landasan yang utama dan patut di tegakkan dalam pelaksanaan ajaran agama. Oleh karena itu upacara yang bermakna menyucikan seperti itu hampir selalu dijumpai pada setiap pelaksanaan suatu yadnya lebih-lebih pada tingkatan yadnya yang besar.
Sradha, kebaktian, keimanan, ketulusan dan kesucian hati yang menyatu melahirkan kualitas spiritual yang lebih tinggi pada manusia. Begitu pula upacara tidak akan berarti apabila orang yang melaksanakan belum memiliki kesiapan rohaniah. Untuk itu jasmani yang suci, hati yang suci dan kehidupan yang suci, kehidupan yangs esuai dengan ketentuan moral dan spiritual patut menjadi landasan pelaksanaan yadnya.
Dengan demikian, untuk dapat megimplementasikan suatu ajaran agama hindu, mencintai Tuhan, memuja Tuhan dengan segenap hati dan ketulusiklasan merupakan sikap yang terkecil untuk bisa menumbuhkembangkan ajegnya yadnya (Dewa Yadnya) di Bali, serta dapat meningkatkan sradha dan bhakti kita terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melalui dewa yadnya umat hindu meghaturkan rasa terimakasihnya atas segala anugrah yang tealh dilimpahkan dalam kehidupan ini. Demikian pula umat manusia wajib beryadnya untuk memelihara kelestarian alam semesta yang menunjang kehidupannya.

  1. Pendahuluan

Tuhan Krsna bersabda dalam BhagawadGita: ‘’ dahulu kala, setelah menciptakan manusia bersama-sama dengan upacara kurban. Tuhan sang pencipta berkata; dengan ini mudah-mudahan kamu berkembanng biak dan biarlah ini jadi pemuas keinginannmu. Dengan ini hiduplah para dewa (yang bersinar) dan semoga para dewa menghidupimu. Dengan saling menghidupi seperti ini, kamu akan mencapai kebajikan tertinggi. Sebab, menghidupi dengan upacara kurban, para dewa akan memberkahimu dengan kebahagiaan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati apa yang diberikannya tanpa membalas sesuatupun sesungguhnya adalah pencuri. Yang benar; makan sisa persembahan kurban, terbebas dari segala dosa; tetapi yang tidak saleh, yang memasak makanan demi untuk dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa (III.10,11,12,13). Manu menyatakan; Biarlah seseorang selalu sibuk dalam memperlajari Weda dan dalam upacara pada para dewa; Kesibukan dalam upacara weda, ia menunjang kerajaan yang bergerak maupun yang tak bergerak”. Uapacara kurban ini memutar roda kehidupan sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan demikian membantu evolusi manusia dan alam dunia.
Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.
Aphalakaanksibhir yadnyo
Vidhi drsto ya ijyate
Yastavyam eveti manah
Samaadaya sa saatvikah

(Bhagavad Gita, XVII.11)
Maksudnya: Yadnya yang dilakukan menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah), dilakukan dengan ikhlas, yang sepenuhnya dipercaya bahwa yadnya itu sebagai suatu kewajiban suci. Yadnya yang demikian itu tergolong Satvika Yadnya.
Kata “upacara” berasal dari bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan yadnya artinya ikhlas berkorban untuk tujuan yang benar dan suci. Jadi, upacara yadnya adalah upaya spiritual dengan bentuk ritual dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan dengan landasan bhakti.
Bhakti pada Tuhan itu lebih lanjut didayagunakan untuk meningkatkan keluhuran moral dan daya tahan mental untuk memelihara kesejahteraan alam serta mengabdi pada sesama manusia dengan landasan punia. Asih dan punia itulah sebagai wujud bhakti kita kepada Tuhan. Jika bhakti itu tanpa rnenyayangi alam Iingkungan dan mengabdi pada sesama dengan tulus maka bhakti akan sia-sia saja. Selanjutnya upacara yadnya itu ada upakaranya. Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani. Karena itu dalam Lontar Yadnya Prakerti bentuk-bentuk upakara itu sebagai lambang pelayanan kepada Tuhan, kepada sesama manusia dan juga pelayanan kepada alam atau bhuwana.
Dewa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa. Asal kata Dewa berasal dari  bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Dewa Yadnya
Dewa Yadnya berarti persembahan suci ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa serta segala manifestasinya.
Adapun tujuan utama melaksanakan Dewa Yadnya adalah:
1.      Menyampaikan rasa hormat, bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan nikmat yang dianugerahkan kepada umatNya.
2.      Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, panjang umur, kesaksian, kemuliaan, bimbingan untuk menuju keselamatan umat, bangsa dan negara.
3.      Mengucapkan syukur atas peningkatan sesucian lahir batin dengan didasari oleh pembersihan akan bayu, sabda dan idep, yaitu paridhanya laksana kata-kata dan pikiran.
Kalau demikian halnya berarti perbuatan-perbuatan di bawah ini yang termasuk ke dalam Dewa Yadnya Misalnya:
a.       Melaksanakan persembahyangan kepada sang hyang Widhi.
b.      Mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajaran tentang ketuhanan.
c.       Berziarah ke tempat-tempat suci dan mengembangkan ajaran Dharma.
d.      Membangun tempat-tempat ibadah.
e.       Berdana punia bila ada upacara di Pura.
f.       Menghaturkan canang dengan sarinya tatkala melakukan persembahyangan.
g.      Bakti sosial (ngayah) pada suatu tempat-tempat suci dengan penih keikhlasan.
Perbuatan semacam inilah termasuk perbuatan Dewa Yadnya yang mulia bila dilaksanakan dengan kesadaran batin dan tanpa pamrih. Bukannya besar harta benda yang  menjadi ukuran, tetapi dasar ketulus-ikhlasan itulah yang utama.           
Disisi lain bila ditelusuri tentang hari-hari pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dibedakan dua macam, yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Kedua macam pelaksanaan Dewa Yadnya ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Nitya Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya seperti:
1.      Menghaturkan banten canang sari setiap hari
2.      Menghaturkan Yadnya sesa setiap hari sehabis masak
3.      Melaksanakan Puja Tri Sandhya setiap hari
b.      Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam sasih dan pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1.      Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara, Sapta Wara dan wuku, yaitu:
a)      Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b)      Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c)      Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur keburukan di dunia
d)     Hari Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian batin
e)     Hari Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk mencapai ketentraman batin dan mengendalikan diri
f)      Hari Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk mengukuhkan keyakinan
g)      Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h)      Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru, para Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i)      Budha Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa, Dewa, dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan Kuningan.
j)        Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai Dewa Kesenian
k)      Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja Dewi Ilmu Pengetahuan.

2.      Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang beryoganya Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti pada hari:
a)      Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari, dan para Rsi Gana
b)      Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c)     Tilem Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang telah memberkati umatNya
d)     Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e)      Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang diawali dengan melis ke laut atau sungai. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara Tawur Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan Nyepi, yakni melaksanakan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan Ngembak Geni.
f)       Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama Bhatara Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan Panca Wali Krama, kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan Eka Dasa Rudra

3.      Upacara Dewa Yadnya yang sifatnya insiden
Dapat kita lihat dalam lontar Catur Weda, misalnya upacara: Melaspas, Memungkah, Catur Rebah, dan Nyatur Niri. Semua Yadnya mempunyai atura sendiri. Juga dalam lontar Bhama Kerti, dijelaskan ada upacara Matani Aluh, seperti: Matarin, Nemakuh dan Ngulapin.
Dalam lontar Sripurana, berarti dengan pertanian dilaksanakan upacara: mulai mengerjakan sawah, Byakukung dan Mantenin Padi
Bahwa phala melaksanakan Dewa Yadnya dijelaskan dalam lontar Tatwa Kusuma Dewa, sebagai berikut:           
Rahayu pahalaya yan mangkana, sadadyani kaya olih sadya kaduluran Whidi, haywa enam ngutpati Dewa astiti ring Sang Hyang Widhi.”
Artinya:
selamat phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa dan berbakti Pada Tuhan.”

  1. Dewa Yadnya sebagai salah satu Untuk meningkatkan kualitas diri
Dari segi peningkatan diri, Dewa Yadnya pada hakekatnya merupakan pengorbanan suci dimaksudkan untuk mengurangi rasa keakuan (ego). Tiap-tiap usaha yang membawa akibat mengurangi rasa penyuburan keakuan untuk kea rah penikmatan yang lebih tinggi dan pengurangan dorongan-dorongan nafsu yang rendah , memerlukan pengorbanan/yadnya. Tiap-tiap pengorbanan adalah memberi jalan untuk pertumbuhan pada jiwa dan pengorbanan mencari dasarnya pada keiklasan berbuat untuk tujuan yang lebih mulia. Oleh karena itu setiap pelaksanaan suatu upacara atau yadnya yang pertama-tama untuk dilaksanakan adalah proses penyucian diri dalam arti yang luas, menyangkut aspek jasmani dan rohani untuk menuju peningkatan spiritual. Dalam pelaksanaan yadnya dikembangkan sikap yang paling sederhana dalam kehidupan yaitu cinta kasih danpengorbanan. Tuhan dalam Bhakti marga di pandang sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah dan sebagainya. Orang yang memuja, menginginkan kebahagiaan rohani, ia memohon pertolongan Tuhan, memohon ampun, Mohon Kemurahan, cinta kasih dan sebagainya.
Dewa Yadnya Sebagai salah satu cara untuk menghubugkan diri dengan Tuhan yang dipuja. Kita sebagai umat hindu melaksanakan upacara dewa yadnya juga merupakan pelaksanaan Yoga. Tidak saja bagi para pendeta tetapi bagi seluruh masyarakat yang melaksanakannya, karena pelaksanaan upacara dewa yadnya itu sejak awal mula merencanakan, mempersiapkan, dan lebih-lebih pada waktunya untuk melaksanakan dan telah diiringi dengan sikap bathin yang suci dengan konsentrasi yang tertuju kepada tuhan yang dipuja, serta dilandasi dengan perilaku yang menampilkan susila yang tinggi.

  1. Simpulan

Dari pemaparan materi di atas dapat di ambil simpulan bahwa kita sebagai generasi muda serta masyarakat yang mengemban sebagai umat hindu dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya harus benar-benar memahami dalam pengimplementasian suatu Dewa Yadnya, agar tidak suatu Dewa Yadnya itu dapat di katakana hanya sebuah ritual semata. Kita sebagai umat harus bangkit dari suatu kebodohan ke beragamaan. Dewa Yadnya harus di landasi dengan ketulusiklasan tanpa ketulusiklasan tersebut yadnya tidak bisa di katakan sempurna ketika manusia atau oknum-oknumnya itu pamrih, dan umat Hindu di harapkan selalu menjalankan ritual keagamaan guna untuk meningkatkan moral dan spiritual, dan menjadikan upacara atau yadnya itu sebagai kebutuhan kita.


Pustaka yang diacu :

Mas Mt. Putra, IGA, 1995. Panca Yadnya. Digandakan oleh Pemkab Bandung.
Surayin, Ida Ayu Putu, 2002. Dewa Yadnya. Surabaya: Paramita.
Ngurah Maade I Gusti Drs, Dkk. 2005. Pendidikan Agama Hindu Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar