DEWA
YADNYA SEBAGAI IMPLEMENTASI KOKOHNYA SRADHA UMAT HINDU DI JAMAN
MODERNISASI
Oleh
Luh
Ayu Lestari
10.1.1.1.1.3455
ABSTRAK
Agama
adalah keyakinan terhadap suatu kebenaran. Agama Hindu mempunyai
tujuan untuk mencapai moksa dan Jagathita berdasarkan dharma. Dalam
mengejar kesejahteraan lahir dan kebahagiaan bathin, mau tidak mau
kita dihadapkan dengan modernisasi. Modernisasi termasuk dalam ilmu
pengetahuan.
Agama
Hindu menerima modernisasi secara selektif sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Agama Hindu.
Modernisasi
itu peranannya hanya sebagai penopang atau penunjang untuk mencapai
hakekat dari pada tujuan hidup beragama di dalam pelaksanaan
upacara/upakara agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama,
modernisasi berpengaruh di dalam mencapai kesejahteraan hidup dan
kehidupan.
Agama
Hindu mengajarkan untuk menyampaikan rasa terimakasih atas
pengorbanan suci/yadnya yang telah diterima daalam kehidupan ini
melalui yadnya pula. Oleh karena itu yadnya juga dimaksudkan sebagai
cetusan rasa terima kasih. Kesucian adalah merupakan landasan yang
utama dan patut di tegakkan dalam pelaksanaan ajaran agama. Oleh
karena itu upacara yang bermakna menyucikan seperti itu hampir selalu
dijumpai pada setiap pelaksanaan suatu yadnya lebih-lebih pada
tingkatan yadnya yang besar.
Sradha,
kebaktian, keimanan, ketulusan dan kesucian hati yang menyatu
melahirkan kualitas spiritual yang lebih tinggi pada manusia. Begitu
pula upacara tidak akan berarti apabila orang yang melaksanakan belum
memiliki kesiapan rohaniah. Untuk itu jasmani yang suci, hati yang
suci dan kehidupan yang suci, kehidupan yangs esuai dengan ketentuan
moral dan spiritual patut menjadi landasan pelaksanaan yadnya.
Dengan
demikian, untuk dapat megimplementasikan suatu ajaran agama hindu,
mencintai Tuhan, memuja Tuhan dengan segenap hati dan ketulusiklasan
merupakan sikap yang terkecil untuk bisa menumbuhkembangkan ajegnya
yadnya (Dewa Yadnya) di Bali, serta dapat meningkatkan sradha dan
bhakti kita terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melalui dewa yadnya
umat hindu meghaturkan rasa terimakasihnya atas segala anugrah yang
tealh dilimpahkan dalam kehidupan ini. Demikian pula umat manusia
wajib beryadnya untuk memelihara kelestarian alam semesta yang
menunjang kehidupannya.
- Pendahuluan
Tuhan Krsna bersabda dalam
BhagawadGita: ‘’
dahulu kala, setelah menciptakan manusia bersama-sama dengan upacara
kurban. Tuhan sang pencipta berkata; dengan ini mudah-mudahan kamu
berkembanng biak dan biarlah ini jadi pemuas keinginannmu. Dengan ini
hiduplah para dewa (yang bersinar) dan semoga para dewa menghidupimu.
Dengan saling menghidupi seperti ini, kamu akan mencapai kebajikan
tertinggi. Sebab, menghidupi dengan upacara kurban, para dewa akan
memberkahimu dengan kebahagiaan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati
apa yang diberikannya tanpa membalas sesuatupun sesungguhnya adalah
pencuri. Yang benar; makan sisa persembahan kurban, terbebas dari
segala dosa; tetapi yang tidak saleh, yang memasak makanan demi untuk
dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa (III.10,11,12,13).
Manu menyatakan; Biarlah seseorang selalu sibuk dalam memperlajari
Weda dan dalam upacara pada para dewa; Kesibukan dalam upacara weda,
ia menunjang kerajaan yang bergerak maupun yang tak bergerak”.
Uapacara kurban ini memutar roda kehidupan sesuai dengan kehendak
Tuhan dan dengan demikian membantu evolusi manusia dan alam dunia.
Kata Yadnya berasal dari bahasa
Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja,
mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang
harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian
tanpa pamrih.
Aphalakaanksibhir
yadnyo
Vidhi
drsto ya ijyate
Yastavyam
eveti manah
Samaadaya
sa saatvikah
(Bhagavad Gita, XVII.11)
Maksudnya: Yadnya yang dilakukan
menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah), dilakukan dengan ikhlas,
yang sepenuhnya dipercaya bahwa yadnya itu sebagai suatu kewajiban
suci. Yadnya yang demikian itu tergolong Satvika Yadnya.
Kata “upacara” berasal dari
bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan yadnya artinya
ikhlas berkorban untuk tujuan yang benar dan suci. Jadi, upacara
yadnya adalah upaya spiritual dengan bentuk ritual dengan tujuan
mendekatkan diri pada Tuhan dengan landasan bhakti.
Bhakti pada Tuhan itu lebih
lanjut didayagunakan untuk meningkatkan keluhuran moral dan daya
tahan mental untuk memelihara kesejahteraan alam serta mengabdi pada
sesama manusia dengan landasan punia. Asih dan punia itulah sebagai
wujud bhakti kita kepada Tuhan. Jika bhakti itu tanpa rnenyayangi
alam Iingkungan dan mengabdi pada sesama dengan tulus maka bhakti
akan sia-sia saja. Selanjutnya upacara yadnya itu ada upakaranya.
Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani. Karena itu
dalam Lontar Yadnya Prakerti bentuk-bentuk upakara itu sebagai
lambang pelayanan kepada Tuhan, kepada sesama manusia dan juga
pelayanan kepada alam atau bhuwana.
Dewa Yadnya,
adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa. Asal kata Dewa berasal
dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi
pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari
Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi
Wasa.
Dewa Yadnya
Dewa Yadnya berarti persembahan
suci ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa serta
segala manifestasinya.
Adapun
tujuan utama melaksanakan Dewa Yadnya adalah:
1.
Menyampaikan rasa hormat, bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan nikmat yang dianugerahkan kepada umatNya.
2.
Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, panjang umur, kesaksian,
kemuliaan, bimbingan untuk menuju keselamatan umat, bangsa dan
negara.
3.
Mengucapkan syukur atas peningkatan sesucian lahir batin dengan
didasari oleh pembersihan akan bayu, sabda dan idep, yaitu paridhanya
laksana kata-kata dan pikiran.
Kalau demikian halnya berarti
perbuatan-perbuatan di bawah ini yang termasuk ke dalam Dewa Yadnya
Misalnya:
a.
Melaksanakan persembahyangan kepada sang hyang Widhi.
b.
Mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajaran tentang
ketuhanan.
c.
Berziarah ke tempat-tempat suci dan mengembangkan ajaran Dharma.
d.
Membangun tempat-tempat ibadah.
e.
Berdana punia bila ada upacara di Pura.
f.
Menghaturkan canang dengan sarinya tatkala melakukan persembahyangan.
g.
Bakti sosial (ngayah) pada suatu tempat-tempat suci dengan penih
keikhlasan.
Perbuatan semacam inilah termasuk
perbuatan Dewa Yadnya yang mulia bila dilaksanakan dengan kesadaran
batin dan tanpa pamrih. Bukannya besar harta benda yang menjadi
ukuran, tetapi dasar ketulus-ikhlasan itulah yang utama.
Disisi lain bila ditelusuri
tentang hari-hari pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dibedakan dua macam,
yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Kedua macam pelaksanaan Dewa
Yadnya ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Nitya Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya seperti:
1.
Menghaturkan banten canang sari setiap hari
2.
Menghaturkan Yadnya sesa setiap hari sehabis masak
3.
Melaksanakan Puja Tri Sandhya setiap hari
b.
Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam
sasih dan pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1.
Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara,
Sapta Wara dan wuku, yaitu:
a)
Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b)
Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c)
Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur
keburukan di dunia
d) Hari
Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian batin
e) Hari
Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk mencapai
ketentraman batin dan mengendalikan diri
f) Hari
Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk
mengukuhkan keyakinan
g)
Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h)
Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru,
para Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i) Budha
Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa, Dewa,
dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan
Kuningan.
j)
Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai
Dewa Kesenian
k)
Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja
Dewi Ilmu Pengetahuan.
2.
Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang beryoganya
Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti pada hari:
a)
Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara
atau Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari,
dan para Rsi Gana
b)
Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c) Tilem
Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang
telah memberkati umatNya
d)
Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e)
Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang
diawali dengan melis ke laut atau sungai. Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara Tawur Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan
Nyepi, yakni melaksanakan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan,
Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan Ngembak Geni.
f)
Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih
dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama
Bhatara Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan
Panca Wali Krama, kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan
Eka Dasa Rudra
3.
Upacara Dewa Yadnya yang sifatnya insiden
Dapat kita lihat dalam lontar
Catur Weda, misalnya upacara: Melaspas, Memungkah, Catur Rebah, dan
Nyatur Niri. Semua Yadnya mempunyai atura sendiri. Juga dalam lontar
Bhama Kerti, dijelaskan ada upacara Matani Aluh, seperti: Matarin,
Nemakuh dan Ngulapin.
Dalam lontar Sripurana, berarti
dengan pertanian dilaksanakan upacara: mulai mengerjakan sawah,
Byakukung dan Mantenin Padi
Bahwa phala melaksanakan Dewa
Yadnya dijelaskan dalam lontar Tatwa
Kusuma Dewa, sebagai
berikut:
“Rahayu
pahalaya yan mangkana, sadadyani kaya olih sadya kaduluran Whidi,
haywa enam ngutpati Dewa astiti ring Sang Hyang Widhi.”
Artinya:
“selamat
phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh
penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa
dan berbakti Pada Tuhan.”
- Dewa Yadnya sebagai salah satu Untuk meningkatkan kualitas diri
Dari segi peningkatan diri, Dewa
Yadnya pada hakekatnya merupakan pengorbanan suci dimaksudkan untuk
mengurangi rasa keakuan (ego). Tiap-tiap usaha yang membawa akibat
mengurangi rasa penyuburan keakuan untuk kea rah penikmatan yang
lebih tinggi dan pengurangan dorongan-dorongan nafsu yang rendah ,
memerlukan pengorbanan/yadnya. Tiap-tiap pengorbanan adalah memberi
jalan untuk pertumbuhan pada jiwa dan pengorbanan mencari dasarnya
pada keiklasan berbuat untuk tujuan yang lebih mulia. Oleh karena itu
setiap pelaksanaan suatu upacara atau yadnya yang pertama-tama untuk
dilaksanakan adalah proses penyucian diri dalam arti yang luas,
menyangkut aspek jasmani dan rohani untuk menuju peningkatan
spiritual. Dalam pelaksanaan yadnya dikembangkan sikap yang paling
sederhana dalam kehidupan yaitu cinta kasih danpengorbanan. Tuhan
dalam Bhakti marga di pandang sebagai Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Pemurah dan sebagainya. Orang yang memuja,
menginginkan kebahagiaan rohani, ia memohon pertolongan Tuhan,
memohon ampun, Mohon Kemurahan, cinta kasih dan sebagainya.
Dewa Yadnya Sebagai salah satu
cara untuk menghubugkan diri dengan Tuhan yang dipuja. Kita sebagai
umat hindu melaksanakan upacara dewa yadnya juga merupakan
pelaksanaan Yoga. Tidak saja bagi para pendeta tetapi bagi seluruh
masyarakat yang melaksanakannya, karena pelaksanaan upacara dewa
yadnya itu sejak awal mula merencanakan, mempersiapkan, dan
lebih-lebih pada waktunya untuk melaksanakan dan telah diiringi
dengan sikap bathin yang suci dengan konsentrasi yang tertuju kepada
tuhan yang dipuja, serta dilandasi dengan perilaku yang menampilkan
susila yang tinggi.
- Simpulan
Dari pemaparan
materi di atas dapat di ambil simpulan bahwa kita sebagai generasi
muda serta masyarakat yang mengemban sebagai umat hindu dalam
pelaksanaan upacara Agama Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali
khususnya harus benar-benar memahami dalam pengimplementasian suatu
Dewa Yadnya, agar tidak suatu Dewa Yadnya itu dapat di katakana hanya
sebuah ritual semata. Kita sebagai umat harus bangkit dari suatu
kebodohan ke beragamaan. Dewa Yadnya harus di landasi dengan
ketulusiklasan tanpa ketulusiklasan tersebut yadnya tidak bisa di
katakan sempurna ketika manusia atau oknum-oknumnya itu pamrih, dan
umat Hindu di harapkan selalu menjalankan ritual keagamaan guna untuk
meningkatkan moral dan spiritual, dan menjadikan upacara atau yadnya
itu sebagai kebutuhan kita.
Pustaka
yang diacu :
Mas
Mt. Putra, IGA, 1995.
Panca Yadnya.
Digandakan oleh Pemkab Bandung.
Surayin,
Ida Ayu Putu, 2002. Dewa
Yadnya.
Surabaya: Paramita.
Ngurah
Maade I Gusti Drs, Dkk. 2005. Pendidikan
Agama Hindu
Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar