CATUR
ASRAMA
- Pengrtian Catur Asrama:
Catur
Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti
empat dan Asrama berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang
kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan). Dengan demikian
catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan
masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan
dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau
rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang. Semua tingkat
atau jenjang kehidupan itu dipengaruhi oleh proses perkembangannya
sebagai manusia sejak lahir sebagai bayi, kemudian meningkat semakin
besar menjadi anak-anak, lalu berubah menjadi anak baru gede (ABG),
sehingga menjadi dewasa, kemudian berumah tangga dan mempunyai anak,
allu menjadi tua dengan tingkatan moral dan spiritual yang semakin
tinggi dan semakin matang.
Dalam
Agama Hindu jenjang atau tatanan kehidupan manusia itu diatur dalam
empat tingkatan, sebagai fase-fase yang harus dilalui dalam
kehidupan. Mulai dari fase pertama, kemudian menuju fase kedua, lalu
fase ketiga baru fase keempat. Semua tahapan itu harus dilalui mulai
dari awal kelahirannya sampai pada akhir hayatnya secara berturutan
dan tidak mungkin diputar balik.
- Pembagian Catur Asrama:
Sesuai
dengan namanya catur asrama atau empat jenjang kehidupan masyarakat
terdiri atas empat tahapan. Menurut Ni Wayan Suratmini, (2002: 1) dan
Puniatnadja (1994: 10) Catur Asrama itu dapat dibagi seperti dibawah
ini.
Ni
Wayan Suratmini menjelaskan apa yang tercantum dalam Sloka Silakrama
sebagai berikut:
Catur
Asrama ngarannya Brahmacari
Grahasta,
Wanaprastha, Bhiksuka
Nahan
tang Catur Asrama ngarannya.
Artinya:
Yang
bernama Catur Asrama adalah Brahmacari,
Grahastha,
Wanaprastha dan Bhiksuka.
Sementara
itu Puniatmadja, Catur Asrama dalam terjemahan Sloka Silakrama
adalah sebagai berikut:
Yang
dinamakan Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha,
Bhiksuka. Demikianlah yag disebut Catur Asrama. Brahmacari adalah
orang yang sedang tekun mempelajari ilmu pengetahuan dan mengetahui
ilmu aksara, orang yang demikian itu dinamakan Brahmacari. Adapun
yang dianggap Brahmacari dalam masyarakat adalah orang yang tidak
terikat oleh nafsu keduniawian, misalnya tidak beristeri dan
sejenisnya. Adapun brahmacari lainnya disebut Brahmacarai Caranam
artinya Brahmacari yang menuntutilmu kerohanian. Sang Yogiswara
adalah brahmacariyang memahami sebagai ilmu pengetahuan. Setelah
dikuasainya ilmu pengetahuan, lalu beliau menjadi Grahastha, yakni
hiduo berumah tangga artinya boleh mempunyai isteri dan anak, boleh
mempunyai pembantu dan memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri
pribadi dengan kemampuan yang dimilikinya.
Setelah
dilakukannya dharma Grahasta, lalu beliau menjadi Wanaprastha, dalam
hal ini beliau pergi dari desa dan menetap ditempat yang bersih dan
suci terutama digunung atau hutan, mendirikan pertapaan sebagai
tempatnya melakukan Pancakarma (lima macam, perawatan dan pengobatan)
dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan kerohanian atau
dhrama. Setelah Wanaprastha beliau akhirnya menjadi Bhiksuka, beliau
meninggalkan pertapaannya dan tidak lagi terikat dengan keduniawian,
tidak mengaku mmempunyai pertapaan, tidak merasa mempunyai sisya,
tidak merasa mempunyai ilmun pengetahuan karena semua itu
ditinggalkannya.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Catur Asrama terdiri atas empat
jenjang kehidupan masyarakat, yaitu:
- Brahmacari
- Grhastha
- Wanaprastha
- Bhiksuka/Samnyasa
Dalam
pelaksanannya, pemabagian empat sistem pelapisan masyarakat Hindu
termaksud diatas dapat berkembang menjadi dua atau tiga tingkat saja
dan tidak bersifat mutlak, yang masing-masing mempunyai alasan dan
pertimbangan tertentu (Pudja,1981: 281).
Empat
lapisan masyarakat dimaksud dapat menjadi seperti berikut:
- Brahmacari-Grhastha-Wanaprastha-Samnyasa.
- Brahmacari-Grhasta-Wanaprrastha/Samnyasa.
- Brahmacari-Wanaprastha/Samnyasa.
- Brahmacari-Grhastha.
- Brahmacari-Masa Belajar
Brahmacari
berasal dari kata “Brahma’ yag berarti ilmu pengetahuan dan
“cari’ atau “carya” yang berarti bergerak. Bramacari dengan
demikian dapat diartikan sebagai usaha untuk secara tekun dan aktif
menuntut ilmu pengetahuan suci. Golongan Brahmacari dapat diartikan
sebagai golongan masyarakat yang tingkat kehidupannya masih atau
sedang bersekolah, sedang aguron-guron atau asewaka guru. Hanya
dengan memahami ilmu pengetahuan suci dan berbagai ilmu lainnya, maka
manusia akan menjadi siap untuk menjalani tahapan hidup selanjutnya.
Golongan
Bwrahmacari yang berada dalam tahapan mempelajari ilmu pengetahuan
suci dimaksud, tentulah masih dalam usia muda, masih dalam usia
sekolah. Dalam usia muda otak pikiran manusia masih sedang
tajam-tajamnya untuk menuntut ilmu. Masa remaja itulah yang sangat
baik dimanfaatkan untuk belajar. Karena itu masa Brahmacari tidak
boleh dipergunakan untuk mengumbar nafsu sexual, tidak boleh
berfoya-foya, yang mengejar kesenangan duniawi dan tidak boleh
menikah. Pikiran hendaknya hanya ditujukan untuk belajar, untuk
menuntut ilmu, tidak untuk memikirkan hal-hallain yang dapat
mejerumuskan.
Jadi
Brahmacari adalah tahapan pertama yang harus dilalui oleh setiap
orang dalam perjalanan hidupnya. Pada tingkatan ini manusia massih
dalam tahapan belajar. Semua harus dipelajari dengan tekun dan raji,
mulai dari belajar berbicara, belajar merangkak, belajar berjalan,
belajar berpikir, belajar bekerja, belajar tentang apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh diperbuat, diucapkan dan dipikirkan. Makin
bertambah umurnya makin banyak yang harus dipelajari. Bermacam ilmu
pengetahuan harus dipelajari, termasuk etika dan agama yang harus
ditekuni sebagai pedoman hidup untuk bisa memasuki tahapan hidup
berikutnya (Nala
cs, 1991:18).
Tetapi
uraian diatas sangat berbeda dengan pendapat somvir (2001:57-59).
Beliau menyatakan bahwa pada zaman sekarang orang sering salah paham
akan arti brahmacari atau menganggap brahmacari sebagai masa belajar,
tetapi begitu menjadi budak indria orang akan kehilangan cahayanya.
Hal itu dibuktikan oleh para maharsi bahwa jika seseorang mampu
mengendalikan indria lambat laun kekuatannya akan baik keatas menjadi
oja dan teja serta akan menikmati kebahagiaan. Untuk itu maka manusia
harus mengendalikan diri supaya berhasil dalam kehidupan. Dijelaskan
pula bahwa dalam kata brahmacari terdapat kata “Brahm” yang
berarti Tuhan dan kata “Cari” yang berarti orang yang ingin
menemukan Tuhan. Oleh karena itu, selama masa Brahmacari orang harus
mengendalikan sepuluh indria dan pikirannya, supaya bisa mendapatkan
ojas (cahaya) dengan cara bertapa. Atharwaveda XI.5.12 menyatakan
bahwa dengan mensublimasi energy sexual, brahmacari menciptakan
bidang spiritual. Ia membangkitkan kehidupan komunitas dengan
kekuatan semangatnya, sebagaimana dinyatakan dalam sloka:
Brahmacari
sincati sanau retah prthiviyam tena jivani catasrah
Artinya:
Brahmacari menggunakan daya kejantanannya dipermukaan bumi ini dan
dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri.
Menurut
Slokantara Golongan Brahmacari dapat dibedakan dalam tiga
bagian,Yaitu:
- Sukla Brahmacari, sukla artinya murni, bersih dan suci. Sukla Brahmacari adalah orang yang murni, bersih dan suci dalam arti tidak menikah selama hidupnya tidak menginginkan kenikmatan sexual. Dalam kaitan ini naskah silakrama menyatakan:
Sukla
brahmacari ngaranya tanpa rabi sangkan rare
Tan
manju tan kumingsira, adyapi teka ring wreddha,
Tuwi
tan pangincep arabi sangkan pisan.
Artinya:
Sukla
Brahmacari namanya orang yang tidak menikah dari sejak lahir sampai
meninggal dunia. Bukan karena alat vitalnya lemah. Dia sama sekali
tidak menikah sampai usia berlanjut.
- Sewala Brahmacari, golongan sewala Brahmacari ini hanya menikah satu kali saja seumur hidupnya. Meskipun isterionya meninggal dunia misalnya, maka orang yang tergolong Sewala Brahmacari ini tidak akan menikah lagi sampai akhir masa hisupnya. Naskah Silakrama menjelaskan:
Sewala
Brahmacari ngaranya
Merabi
apisan tanpa rabi muwah
Yan
kahalangan mati satrinya, tanpa rabi
Mwah
sira adyapi teka ri patinya
Tan
pangucap rabinya
Mangkana
sang brahmacari
Yan
sira sewala brahmacari
Artinya
:
Sewala
Brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali saja dan
tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan karena isterinya meninggal
dunia, maka ia tidak akan kawin lagi sampai ajalnya tiba. Demikanlah
namanya Sewala Brahmacari.
- Kresna Brahmacari. Golongan Kresa Brahmacari ini boleh mempunyai isteri maksimal smapai 4orang. Sayaratnya perkawinan kedua, ketiga, dan keempat adalah bila isteri yang pertama tidak dapat memberikan keturunan atau tidak dapat berperan sebagai isteri yang baik, misalnya karena skit-sakitan, sedangkan isteri pertama setuju dngan perkawinan itu (Suratmini,2002:3)
Menurut
Wrtisasana:
Dalam
rontal Wrtisasana, ternyata tidak ada istilah Krsna-brahmacari
seperti yang dinyatakan dalam Slokantara. Istilah yang dipergunakan
adalah TrsnaBrahmacari. Dan artinyapun agak berbeda. TrsnaBrahmacari
mempunyai isteri tidak boleh lebih dari satu orang saja, sedangkan
KrsnaBrahmacari boleh beristeri sampai empat.
Menurut
Silakrama dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
- Suklabrahmacari artinya tidak beristeri dari awal hinggga maut mendatang. “Suklabrahmacari garanya, tanpa stri sangkan-sangkan tekeng kapatin.”
- KrsnaBrahmacari adalah jenis yang kedua menurut Silakrama tetapi ada istilah lain yakni, TrsnaBrahmacari sebagai istilah lain dari KrsnaBrahmacari. Istilah TrsnaBrahmacari ini mempunyai arti yang sama dengan sewalaBrahmacari, jadi isterinya hanya seorang saja dan bila meninggal tidak akan menikah atau mengadakan hubungan sex lagi.
- Sawalabrahmacari adalah orang yang selama menuntut ilmu pengetahuan suci tidak pernah mengadakan hubungan sex atau tidak akan kawin. Steelah berumah tangga, selesai mengikuti pendidikan, boleh mempunyai isteri lebih dari satu orrang dan tidak menyebutkan maksimal 4 orang, tetapi menyebut boleh beristeri sekehendak hati. Dalam berhubungan sex harus mengikuti aturan kesusilaan. Dengan wanita yang bukan isterinya, tidak boleh mengadakan hubungan sex. Orang juga harus tau waktu ,mengadakan hubungan sex, disamping juga harus memahami hari-hari terlarang untuk melakukannya. Dalam hal ini orang harus dapat mengendalikan diri. Pelanggaran terhadap hari-hari yang terlarang, dosanya sangat besar. Pikirannya harus teguh dan tidak boleh melakukan penyimpangan seperti Gamyagamana (kawin dengan ibu, anak, atau cucu). Gurwanggamana (kawin dengan isteri guru, anak atau cucu guru), paradara (kawin atau berhubungan sex dengan isteri orang lain).
Demikianlah
pembagian Brahmacari berdasarkan Slokantara, Wrtisasana dan
Silakrama. Tetapi ternyata masih banyak ada lagi pembagian lain
meskipun sumber sastranya tidak jelas, yang menyatakan bahwa
brahmacarai dalam artinya belajar menuntut ilmu ada empat tahap (
Bangli, 2005:88) yakni ssebagai berikut:
- Brahmacari artinya masa belajar menuntut ilmu selama 12 tahun lamanya sebelum memasuki era Grahsta Asrama (berumah tangga)
- Sukla Brahmacari artinya status membujang untuk selama-lamanya karena bersumpah kepada diri sendiri untuk tidak kawin seumur hidup.
- Sewala Brahmacari artinya kembali hidup membujang, karena harus mempunyai keturunan.
- Brahmacarii Temen artinya temen (utama, mulia) seseorang yang mengutamakan kesucian jiwa lalu misreyasa, bhiksuka, karena telah menmui kenyataan hidup.
Grhastha
berasal dari kata “Grha” dan “Stha”. Grha artinya rumah,
tempat tinggal, geria atau membina rumah tangga atau sudah berumah
tangga atau sudah menikah. Orang golongan Grhastha berarti orang yang
sudah dewassa dan memasuki tingkat rumah tangga, sudah mempunyai
tanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarganya. Sebagai kepala
keluarga, orangb dari golongan ini tentu sudah menjadi anggota suatu
mayarakat tertentu, misalnya banjar, ssekaligus sebagai warga dari
bangsanya yaitu bangsa Indonesia. Dalam hubugan masa Grhastha kitab
YajurVeda 3.41 menjelaskan demikian (somvir, 2005: 106)
Grha
ma bibhita ma vepadhvamurjam bibhrata emasi
Urjam
bibhradvah sumanah sumedha grhanaimi manasa modamanah
Artinya:
Jangan
takut melaksanakan kehidupan Grhastha, berusahalah mendapatkan
kekuatan, budhi yang baik, pikira yang tenang dan terimalah dengan
gembira berbagai macam kebahagiaan.
Untuk
melaksanakan Grhastha, tentu orang itu dari segi umur sudah termasuk
akil balig, sudah waktunya untuk menikah dan atau berkeluarga,
mempunyai pengetahuan yang memadai untuk membina rumah tangga dan
mempunyai wawasan sebagai orang dewasa yang mempunyai kemampuan untuk
bertanggung jawab atas keluarganya. Walaupun sudah berkeluarga ,
orangb dari golongan ini harus tetap mau belajar, menuntut ilmu yang
selalu berkembang,sehingga orang itu bisa mengikuti kemajuan zaman.
Disamping itu dalam hidup berumah tangga warga dari golongan Grhastha
harus mampu melanjutkan keturunan, mampu membina rumah tangga dengan
baik, mampu bermasyarakat dan didalam bidang keagamaan tentu harus
mampu melaksanakan apa yang dinamakan Panca Yadnya, baik dewa Yadnya,
Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya.
Wanaprastha
terdiri dari dua suku kata yakni Wana dan Prastha. Wana dari sala
kata vana berarti hutan, semak belukar atau pohon, sedangkan
“Prastha” artinya pegunungan atau dartaran tinggi atau diartikan
juga sebagai “berjalan atau berdoa peling depan dengan baik”.
Dengan demikian Wanaprastha secara bebas dapat diartikan sebagai
berjalan menuju hutan untuk mengasingkan diri dengan maksud untuk
menjauhkan diri dari keterikatan duniawi. Dengan tinggal dihutan maka
kenikmatan atau kesenangan duniawi sedikit demi sedikit dapat
dikurangi, pikiran dapat dengan lebih mudah tercurah kepada
kenikmatan rokhaniah senhingga ketenangan, ketentraman dan kedamaian
lebih mudah bisa dicapai. Dengan pikiran yang tenang dan tentram,
maka pintu untuk menuju Tuhan akan menjadi terbuka lebar.
Dalam
hubungan ini kitab Atharwaveda 9.5.1 menyatakan seperti berikut
(somhir:60)
A
nayaitama rabhasva sukrtam lokam api gacchatu prajanam, tirtva
tamamsi bahudha mahatyajo nakam kramatam trtuyam.
Artinya:
Wahai
para Grhastha dengan pengetahuan yang telah dimiliki mualailah
melaksanakan Wanaprastha dan arahkan pikirannya dari Grhastha ke
Wanaprastha yang telah diikuti oleh para mahaRsi. Dengan melepaskan
segala kegelapan para Grhastha akan mengenal Atman sebagai sesuatu
yang kekal. Karena itu laksanakanlah Wanaprastha yang bebas dari
segala duka.
Tetapi
Wanaprasstha dengan cara mengasimgkan diri dengan hidup dihutan pada
Zaman sekarang boleh jadi sulit ditemukan. Sebab pada zaman modern
ini,orang-orang dapat saja menyucikan diri, melepasskan kenikmatan
duniawi dengan tetpa tinggal dirumah, disebuah kamar suci yang
bersih, tenang sepi dan jauh dari gangguan orang lain, sudah tentu
dengan memfokuskan pikirannya hanya kepada Tuhan, disamping
mempelajari ilmu pengetahuan suci dan spiritual disertai dengan
melaksanakan jaran Yoga. Yang utama dalam kehidupan Wanaprastha ini
adalah pertama untuk melepaskan diri dari keterikatan kenikmatan
duniawi, kedua untuk menjadikan pikiran tenang dna tetram, ketiga
untuk lebih mudah menyampaikan rasa hormat dan bhakti kepada Tuhan
dan yang terakhir adalah agar dapat memanfaatkan sisa-sisa hidup ini
untuk mengabdi dan berbuat baik, berupa amal dan kebajikan bagi
masyarakat.
Bhiksuka
disebut pula Sannyasa artinya dengan baik dan “nyas” berarti
bebas. Jadi Sannyas” dapat diartikan bebas dari segala ikatan
duniawi dan berusaha bersatu dengan Tuhan. Dalam hubungan ini kitab
Atharvaveda 19.41.1 menyatakan seperti dibawah ini (somvir,
2001:69-70)
Bhadramiccahanta
rsyah svarvidastapo diksamupani seduragre, tato rastram balamojasca
jatam tadasmai deva
upasamnamantu.
Artinya
:
Wahai
para Sannyasin seprti para Rsi yang mengikuti diksa sebagai
Brahmacari, Grhasta, dan Wanaprastha untuk mencapai kebahagiaan
ssempurna, kebahagiaan duniawi dan moks, maka terlebih dahulu
dilaksanakan tapa brata dan pengendalian indria. Dengan mengikuti
keempat tahapan asrama maka mereka akan menjadi kiat dan jaya
(ojas).karena itu hormatilah sannyasin itu agar mereka berhasil
mencapai tujuan.
Sannyasin
atau Bhiksuka merupakan tahap terakhir dari catur asrama. Kata
Bhiksuka sendiri berarti pendeta yang meminta-minta atau dapat
dikatakan sudah bebas dari kenikamatan duniawi. Golongan Bhiksuka
dengan demikian dapat diartikan ssebagai golongan masyarakat yang
melepaskan diri dari kenikmatan duniawi dan hidup hanya untuk
mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menyebarkan ajaran
kesusilaan dan ajaran Dharma lainnya. Bhiksuka yang diartikan sebagai
orang yang meminta-minta maksudnya adalah bahwa orang dari golongan
in I sudah tidak boleh lagi mempunyai apa-apa, sedangkan
kehidupannnya pun ditanggung oleh murid-murid atau para pengikutnya.
Hidupnya tidak lagi memikirkan kenikmatan duniawi, pikirannya hanya
tertuju kepada Tuhan untuk kepentingan kesucian dan penyebarluasan
ajaram agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar