Minggu, 12 Januari 2014

catur asrama


CATUR ASRAMA
  1. Pengrtian Catur Asrama:
Catur Asrama berasal dari kata “catur” dan asrama” Catur berarti empat dan Asrama berarti tahap kehidupan, tingkat atau jenjang kehidupan seseorag atau tempat bertapa (pertapaan). Dengan demikian catur asrama dapat diartikan sebagai empat jenjang kehidupan masyarakat. Tahap, tingkat atau jenjang kehidupan ini dihubungkan dengan umur, tingkat lmu pengetahuan suci, tingkat spiritualitas atau rohani, sifat dan perilaku atau moralitas seseorang. Semua tingkat atau jenjang kehidupan itu dipengaruhi oleh proses perkembangannya sebagai manusia sejak lahir sebagai bayi, kemudian meningkat semakin besar menjadi anak-anak, lalu berubah menjadi anak baru gede (ABG), sehingga menjadi dewasa, kemudian berumah tangga dan mempunyai anak, allu menjadi tua dengan tingkatan moral dan spiritual yang semakin tinggi dan semakin matang.
Dalam Agama Hindu jenjang atau tatanan kehidupan manusia itu diatur dalam empat tingkatan, sebagai fase-fase yang harus dilalui dalam kehidupan. Mulai dari fase pertama, kemudian menuju fase kedua, lalu fase ketiga baru fase keempat. Semua tahapan itu harus dilalui mulai dari awal kelahirannya sampai pada akhir hayatnya secara berturutan dan tidak mungkin diputar balik.
  1. Pembagian Catur Asrama:
Sesuai dengan namanya catur asrama atau empat jenjang kehidupan masyarakat terdiri atas empat tahapan. Menurut Ni Wayan Suratmini, (2002: 1) dan Puniatnadja (1994: 10) Catur Asrama itu dapat dibagi seperti dibawah ini.
Ni Wayan Suratmini menjelaskan apa yang tercantum dalam Sloka Silakrama sebagai berikut:
Catur Asrama ngarannya Brahmacari
Grahasta, Wanaprastha, Bhiksuka
Nahan tang Catur Asrama ngarannya.
Artinya:
Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari,
Grahastha, Wanaprastha dan Bhiksuka.

Sementara itu Puniatmadja, Catur Asrama dalam terjemahan Sloka Silakrama adalah sebagai berikut:
Yang dinamakan Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhasta, Wanaprastha, Bhiksuka. Demikianlah yag disebut Catur Asrama. Brahmacari adalah orang yang sedang tekun mempelajari ilmu pengetahuan dan mengetahui ilmu aksara, orang yang demikian itu dinamakan Brahmacari. Adapun yang dianggap Brahmacari dalam masyarakat adalah orang yang tidak terikat oleh nafsu keduniawian, misalnya tidak beristeri dan sejenisnya. Adapun brahmacari lainnya disebut Brahmacarai Caranam artinya Brahmacari yang menuntutilmu kerohanian. Sang Yogiswara adalah brahmacariyang memahami sebagai ilmu pengetahuan. Setelah dikuasainya ilmu pengetahuan, lalu beliau menjadi Grahastha, yakni hiduo berumah tangga artinya boleh mempunyai isteri dan anak, boleh mempunyai pembantu dan memupuk kebajikan yang berhubungan dengan diri pribadi dengan kemampuan yang dimilikinya.
Setelah dilakukannya dharma Grahasta, lalu beliau menjadi Wanaprastha, dalam hal ini beliau pergi dari desa dan menetap ditempat yang bersih dan suci terutama digunung atau hutan, mendirikan pertapaan sebagai tempatnya melakukan Pancakarma (lima macam, perawatan dan pengobatan) dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan kerohanian atau dhrama. Setelah Wanaprastha beliau akhirnya menjadi Bhiksuka, beliau meninggalkan pertapaannya dan tidak lagi terikat dengan keduniawian, tidak mengaku mmempunyai pertapaan, tidak merasa mempunyai sisya, tidak merasa mempunyai ilmun pengetahuan karena semua itu ditinggalkannya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Catur Asrama terdiri atas empat jenjang kehidupan masyarakat, yaitu:
  • Brahmacari
  • Grhastha
  • Wanaprastha
  • Bhiksuka/Samnyasa
Dalam pelaksanannya, pemabagian empat sistem pelapisan masyarakat Hindu termaksud diatas dapat berkembang menjadi dua atau tiga tingkat saja dan tidak bersifat mutlak, yang masing-masing mempunyai alasan dan pertimbangan tertentu (Pudja,1981: 281).
Empat lapisan masyarakat dimaksud dapat menjadi seperti berikut:
  • Brahmacari-Grhastha-Wanaprastha-Samnyasa.
  • Brahmacari-Grhasta-Wanaprrastha/Samnyasa.
  • Brahmacari-Wanaprastha/Samnyasa.
  • Brahmacari-Grhastha.
  1. Brahmacari-Masa Belajar
Brahmacari berasal dari kata “Brahma’ yag berarti ilmu pengetahuan dan “cari’ atau “carya” yang berarti bergerak. Bramacari dengan demikian dapat diartikan sebagai usaha untuk secara tekun dan aktif menuntut ilmu pengetahuan suci. Golongan Brahmacari dapat diartikan sebagai golongan masyarakat yang tingkat kehidupannya masih atau sedang bersekolah, sedang aguron-guron atau asewaka guru. Hanya dengan memahami ilmu pengetahuan suci dan berbagai ilmu lainnya, maka manusia akan menjadi siap untuk menjalani tahapan hidup selanjutnya.
Golongan Bwrahmacari yang berada dalam tahapan mempelajari ilmu pengetahuan suci dimaksud, tentulah masih dalam usia muda, masih dalam usia sekolah. Dalam usia muda otak pikiran manusia masih sedang tajam-tajamnya untuk menuntut ilmu. Masa remaja itulah yang sangat baik dimanfaatkan untuk belajar. Karena itu masa Brahmacari tidak boleh dipergunakan untuk mengumbar nafsu sexual, tidak boleh berfoya-foya, yang mengejar kesenangan duniawi dan tidak boleh menikah. Pikiran hendaknya hanya ditujukan untuk belajar, untuk menuntut ilmu, tidak untuk memikirkan hal-hallain yang dapat mejerumuskan.
Jadi Brahmacari adalah tahapan pertama yang harus dilalui oleh setiap orang dalam perjalanan hidupnya. Pada tingkatan ini manusia massih dalam tahapan belajar. Semua harus dipelajari dengan tekun dan raji, mulai dari belajar berbicara, belajar merangkak, belajar berjalan, belajar berpikir, belajar bekerja, belajar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat, diucapkan dan dipikirkan. Makin bertambah umurnya makin banyak yang harus dipelajari. Bermacam ilmu pengetahuan harus dipelajari, termasuk etika dan agama yang harus ditekuni sebagai pedoman hidup untuk bisa memasuki tahapan hidup berikutnya (Nala cs, 1991:18).
Tetapi uraian diatas sangat berbeda dengan pendapat somvir (2001:57-59). Beliau menyatakan bahwa pada zaman sekarang orang sering salah paham akan arti brahmacari atau menganggap brahmacari sebagai masa belajar, tetapi begitu menjadi budak indria orang akan kehilangan cahayanya. Hal itu dibuktikan oleh para maharsi bahwa jika seseorang mampu mengendalikan indria lambat laun kekuatannya akan baik keatas menjadi oja dan teja serta akan menikmati kebahagiaan. Untuk itu maka manusia harus mengendalikan diri supaya berhasil dalam kehidupan. Dijelaskan pula bahwa dalam kata brahmacari terdapat kata “Brahm” yang berarti Tuhan dan kata “Cari” yang berarti orang yang ingin menemukan Tuhan. Oleh karena itu, selama masa Brahmacari orang harus mengendalikan sepuluh indria dan pikirannya, supaya bisa mendapatkan ojas (cahaya) dengan cara bertapa. Atharwaveda XI.5.12 menyatakan bahwa dengan mensublimasi energy sexual, brahmacari menciptakan bidang spiritual. Ia membangkitkan kehidupan komunitas dengan kekuatan semangatnya, sebagaimana dinyatakan dalam sloka:

Brahmacari sincati sanau retah prthiviyam tena jivani catasrah

Artinya: Brahmacari menggunakan daya kejantanannya dipermukaan bumi ini dan dengan demikian alam semesta ini tegak berdiri.
Menurut Slokantara Golongan Brahmacari dapat dibedakan dalam tiga bagian,Yaitu:
  1. Sukla Brahmacari, sukla artinya murni, bersih dan suci. Sukla Brahmacari adalah orang yang murni, bersih dan suci dalam arti tidak menikah selama hidupnya tidak menginginkan kenikmatan sexual. Dalam kaitan ini naskah silakrama menyatakan:

Sukla brahmacari ngaranya tanpa rabi sangkan rare
Tan manju tan kumingsira, adyapi teka ring wreddha,
Tuwi tan pangincep arabi sangkan pisan.

Artinya:
Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak menikah dari sejak lahir sampai meninggal dunia. Bukan karena alat vitalnya lemah. Dia sama sekali tidak menikah sampai usia berlanjut.

  1. Sewala Brahmacari, golongan sewala Brahmacari ini hanya menikah satu kali saja seumur hidupnya. Meskipun isterionya meninggal dunia misalnya, maka orang yang tergolong Sewala Brahmacari ini tidak akan menikah lagi sampai akhir masa hisupnya. Naskah Silakrama menjelaskan:

Sewala Brahmacari ngaranya
Merabi apisan tanpa rabi muwah
Yan kahalangan mati satrinya, tanpa rabi
Mwah sira adyapi teka ri patinya
Tan pangucap rabinya
Mangkana sang brahmacari
Yan sira sewala brahmacari
Artinya :
Sewala Brahmacari namanya bagi orang yang hanya kawin satu kali saja dan tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan karena isterinya meninggal dunia, maka ia tidak akan kawin lagi sampai ajalnya tiba. Demikanlah namanya Sewala Brahmacari.
  1. Kresna Brahmacari. Golongan Kresa Brahmacari ini boleh mempunyai isteri maksimal smapai 4orang. Sayaratnya perkawinan kedua, ketiga, dan keempat adalah bila isteri yang pertama tidak dapat memberikan keturunan atau tidak dapat berperan sebagai isteri yang baik, misalnya karena skit-sakitan, sedangkan isteri pertama setuju dngan perkawinan itu (Suratmini,2002:3)

Menurut Wrtisasana:
Dalam rontal Wrtisasana, ternyata tidak ada istilah Krsna-brahmacari seperti yang dinyatakan dalam Slokantara. Istilah yang dipergunakan adalah TrsnaBrahmacari. Dan artinyapun agak berbeda. TrsnaBrahmacari mempunyai isteri tidak boleh lebih dari satu orang saja, sedangkan KrsnaBrahmacari boleh beristeri sampai empat.

Menurut Silakrama dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
  1. Suklabrahmacari artinya tidak beristeri dari awal hinggga maut mendatang. “Suklabrahmacari garanya, tanpa stri sangkan-sangkan tekeng kapatin.”
  2. KrsnaBrahmacari adalah jenis yang kedua menurut Silakrama tetapi ada istilah lain yakni, TrsnaBrahmacari sebagai istilah lain dari KrsnaBrahmacari. Istilah TrsnaBrahmacari ini mempunyai arti yang sama dengan sewalaBrahmacari, jadi isterinya hanya seorang saja dan bila meninggal tidak akan menikah atau mengadakan hubungan sex lagi.
  3. Sawalabrahmacari adalah orang yang selama menuntut ilmu pengetahuan suci tidak pernah mengadakan hubungan sex atau tidak akan kawin. Steelah berumah tangga, selesai mengikuti pendidikan, boleh mempunyai isteri lebih dari satu orrang dan tidak menyebutkan maksimal 4 orang, tetapi menyebut boleh beristeri sekehendak hati. Dalam berhubungan sex harus mengikuti aturan kesusilaan. Dengan wanita yang bukan isterinya, tidak boleh mengadakan hubungan sex. Orang juga harus tau waktu ,mengadakan hubungan sex, disamping juga harus memahami hari-hari terlarang untuk melakukannya. Dalam hal ini orang harus dapat mengendalikan diri. Pelanggaran terhadap hari-hari yang terlarang, dosanya sangat besar. Pikirannya harus teguh dan tidak boleh melakukan penyimpangan seperti Gamyagamana (kawin dengan ibu, anak, atau cucu). Gurwanggamana (kawin dengan isteri guru, anak atau cucu guru), paradara (kawin atau berhubungan sex dengan isteri orang lain).
Demikianlah pembagian Brahmacari berdasarkan Slokantara, Wrtisasana dan Silakrama. Tetapi ternyata masih banyak ada lagi pembagian lain meskipun sumber sastranya tidak jelas, yang menyatakan bahwa brahmacarai dalam artinya belajar menuntut ilmu ada empat tahap ( Bangli, 2005:88) yakni ssebagai berikut:
  1. Brahmacari artinya masa belajar menuntut ilmu selama 12 tahun lamanya sebelum memasuki era Grahsta Asrama (berumah tangga)
  2. Sukla Brahmacari artinya status membujang untuk selama-lamanya karena bersumpah kepada diri sendiri untuk tidak kawin seumur hidup.
  3. Sewala Brahmacari artinya kembali hidup membujang, karena harus mempunyai keturunan.
  4. Brahmacarii Temen artinya temen (utama, mulia) seseorang yang mengutamakan kesucian jiwa lalu misreyasa, bhiksuka, karena telah menmui kenyataan hidup.

Grhastha berasal dari kata “Grha” dan “Stha”. Grha artinya rumah, tempat tinggal, geria atau membina rumah tangga atau sudah berumah tangga atau sudah menikah. Orang golongan Grhastha berarti orang yang sudah dewassa dan memasuki tingkat rumah tangga, sudah mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarganya. Sebagai kepala keluarga, orangb dari golongan ini tentu sudah menjadi anggota suatu mayarakat tertentu, misalnya banjar, ssekaligus sebagai warga dari bangsanya yaitu bangsa Indonesia. Dalam hubugan masa Grhastha kitab YajurVeda 3.41 menjelaskan demikian (somvir, 2005: 106)
Grha ma bibhita ma vepadhvamurjam bibhrata emasi
Urjam bibhradvah sumanah sumedha grhanaimi manasa modamanah
Artinya:
Jangan takut melaksanakan kehidupan Grhastha, berusahalah mendapatkan kekuatan, budhi yang baik, pikira yang tenang dan terimalah dengan gembira berbagai macam kebahagiaan.
Untuk melaksanakan Grhastha, tentu orang itu dari segi umur sudah termasuk akil balig, sudah waktunya untuk menikah dan atau berkeluarga, mempunyai pengetahuan yang memadai untuk membina rumah tangga dan mempunyai wawasan sebagai orang dewasa yang mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atas keluarganya. Walaupun sudah berkeluarga , orangb dari golongan ini harus tetap mau belajar, menuntut ilmu yang selalu berkembang,sehingga orang itu bisa mengikuti kemajuan zaman. Disamping itu dalam hidup berumah tangga warga dari golongan Grhastha harus mampu melanjutkan keturunan, mampu membina rumah tangga dengan baik, mampu bermasyarakat dan didalam bidang keagamaan tentu harus mampu melaksanakan apa yang dinamakan Panca Yadnya, baik dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya.


Wanaprastha terdiri dari dua suku kata yakni Wana dan Prastha. Wana dari sala kata vana berarti hutan, semak belukar atau pohon, sedangkan “Prastha” artinya pegunungan atau dartaran tinggi atau diartikan juga sebagai “berjalan atau berdoa peling depan dengan baik”. Dengan demikian Wanaprastha secara bebas dapat diartikan sebagai berjalan menuju hutan untuk mengasingkan diri dengan maksud untuk menjauhkan diri dari keterikatan duniawi. Dengan tinggal dihutan maka kenikmatan atau kesenangan duniawi sedikit demi sedikit dapat dikurangi, pikiran dapat dengan lebih mudah tercurah kepada kenikmatan rokhaniah senhingga ketenangan, ketentraman dan kedamaian lebih mudah bisa dicapai. Dengan pikiran yang tenang dan tentram, maka pintu untuk menuju Tuhan akan menjadi terbuka lebar.
Dalam hubungan ini kitab Atharwaveda 9.5.1 menyatakan seperti berikut (somhir:60)
A nayaitama rabhasva sukrtam lokam api gacchatu prajanam, tirtva tamamsi bahudha mahatyajo nakam kramatam trtuyam.
Artinya:
Wahai para Grhastha dengan pengetahuan yang telah dimiliki mualailah melaksanakan Wanaprastha dan arahkan pikirannya dari Grhastha ke Wanaprastha yang telah diikuti oleh para mahaRsi. Dengan melepaskan segala kegelapan para Grhastha akan mengenal Atman sebagai sesuatu yang kekal. Karena itu laksanakanlah Wanaprastha yang bebas dari segala duka.
Tetapi Wanaprasstha dengan cara mengasimgkan diri dengan hidup dihutan pada Zaman sekarang boleh jadi sulit ditemukan. Sebab pada zaman modern ini,orang-orang dapat saja menyucikan diri, melepasskan kenikmatan duniawi dengan tetpa tinggal dirumah, disebuah kamar suci yang bersih, tenang sepi dan jauh dari gangguan orang lain, sudah tentu dengan memfokuskan pikirannya hanya kepada Tuhan, disamping mempelajari ilmu pengetahuan suci dan spiritual disertai dengan melaksanakan jaran Yoga. Yang utama dalam kehidupan Wanaprastha ini adalah pertama untuk melepaskan diri dari keterikatan kenikmatan duniawi, kedua untuk menjadikan pikiran tenang dna tetram, ketiga untuk lebih mudah menyampaikan rasa hormat dan bhakti kepada Tuhan dan yang terakhir adalah agar dapat memanfaatkan sisa-sisa hidup ini untuk mengabdi dan berbuat baik, berupa amal dan kebajikan bagi masyarakat.

Bhiksuka disebut pula Sannyasa artinya dengan baik dan “nyas” berarti bebas. Jadi Sannyas” dapat diartikan bebas dari segala ikatan duniawi dan berusaha bersatu dengan Tuhan. Dalam hubungan ini kitab Atharvaveda 19.41.1 menyatakan seperti dibawah ini (somvir, 2001:69-70)
Bhadramiccahanta rsyah svarvidastapo diksamupani seduragre, tato rastram balamojasca jatam tadasmai deva upasamnamantu.
Artinya :
Wahai para Sannyasin seprti para Rsi yang mengikuti diksa sebagai Brahmacari, Grhasta, dan Wanaprastha untuk mencapai kebahagiaan ssempurna, kebahagiaan duniawi dan moks, maka terlebih dahulu dilaksanakan tapa brata dan pengendalian indria. Dengan mengikuti keempat tahapan asrama maka mereka akan menjadi kiat dan jaya (ojas).karena itu hormatilah sannyasin itu agar mereka berhasil mencapai tujuan.
Sannyasin atau Bhiksuka merupakan tahap terakhir dari catur asrama. Kata Bhiksuka sendiri berarti pendeta yang meminta-minta atau dapat dikatakan sudah bebas dari kenikamatan duniawi. Golongan Bhiksuka dengan demikian dapat diartikan ssebagai golongan masyarakat yang melepaskan diri dari kenikmatan duniawi dan hidup hanya untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menyebarkan ajaran kesusilaan dan ajaran Dharma lainnya. Bhiksuka yang diartikan sebagai orang yang meminta-minta maksudnya adalah bahwa orang dari golongan in I sudah tidak boleh lagi mempunyai apa-apa, sedangkan kehidupannnya pun ditanggung oleh murid-murid atau para pengikutnya. Hidupnya tidak lagi memikirkan kenikmatan duniawi, pikirannya hanya tertuju kepada Tuhan untuk kepentingan kesucian dan penyebarluasan ajaram agama.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar